Nasional

KPAI Dorong RUU PRT Segera Disahkan untuk Lindungi Pekerja Anak

Sen, 6 Mei 2024 | 10:00 WIB

KPAI Dorong RUU PRT Segera Disahkan untuk Lindungi Pekerja Anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (Foto: kpai.go.id)

Jakarta, NU Online

Sepekan lalu, mencuat kasus lima PRT Anak di Jakarta Timur diduga jadi korban penganiayaan majikan. Kelima PRT itu kabur dari rumah majikan hingga membuat geger warga setempat. Diduga mereka mendapat penganiayaan saat bekerja hingga sebagian tubuhnya mengalami luka.


Menyikapi peristiwa itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, menekankan pentingnya langkah cepat dari pemerintah, khususnya DPR, untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (PRT). RUU tersebut diharapkan dapat menjamin pemenuhan hak-hak dan perlindungan bagi PRT, termasuk anak-anak.


“PRT Anak bukan masalah privat antara pemberi kerja dengan pekerja. Pemerintah dan legislatif harus menunjukkan keseriusannya untuk melindungi anak-anak yang terpotret di Indeks Perlindungan Khusus Anak. RUU PRT harus segera disahkan untuk mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai PRT untuk meringankan beban ekonomi keluarga,” kata Dian melalui keterangan tertulis yang diterima NU Online, Senin (6/5/2024).


Dian menyebut regulasi yang tegas dan jelas akan meningkatkan keterjaminan hak-hak PRT Anak seperti jam kerja, upah, beban kerja, termasuk jaminan melanjutkan pendidikan, kesehatan, termasuk waktu luang untuk istirahat atau mengembangkan bakat minatnya.


“Pekerjaan rumah tangga cenderung berat dilakukan anak yang masih fase tumbuh kembang, sehingga mempengaruhi pertumbuhan fisik dan psikis mereka. Anak cenderung akan putus sekolah karena keterbatasan waktu di luar pekerjaan,” kata Dian.


“Pemalsuan identitas untuk memenuhi persyaratan bekerja di luar pulau juga banyak terjadi. Usia anak dituakan daripada seharusnya, sehingga tak sedikit dari mereka tidak memiliki BPJS Kesehatan. Hak atas kesehatan dasar pun terabaikan,” imbuhnya.


Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tahun 2021 sebanyak 1,05 juta anak menjadi PRT dengan proporsi terbanyak berasal dari pedesaan. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)  mencatat tahun 2020 terdapat 4 juta orang menjadi PRT di Indonesia tahun 2020, 30 persen di antaranya adalah anak perempuan.


Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) juga mencatat tiga provinsi tertinggi situasi anak umur 10-17 tahun yang bekerja adalah NTB, NTT, dan Sulawesi Tenggara di tahun 2021. Data ini tidak dijelaskan apa saja bentuk-bentuk pekerjaan anaknya. Namun anak usia tersebut diasumsikan berpendidikan SD-SMP. Keterampilan yang dimiliki pun masih terbatas.


PRT, terang Dian, adalah pekerjaan yang rentan melanggar hak asasi karena durasi waktu yang panjang. Terutama bagi PRT yang tinggal serumah dengan majikan. Mereka terbatas akses dengan dunia luar sehingga ketika terjadi kekerasan tidak dapat segera diketahui. 


“Perjanjian kerja hanya informal dan dibuat sepihak, bahkan banyak di antaranya tak memiliki perjanjian. PRT tidak memiliki posisi tawar dengan berbagai alasan terlebih PRT anak memiliki kerentanan tambahan,” jelasnya.


Dian menambahkan bahwa praktik ngenger masih jamak di beberapa daerah. Tradisi ngenger ini merupakan bentuk solidaritas masyarakat Jawa untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga dan masyarakat, dengan cara mengijinkan pelaku ngenger tinggal menetap bersama keluarga yang menjadi tempat ngenger


Anak membantu pekerjaan rumah tangga sembari disekolahkan. Biasanya pemberi kerja masih memiliki hubungan kerabat dan status sosial atau ekonominya lebih baik. Anak disekolahkan dianggap sebagai upah telah membantu pekerjaan rumah tangga.


“Tidak semua PRT Anak beruntung mendapatkan majikan atau pekerjaan yang manusiawi. Beberapa di antaranya malah menjadi korban kekerasan, bekerja sejak usia anak. PRT Anak rentan mendapatkan kekerasan fisik seperti dipukul atau penyiksaan lainnya yang dapat mengakibatkan cacat atau kematian,” ujar Dian.


Kekerasan tersebut juga berdampak pada kemampuan sosial anak. Anak malu dan menarik diri dari pergaulan. Bahkan mereka kehilangan upah karena melaporkan majikannya.


Meskipun Perlindungan hukum untuk PRT sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28B ayat (2) dan pasal 28D ayat (1) (2) tentang jaminan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi tanpa kecuali, termasuk dalam hubungan kerja.


Namun sayangnya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan belum memasukkan PRT sebagai salah satu subyek hukum yang dilindungi secara khusus.


“Selain itu terdapat seperangkat instrumen internasional seperti Konvensi ILO Nomor 182 tahun 1990 tentang pekerjaan-pekerjaan terburuk pada anak dan Konvensi Hak Anak tahun 1989, khususnya Pasal 32 tentang perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan bentuk pekerjaan yang berbahaya atau mengganggu pendidikan, kesehatan, atau tumbuh kembang anak,” tandasnya.