Otonomi Daerah Munculkan Sejumlah Masalah bagi Dunia Perburuhan
Rabu, 19 Desember 2007 | 23:31 WIB
Era otonomi daerah memunculkan sejumlah masalah bagi dunia perburuhan di Indonesia. Pembuatan peraturan daerah yang mengatur dunia usaha dan industrial mendorong kreativitas bagi pemerintah daerah dengan menciptakan aturan-aturan yang justru banyak membebani dunia usaha.
Demikian dikatakan Ketua Umum DPP Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Junaidi Ali. Ia mengatakan hal itu dalam diskusi “Refleksi Akhir Tahun 2007: Membicang Masalah Perburuhan dan Ketenagakerjaan” di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (19/12)<>
“Juga merugikan gerakan buruh atau pekerja dan banyaknya pungutan-pungutan yang semestinya kembali meningkatkan kesejahteraan buruh dan pekerja. Missal, setiap industri di sebuah wilayah harus memberikan sumbangan kepada masyarakat sekitarnya,” ujar Junaidi—begitu panggilan akrabnya.
Dalam acara yang dihadiri para pimpinan serikat buruh dan serikat pekerja tingkat nasional itu, ia mengungkapkan, menurut hasil penelitian Akatiga, ditemukan beberapa sumbangan secara rutin yang diberikan kepada ketua RT/RW atau lurah setempat di mana industri itu berada.
Pemberian sumbangan itu, menurutnya, jelas disambut baik oleh masyarakat karena ada pemasukan baru secara resmi. Namun demikian, dari format seperti ini, kewenangan industri menjadi tidak terbatas di perusahaan (tempat kerja). Perusahaan dengan tiba-tiba bisa mengontrol tenaga kerja dalam komunitasnya di mana buruh atau pekerja itu tinggal.
Masalah lain juga muncul pada proses rekrutmen yang mengharuskan ada putra daerah. Industri dalam pemenuhan tenaga kerja diharuskan diisi oleh putra daerah. Selain itu, RT dan RW diberi kewenangan untuk merekrut tenaga kerja.
“Tenaga kerja pendatang diharuskan membayar sejumlah uang kepada ketua RT atau RW. Akibatnya, muncul percaloan yang bertugas mencari tenaga kerja untuk dipekerjakan dengan ongkos yang tidak sedikit. Akibatnya lagi, mereka lebih senang merekrut pendatang dari pada putra daerah, karena ada pemasukan,” katanya.
Dampak lainnya terhadap gerakan serikat buruh atas adanya kebijakan desentralisasi. “Kalau dulu ada Depnaker (Departemen Tenaga Kerja), sekarang berubah menjadi Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) yang tidak tunduk pada menteri, tetapi lebih tunduk kepada walikota, bupati atau gubernur,” terangnya. (rif)