Nasional

Dewan Pers Tolak Draf RUU Penyiaran karena Dinilai Takkan Lahirkan Produk Jurnalistik Berkualitas

Sel, 14 Mei 2024 | 20:43 WIB

Dewan Pers Tolak Draf RUU Penyiaran karena Dinilai Takkan Lahirkan Produk Jurnalistik Berkualitas

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saat konferensi pers di Gedung Dewan Pers Lantai 7, Jl Kebon Sirih 32-34, Gambir, Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno).

Jakarta, NU Online

Dewan Pers menegaskan menolak draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sekarang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


"Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023 Dewan Pers dan konstituen menolak sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945," ujar Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu kepada wartawan dalam Jumpa Pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).


Ia mengatakan bahwa argumentasi penolakan yang pertama adalah dalam konteks politik hukum, yakni tidak dimasukkannya Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran di dalam RUU Penyiaran. 


Hal itu mencerminkan tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform.


Kedua, lanjut Ninik, RUU penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers di Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas.


"Dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan bahwa perubahan ini jika diteruskan sebagian-sebagian aturannya akan menyebabkan pers kita menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional, dan pers yang tidak independen," imbuhnya.


Ketiga, dari sisi proses. Ninik menjelaskan bahwa RUU Penyiaran menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 PUU 18 Tahun 2020, yang mengatakan bahwa penyusunan sebuah regulasi harus meaningful participation. Artinya, harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya.


"Nanti kalau masukan-masukan masyarakat itu tidak diintegrasikan, bahkan para penyusun kebijakan diminta untuk menjelaskan kenapa masukan-masukan itu tidak diintegrasikan, dan dalam konteks RUU Penyiaran ini Dewan Pers dan konstituen selaku penegak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini," paparnya.


Isi draf RUU Penyiaran 2024

Dalam draf RUU Penyiaran Tahun 2024 mencakup penyatuan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI. Hal ini tercantum dalam Pasal 15A (1) yang menyebutkan peleburan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi Republik Indonesia


Draf RUU Penyiaran juga mengubah beberapa pasal terkait konten penyiaran media. Beberapa pasal tersebut dianggap membatasi produk jurnalisme yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


Produk jurnalisme yang dibatasi dalam RUU ini adalah investigasi. Hal ini mengacu pada Pasal 50B ayat 2 huruf (c), RUU Penyiaran 2024 melarang media menayangkan siaran eksklusif jurnalistik investigasi.


Selanjutnya dalam pasal 42 ayat 2 draf RUU Penyiaran Tahun 2024 persoalan sengketa juga tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam draf tersebut dijelaskan penyelesaian sengketa pers dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).