Daerah

Suluk Maleman Sampak GusUran: Beragama Perlu Pakai Hati

Sen, 18 Januari 2016 | 20:01 WIB

Suluk Maleman Sampak GusUran: Beragama Perlu Pakai Hati

Sohibul bait Sampak GusUran Anis Sholeh Ba'asyin dalam salah satu Suluk Maleman

Pati, NU Online
Persoalan keagamaan masih saja menjadi kekhawatiran bagi sebagian kalangan. Itu tidak terlepas dari sikap para pemeluk agama yang kaku lantaran hanya mengedepakan akal. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang relatif sempurna dibanding makhluk lainnya, manusia dikaruniai akal, pikiran, dan hati. Itu membuka peluang untuk memadukan ketiga unsur menjadi laku yang amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Nilai-nilai kebajikan dan kedamaian sejatinya mendominasi diri manusia dalam berkreativitas di planet ini. Mereka pun harus selaras dengan ragam perbedaan karena potensi akal dan pikiran.

KH Abdul Ghofur Maimoen menyebut, ketiga unsur yang ada dalam diri manusia itu perlu dikelola secara tepat. Beragama perlu rasionalitas (filsafat) agar tidak kaku.

Tetapi dalam bagian lain, perlu dampingan hati dan juga kelembutan jiwa melalui seni. Kombinasi ini membantu setiap orang untuk tidak mudah berprasangka secara fisik semata.

"Kalau semua harus didasarkan pada fisik dan indra maka kurang pas, akan kaku. Nanti justru akan muncul pemahaman bahwa yang tidak dapat diindra dianggap tidak ada. Ini repot dan bisa merusak keimanan," ujarnya saat didapuk pembicara dalam Ngaji Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia Jalan Pangeran Diponegoro No 94 Pati, Sabtu (16/1) malam.

Kiai yang akrab disapa Gus Ghofur itu juga mengungkap betapa perlunya manusia berkesenian. Kecuali sebagai ekspresi keindahan, seni berperan pula sebagai penyeimbang jiwa.

"Kalau dalam beragama itu kaku, maka jadinya ya orang akan mudah mengebom dan menebar teror atas nama agama," tandas putra KH Maimoen Zubair ini.

Setidaknya ada tiga hal yang perlu dihindari berkait prasangka. Manusia seyogyanya menghindari memosisikan diri untuk dicurigai (pejabat negara tidak transparan), tidak mengajak su’udzon pada orang lain, dan tidak melakukan sesuatu berdasar su’udzon.

Kecintaan
Ngaji interaktif rutinan bertema "Zaman Prasangka" kali ini juga menghadirkan pula KH Budi Harjono (Semarang) dan aktivis Hasan Aoni Azis (Kudus). Orkes Puisi Sampak GusUran pimpinan sang sohibul bait Anis Sholeh Ba'asyin sebagaimana biasa mengiringi forum asah jiwa ini. Dua kelompok musik idealis tidak luput menyertainya, The Tambal Band (Kudus) dan Musik Gong (Gabus, Pati)

Pandangan Gus Ghofur diiyakan Kiai Budi yang hadir bersama empat penari sufinya. Prasangka perlu pembuktian secara empiris dan spiritual agar mengarah pada ketepatan pandangan dan pemahaman. Namun, esensinya semua pandangan dan pemahaman dalam beragama atau segala hal tidak elok jika lepas dari nuansa kecintaan.

"Tuhan saja berkata Aku tergantung pada prasangkamu. Itu memberi garis, bahwa prasangka tidak bisa hanya mengandalkan indra atau secara fisik semata," tuturnya.

Dalam pengantarnya di awal ngaji interaktif yang dihadiri ratusan audien dari berbagai kalangan dan daerah itu, Anis Sholeh Ba’asyin mengemukakan, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia hendaknya senantiasa khusnudzon billah. Tidak terlalu mudah terpengaruh dengan orang lain karena akan menimbulkan prasangka.

Prasangka perlu konfirmasi dan pembuktian sebelum dijadikan pedoman. Itu yang dicontohkan Nabi Muhammad pada ummatnya.

"Prasangka yang membabi buta itu karena terpengaruh orang lain. Akan lebih baik jika introspeksi karena Nabi begitu menjauhkan dirinya dari prasangka," katanya. (Red: Abdullah Alawi)