Internasional

Kisah Dakwah di Suriname

Selasa, 11 Juli 2017 | 02:23 WIB

Kisah Dakwah di Suriname

Sebuah lokasi di Suriname.

Sebulan bertugas di Suriname, saya merasakan kuatnya persaudaraan di negeri ini. Jika ingin tinggal di masjid-masjid di Suriname dijamin tidak akan kelaparan karena setiap masjid di sana selalu memiliki dapur dan tempat makan air minum. Banyak yang bersedakah nasi maupun bahan-bahan roti.

Selama bulan Ramadhan dapur-dapur yang berada di masjid itu selalu menyala untuk digunakan memasak makanan bagi siapa pun yang akan berbuka. Kaum Muslim pun tak perlu ragu untuk mengikuti kegiatan di masjid-masjid Suriname.

Di luar masjid-masjid itu, persoalan makanan memerlukan kehati-hatian kita. Kita tidak bisa sembarangan beli makanan di restoran. Meskipun berlabel halal, terkadang masih bercampur dengan minyak atau daging yang diharamkan.
 
Saran saya, ketika mengunjungi restoran atau warung, sebaiknya bersama orang yang tahu betul warung tersebut mencampuradukkan yang haram dan yang halal atau tidak. Sangat mungkin kita bisa teler di tempat makan. Selain itu, di Suriname juga banyak anjing berlalu-lalang dan siap menerkam terutama bila anjing tersebut tergolong galak.
 
Minuman keras juga dijual bebas, dari yang berkadar alkohol 20 persen, 50 persen, sampai 100 persen. Semuanya ada di toko-toko atau minimarket. Siapapun bebas membelinya. Selain minuman keras, perjudian di sana juga dianggap legal dan bebas.
 
Dengan begitu diperlukan keteguhan hati untuk menjaga iman agar tidak tergoda oleh minuman keras dan perjudian. Bagi saya sendiri, pelajaran selama di Suriname adalah bagaimana menjaga kekuatan emosional kepada sesama Muslim harus terjalin, jangan sampai kendor. Sebab perbedaan warga negara, sementara kita semua menginginkan kebahagiaan.
 
Kita nyaman melaksanakan ibadah saat di Indonesia. Adapun mereka karena menjadi kaum minoritas, masjid menjadi tempat yang sepi setelah bulan Ramadhan. Ditambah lagi speaker yang hanya indoor tidak bisa outdoor karena kanan-kiri banyak non-Muslim yang tinggal di wilayah sekitar situ. Ini pun menjadi kendala kita bagaimana menggugah kesadaran, bahwa meskipun menjadi minoritas, namun tetap bisa menghidupkan dan meramaikan masjid.

Pada hari kedua Idul Fitri, saya dijemput Pak Bibid Kuslandinu untuk diajak jalan-jalan menuju pantai Bakasroisie atau Niuwe Amsterdam. Ada juga yang menyebut tempat itu dengan Commewijne River. Ia dekat muara Samudra Atlantik. Di sanalah pendaratan pertama orang Jawa pada tahun 1890.

Di pantai itu, rupanya sudah ada beberapa orang lain yang juga staf KBRI yaitu Pak Sudirman, Pak Haris, ditambah sopir KBRI yang puna nama panggilan Pak Charge.

Saat kami sudah di pantai, tiba-tiba datang Pak Jimmy. Dia orang asli kelahiran Suriname yang menikahi gadis Indonesia asal Surabaya. Pak Jimmy meminjami pancing dan juga ikan sebagai umpan.

Hujan mengguyur sekitar pantai, sehingga kami memakai paying. Namun, beberapa saat memancing tidak ada ikan yang tersangkut. Kalau pun toh ada, ialah ikan yang kering yang tidak ada dagingnya.

Ada beberapa ikan yang bisa kita pancing di pantai itu. Di antaranya ikan barbamang. Wana kulitnya kuning, mirip sekali dengan patin, tapi punya kumis menjuntai. Lalu ada ikan yang berwarna hitam tak berkumis disebut ikan kuma-kuma. Ada pula ikan kupila, trapung, kodokoe.

Beberapa lama memancing, akhirnya kail saya seperti ada yang menarik-narik. Begitu saya angkat, seekor ikan berukuran agak besar tersangkut di sana. Pak Jimmy memberi tahu, ikan yang berhasil saya dapatkan bernama manga mofo. 

Selama di Suriname, saya sering mengirim gambar maupun cerita melalui media sosial maupun watshapp  ke beberapa teman di tanah air. Karenanya saya mendapat respon dan komentar bermacam-macam, umumnya keheranan mereka karena kondisi di Suriname yang sangat mirip dengan di Indonesia.

Misalnya, “Kok kayak di Pacitan, kayak di Madiun, kayak di Caruban, kayak di Ngawi, kayak di kabupaten lain di Jawa timur? Kok bangunannya biasa saja, tidak menjulang kayak di Amerika. Di situ kan benua Amerika?”

Saya jawab, mereka yang dominan penduduk dari Jawa tentu naluri membangun sesuai pengetahuan mereka waktu di Jawa. Masak mau membangun dengan gaya Eropa? Ilmu dari mana? Mereka mencintai kesederhanaan daripada glamour tapi tidak tahu arti bahagia.

Lalu ada juga yang komentar, “Bukannya duit banyak, kenapa kok gak bikin rumah yang keren gitu?” Pola pikir warga setempat masih suka menabung untuk traveling ke Eropa daripada habis buat bangun rumah. Mereka seperti itu sudah sangat bahagia. Karena mereka tahu, mati pun rumah mewah tidak dikubur bersama mereka di dalam tanah.

Atau pertanyaan, “Itu wajahnya kok Indonesia bingits?” Jelaslah, mereka memang keturunan orang Jawa. Kakek nenek mereka asli Jawa. Ada yang dari Madiun, Boyolali , Jogja, Bandung, Jember serta daerah lainnya. 

“Kenapa masih pakai Bahasa Jawa? Kan di Amerika gitu loh?” Mereka kental dengan bahasa ibu mereka yang memang keturunan Jawa. Tapi mereka juga bicara bahasa Belanda, Spanyol, Inggris kadang bahasa campuran yang disebut bahasa Taki Taki.

Mendingan mereka kan masih praktik bahasa Jawa meskipun tinggal di Benua Amerika? Daripada orang di Indonesia atau Jawa yang mulai lupa bahasa Jawa dan Indonesia? Hehehe...

Ismail Hasan, anggota Tim Inti Dai Internasional dan Media (TIDIM) LDNU 2016 dan anggota Cordofa 2017 dengan penugasan ke Suriname.


Terkait