Opini

Gus Dur: Mahaputra Indonesia Penakluk Sejarah

Sab, 19 Desember 2020 | 15:00 WIB

Gus Dur: Mahaputra Indonesia Penakluk Sejarah

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: Kemndikbud)

Ruang-waktu adalah wahana di mana sejarah lahir dan berkelindan dalam kehidupan manusia. Kita, adalah anak-anak waktu yang meruang. Menghiasi muka bumi dengan pernak-pernik kisah yang seolah tiada sudah. Ada yang lahir. Ada yang mati. Ada yang datang. Kemudian pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Begitu selalu dari zaman ke zaman. Demikianlah roda sejarah berputar. Membawa kabar dari masa lalu ke hari ini, untuk diwujudkan masa depan.


Segenap warga Nahdliyin pernah merasa begitu kehilangan pada Rabu, 30 Desember 2009, ketika ratna mutu manikam Muslim Indonesia, DR KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pergi selamanya menuju keabadian. Langit mendung kesedihan, lelehan air mata pilu nan haru, beraduk jadi satu. Mengenang itu, kami teringat buah karya Efek Rumah Kaca dalam lagu ‘Hujan di Bulan Desember.’ Dalam kapasitasnya sebagai mantan Presiden Indonesia keenam (setelah Sukarno, Sjafrudin Prawiranegara, Assaat, Soeharto, dan Habibie) yang juga ulama berpengaruh, upacara pelepasannya menandingi saat Bung Karno wangsul pada 21 Juni 1970. 


Merujuk perayaan haul Gus Dur yang kian marak hingga kini, barangkali suatu saat kelak akan ada peringatan Hari atau Bulan Gus Dur di Indonesia—sebagaimana Juni yang disematkan kepada Bung Karno. Lantas bekasan apa yang ditinggalkan Gus Dur untuk kita gali lebih dalam? Mari kita mulai dari nama yang ia sandang: Abdurrahman ad Dakhil.


Kendati itu nama lahir yang disematkan oleh KH. Wahid Hasyim, namun kemudian kalah tenar tinimbang Gus Dur yang semula berkembang dari lingkungan pesantren. Secara kaidah bahasa Arab, nama tersebut bisa kita terjemahkan sebagai Hamba Welas Asih yang jadi Penakluk. Dari mana nama ini berasal?


Nun jauh di Andalusia sana, Abdurrahman ad-Dakhil yang kelak ditahbis sebagai Abd al-Rahman I (l. 731 M, Tadmur, Suriah – w. 788 M, Kordoba), adalah peletak dasar bagi pendirian Dinasti Umayyah II di Spanyol. Ia menaklukkan dunia Barat dan membangun peradaban Islam gilang gemilang yang menyaksikan kemunculan Ibn Rusyd dan Syekh al Akbar Ibn ‘Arabi, pada kemudian hari. Dua kampiun Muslim yang jejak pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.


Lalu apa pula yang ditaklukkan Gus Dur? Apa lagi kalau bukan keakuannya sendiri, sehingga akhirnya ia berhasil menaklukkan hati umat manusia. Sudah tak berbilang kronik yang mengisahkan, betapa dalam diri sosok ini berpadu sempurna persahabatan-permusuhan, benci tapi rindu, cinta namun bertikai. Nyaris macam Sukarno, yang dipuja selaik dewa, dicaci seperti bandit. Sedari golongan manusia kasta tertinggi, hingga kawula, menguluk takzim padanya dalam skala yang membingungkan nalar. 


Landasan dasar kerja kemanusiaan Gus Dur, mungkin bisa kita telusuri dari sebuah hadits shahih yang kami nukil dari kitab ad-Durar as-Saniyyah fi ar-Radd 'ala l-Wahabiyyah karya Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, gurunda Syekh Nawawi al Bantani. 


Di dalamnya disebutkan, Rasulullah Saw pernah mendatangi bejana milik Abdullah bin Abbas ra (pamannya) guna meminum air dari situ. Mengetahui hal tersebut, Abbas menyuruh putranya, Abdullah, agar mengambilkan air baru yang belum pernah diminum oleh umat Islam lain, di rumah mereka. Sebab menurut Abbas, air itu terlalu kotor untuk Rasulullah. Lalu Abbas berujar kepada Beliau, “Ya Rasulullah, air ini telah disentuh oleh banyak orang. Oleh karena itu, kami bawakan untukmu air baru yang belum pernah diminum orang lain.” Namun, Rasulullah malah menjawab, “Tidak. Sesungguhnya aku meminum air itu karena ingin mendapatkan keberkahan dari umat Islam, dan dari apa yang disentuh oleh tangan-tangan mereka.”


Kalangan santri pasti akrab dengan istilah tabarukan pada kiai, tapi mungkin belum banyak yang sadar jika para kiai juga ngalap berkah santrinya. Dari latar keluarga yang mana pun mereka berasal. Bahkan Mbah Maimoen Zubair pernah kepergok para santri kala mencium lembut tangan seorang anak kecil dengan begitu khidmat. Ketika ditanya, beliau enteng saja menjawab, “Anak-anak itu belum berdosa, dan bisa jadi mereka lebih mulia dari saya.” Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Syekh Fadhil, Syekh Ali Jaber, dan Habib Umar bin Hafidz.


Menilik hadits dan atsar atau bekasan para ulama tersebut, mestinya kita juga mafhum betapa setiap Muslim—apalagi di Indonesia yang merupakan jumlah terbesar dunia sekaligus laboratorium tenggang rasa terbaik masyarakat modern—dan semua manusia di kolong langit, membawa keberkahan tersendiri dari Sang Khaliq. Karena kita tak benar-benar tahu apa yang dikehendaki Allah dari hidup setiap manusia.


Kesadaran seperti inilah yang membuat Gus Dur tak pernah sembarang tindak, kendati tampak serampangan menindak. Mencermati ia bisa menjadi presiden hanya modal dengkul saja, sudah cukup jadi tolok ukur bahwa dirinya tak menggunakan logika politik, melainkan masuk dalam medan arena catur Ilahi. Hanya manusia bertaraf dewa saja yang mampu memahami Gus Dur yang sejati. 


Ia membuka cakrawala pemikiran baru dengan merobohkan tembok kejumudan akut. Ia membuka ruang dialog terbuka antar umat beragama. Ia ingin setiap orang diperlakukan setara di bawah payung hukum, tanpa membedakan warna kulit, etnik, apalagi sekadar adicita. Gus Dur menghargai mereka sebagai sesama manusia dan warga negara.


Gus Dur sudah membangun Indonesia baru yang sayangnya masih dinodai prasangka dan kebencian segelintir orang. Masa lalu yang kejam lagi kelam, telah ia pupuskan. Peran serta masyarakat pelahan dibangun. Mereka yang lemah tak lagi ditinggalkan. Dengan rasa kesetiakawanan dan persaudaraan yang luas dan kuat itu, kita mulai bisa membangun Indonesia tangguh. Tak heran bila Gus Dur rela meminta maaf kepada korban 1965 yang diserang Banser NU. Meskipun Gus Dur berkilah, bahwa ia juga memiliki kerabat yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948. Semua jadi begitu sederhana baginya. Kita harus mencabut kebencian di hati siapa pun, dengan mencabutnya lebih dulu dari hati sendiri.


“Mari kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita yang tak boleh dilupakan sama sekali,” demikian pesan Gus Dur suatu kali.


Dalam kitab al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani karya Syekh Abdul Qadir al Jilani, kami menemukan sebuah Hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi, "Manusia adalah anak-anak tanggungan Allah, dan manusia yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling berguna bagi anak-anak tanggungan-Nya." Peran inilah yang telah dijalankan Gus Dur secara paripurna. Ia adalah suri teladan bagi kita, dalam soal daya hidup dan daya mati. Bukti ia tetap hidup di Alam Kematian, amal jariyahnya masih tumbuh subur di alam kita yang fana’ ini.  


Rekam jejak yang sarat makna tersebut, kan tetap hidup dalam ingatan kolektif kita. Sebuah mahakarya Tuhan yang pantas dikenang sebagai prasasti kebangsaan. Bekasannya pasti sangat berguna bagi perjalanan bangsa ini ke depan. Lantaran kisah-kasih kehidupan Gus Dur bakal terasa terus menyala. Menginspirasi jutaan anak muda yang tertarik berjuang di jalur keadilan. Pada masa mendatang, semoga ada lebih banyak pelanjut Gus Dur, yang menunjukkan kewibawaan manusia yang sama rata, sama rasa. 


Akhir kalam, terlepas dari beberapa kekurangan-kelebihan Gus Dur selaku manusia biasa—karena pada komunitas dewa tidak ada model pemerintahan, ia cenderung terlihat lemah dalam hal manajemen demokrasi—meskipun jasa besarnya bagi bangsa ini, sungguh tak ternilai. Selain pantas ditahbis sebagai mahaputra Indonesia setelah Sosrokartono dan Sukarno, beliau layak menduduki posisi kehormatan sebagai Wali ke Sebelas di bumi Nusantara.

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.