Opini

Bahaya Hoaks, Lemahnya Jurnalisme dan Ancaman pada Demokrasi Kita

Rab, 7 Agustus 2019 | 19:00 WIB

Bahaya Hoaks, Lemahnya Jurnalisme dan Ancaman pada Demokrasi Kita

Andreas Harsono (barisan depan berkacamata) berfoto bersama awardee short course AAI

Oleh Ahmad Rozali

 

Ada kesimpulan yang sangat menarik dari presentasi Andreas Harsono peneliti senior Hak Asasi Manusia Rabu (7/8) siang tadi, tentang hubungan berita palsu atau hoaks dengan sejumlah konflik besar di Indonesia. Menurutnya; konflik-konflik di Indonesia selalu dibarengi, kalau tidak diawali, oleh berita palsu yang dialamatkan pada kelompok lain.

 

Kesimpulan ini disampaikan dalam forum diskusi yang diselenggarakan pemerintah Australia di Jakarta. Mewaili NU Online sebagai penerima program ‘short course’ di antara 24 peserta lain, saya beruntung mendapat kesempatan mengikuti ‘kuliahnya’ tentang konflik-konflik di sejumlah tempat di Indonesia, hubungannya dengan berita bohong yang berkelindan di seputarnya serta kaitannya dengan lemahnya jurnalisme di tanah air.

 

Andreas secara lugas memulai presentasinya dengan tiga kesimpulan yang jernih. Pertama, semua kekerasan besar di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, selalu diiringi, bila tak dimulai, dengan berita palsu, baik soal ras atau agama.

 

Kesimpulan kedua yang diungkapkannya adalah; semakin bermutu kualitas jurnalisme, makin bermutu informasi yang diterima masyarakat, sehingga semakin meningkatkan mutu opini publik, dan terakhir akan menyebabkan meningkatkan mutu demokrasi. Sebaliknya juga demikian, makin buruk kualitas jurnalistik di Indonesia, akan berdampak pada buruknya kualitas demokarasi.

 

Kesimpulan ketiga; kekerasan besar rawan terjadi apabila polarisasi berkembang akibat berita palsu yang disebabkan ketidakmampuan jurnalisme dalam mengatasinya.

 

Tiga kesimpulan itu ditarik dari hasil penelitian panjang yang diinisiasi sejak mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 ketika berbagai kekerasan meledak di Indonesia. Sejak itu, Andreas menenggelamkan diri dalam penelitian yang mengharuskannya mengunjungi lebih dari 90 lokasi, kuburan massal, daerah tsunami, lokasi kekerasan etnik, kekerasan sektarian, mengunjungi konflik antara penduduk asli melawan militer modern, mendatangi sejumlah makam presiden mulai Soekarno, Suharto, hingga Gus Dur.

 

Secara lebih intensif pada periode 2003 hingga 2008, ia mewawancara lebih dari 800 sumber, riset dan penulisan, serta melakukan wawancara tambahan sebagai peneliti Human Rights Watch. Rangakaian liputan panjang itu berakhir pada 2017 dengan pengadilan “penodaan agama” terhadap mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

 

Andreas melakukan penelitian dengan menggabungkan dua keterampilannya yaitu ketrampilan jurnalistik dan riset di bidang Hak Asasi Manusia. Penelitian itu pada akhirnya ditebitkan oleh perguruan tinggi ternama di Australia, Monash University Publishing pada Mei 2019 dengan total 280 halaman dalam sebuah buku berbahasa Inggris berjudul “Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia”.

 

Salah satu catatan menarik yang saya garisbawahi dari presentasi Andreas siang tadi, adalah catatannya mengenai suku mayoritas dan suku minoritas yang ada di Indonesia. Menurut Andreas, kelompok kecil dalam lanskap Indonesia, tidak berarti minoritas di sebuah wilayah berbeda terutama di wilayah asalnya, contohnya suku Dayak di Kalimantan.

 

Catatan ini menarik, mengingat kekerasan umumnya dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas. Sehingga tidak melulu kelompok suku atau agama yang kecil dari pada yang lain tak melakukan kekerasan. Bisa jadi, kelompok kecil ini melakukan kekerasan pada kelompok yang lebih kecil di tempat lain.

 

Contoh misalnya, umat Islam yang perupakan pemeluk agama terbesar di Indonesia dengan prosentase sekitar 80 persen, dan menjadi kelompok yang mendapat intimidasi di pulau-pulau lain di luar Jawa karena menjadi minoritas. Sementara di pulau Jawa, kelompok masyarakat beragama Kristen kerap menjadi korban perilaku intimidatif dari kelompok agama yang lebih besar.

 

Pola ini ditemukan sepanjang perjalanannya. Seperti ‘ngonce'i kacang’, ia membedah konflik-konflik di tanah air satu demi satu. Ia memulai dari cerita konflik di Aceh tahun 1998 yang menyebabkan 10 ribu korban jiwa. Konflik serupa juga terjadi di Kalimantan dalam kasus pembantaian etnis Madura yang menyebabkan 6.500 etnis Madura terbunuh pada 1997-2001. Lalu ketegangan Kristen dan Muslim di Sulawesi termasuk Kekerasan sektarian di Poso dengan korban sebanyak 600 korban jiwa.

 

Kekerasan lain yang diangkat Andreas adalah konflik sektarian yang meledak di Ambon pada 1999 antara golongan Kristen dan Islam, yang menyebabkan sekitar 10,000 korban jiwa dalam lima tahun. Kala itu, kelompok Muslim Conspiracy Theorists menuduh Republik Maluku Selatan, sebuah kelompok turunan dari gerakan 1950, mencoba memisahkan diri dari Indonesia. Kekerasan menjalan ke Maluku Utara antara milisi “kuning” dan “putih” yang tergolong pada kesultanan Ternate dan Tidore, dan menyebabkan sekitar 25,000 terbunuh.

 

Di Indonesia bagian timur, Andreas mengangkat kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk dengan pelarangan jurnalis independen untuk masuk ke Papua yang menyebabkan minimnya informasi objektif tentang wilayah tersebut.

 

Tentu saja Andreas menggarisbawahi pembantaian yang sangat besar yang terjadi di Pulau Jawa dengan jumlah korban yang sangat fantastis yang diprediksi mencapai satu juta orang dalam kasus 1965.

 

Dari kesemua konflik tersebut, Andreas menggaris bawahi adanya kesamaan; bahwa dalam setiap peristiwa tersebut, terdapat, kalau tidak diawali, dengan berita palsu. Penekanan ini sangat penting diulang, mengingat dalam era digital seperti saat ini, internet dapat menyebarkan kabar palsu lebih cepat dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.

 

Di akhir presentasinya, ia menyimpulkan bahwa disinformasi dan berita palsu diproduksi dan digunakan berbagai golongan etnik dan agama mencari kuasa di Indonesia untuk mobilisasi sentimen kesukuan dan agama yang kerap berujung pada kekerasan antar kelompok masyarakat.

 

Presentasi tersebut menunjukkan dua hal setidaknya, pertama betapa berbahayanya berita palsu yang dapat menggiring pada konflik besar, dan yang kedua, betapa pentingnya mengembangkan jurnalisme yang berkualitas untuk membentengi masyarakat dari derasnya informasi palsu di era digital.

 

*) Redaktur NU Online