Opini

Gus Muwafiq dan Fitnah Menghina Nabi

Sel, 3 Desember 2019 | 16:08 WIB

Gus Muwafiq dan Fitnah Menghina Nabi

Gus Muwafiq saat berceramah di PBNU (Foto: NU Online)

Oleh Ahmad Rozali
 
“Ini risiko berdakwah Zal,” kata Gus Muwafiq sambil tersenyum kepadaku di dalam lift sebuah hotel di Jakarta, Selasa (3/12), malam tadi. Sekeluarnya dari lift hotel, beliau lalu menghilang masuk ke dalam sebuah mobil menuju lokasi pengajian selanjunya.

Risiko yang dimaksudkannya tak lain saat Gus Muwafiq difitnah menghina Rasulullah SAW saat menyontohkan aspek ‘kemanusiaan’ kekasih Allah yang paling mulia ini dengan kata ‘rembes’. Sebenarnya, dengan kalimat demikian, Gus Muwafiq mau mengajak kita melihat Rasulullah SAW sebagai sosok ‘manusia’ biasa. Tujuannya tak lain selain edukasi, agar sisi kebaikannya dapat kita tiru. 

Aku bisa memahaminya karena diberi kesempatan berguru pada Gus Muwafiq untuk beberapa lama semasa menempuh kuliah di Jogjakarta. Gus Muwafiq dalam kesempatan berbeda, kerap menjelaskan pentingnya melihat Rasulullah dalam konteks manusia. Misalnya perbedaan Nabi Muhammad SAW dengan nabi-nabi sebelumnya dalam aspek menyelesaikan masalah dunia krusial dengan umatnya. 

Nabi Muhammad SAW menyelesaikan urusan dunia dengan ‘cara manusia’ yang umumnya rasional. Beliau tidak menghancurkan kaum kafir yang menentang dakwahnya sebagaimana yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya, misalnya dengan menenggelamkan mereka di dasar laut sebagaimana Nabi Musa AS yang mampu membelah lautan. Nabi Muhammad tidak seperti Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar api. Nabi Muhammad juga tidak menghidupkan orang mati sebagaimana dilakukan Nabi Isa AS. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW menyelesaikan urusannya dengan cara manusia. “Tujuannya, saat kelak Nabi wafat, umatnya bisa meniru caranya…,” katanya. 

Cara belajar seperti itu akan membawa kita menjadi lebih mudah belajar dari cara Rasulullah SAW dalam menyelesaikan sebuah masalah. Namun cara belajar demikian mengaruskan pikiran seseorang terbuka untuk menerima bahwa rasulullah, pada dasarnya adalah dzat manusia yang memiliki ketersinggungan dengan banyak hal, hajat, sakit, sedih, senang dan seterusnya. 

Saya menduga, bahwa orang yang memfitnah Gus Muwafiq menghina Rasulullah SAW adalah orang yang tidak tahu betapa mencintainya Gus Muwafiq pada Rasulullah SAW. Saya berani bertaruh bahwa jadwal (undangan menghadiri) peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW lebih padat dari si penuduh. Ini menunjukkan betapa Gus Muwafiq sangat mencintai Rasulullah. 

Belum lagi jika hendak menyebut kededakat Gus Muwafiq dengan bacaan shalawat yang intim. Sebagaimana kiai NU pada umumnya, Shalawat Nabi Muhammad SAW adalah bagian dari wirid keseharian atau wirid saat-saat genting tertentu. 

Seperti contoh begini; pada saat salah seorang dari santrinya datang ke beliau atas hajat tertentu, biasanya Gus Muwafiq akan meminta Si Santri untuk membaca shalawat dalam jumlah tertentu sebelum meminta hajatnya pada Allah SWT. Semakin besar hajat yang diinginkan, makan biasanya makin banyak shalawat dan istighfar yang harus dibaca. Sering kali para santri diminta membaca Shalawat Nariyah dan Istighfar sebanyak 4444 kali dalam semalaman. Di lain kesempatan, Gus Muwafiq mensyaratkan jumlah yang lebih. 

Tujuan dari istighfar dan shalawat tak lain adalah menyucikan diri dari dosa dengan meminta ampun pada Allah SWT dan mengharap kedekatan pada Rasulullah SAW. Baru setelah ritual penyucian diri itu dilakukan dengan baik, Si Santri memintakan hajatnya pada Allah SWT. Jadi bagaimana bisa seseorang yang begitu dekat dengan shalawat nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya dianggap menghina Nabi Muhammad, kekasih yang disebut-sebutnya itu?

Permintaan Maaf dan Pelaporan FPI 
Tapi itulah Gus Muwafiq, seorang kiai yang dulunya aktivis Reformasi 1998 penentang Suharto, yang mengalah atas apa yang dituduhkan padanya saat ini. Dengan enteng dia mengatakan ini semua sebagai risiko dari dakwah yang dilakukannya. 

Aku sendiri sempat protes atas permintaan maaf Gus Muwafiq. Sebab selain bertujuan untuk menyederhanakan agar lebih mudah belajar tentang sosok Rasulullah, banyak referensi yang mendukung sosok Nabi Muhammad yang juga bisa mengalami hal manusiawai seperti itu, misalnya dalam novel “Muhammad Sang Pembebasnya” Abdurrahman Asy Syarwoqi. Mendengar komplainku Gus Muwafiq mengatakan bahwa permintaan maafnya itu disarankan oleh seorang kiai sepuh NU. Mendengar itu, aku hanya mengangguk. Di dalam tradisi NU, hampir tidak ada hal yang lebih sakti dari dawuh kiai atau guru…

Walau begitu, sebenarnya aku menangkap ‘sirrun’ atau sesuatu yang tersembunyi di dalam redaksi permintaan maaf tersebut. Aku menangkap bahwa permintaan maaf itu adalah bentuk komunikasi Gus Muwafiq pada Allah SWT. Saat Gus Muwafiq mengatakan “…Mungkin inilah cara Allah menegur agar lebih adab pada Rasulullah…” dalam permintaan maaf terbukanya, beliau memohon ampun pada Allah barangkali teledor dan kurang beradab pada Rasulullah SAW atas kalimat yang disampaikannya. Beliau menyadari, bagaimanapun, manusia tempat salah dan khilaf…

Namun nampaknya sekelompok orang masih belum puas atas permohonan maaf Gus Muwafiq. Tapi tetap saja  FPI melaporkannya. Ini sebenarnya hal biasa jika kita mau sedikit observasi jejak rekam pelapor yang datang dari Front Pembela Islam. FPI sejak beberapa tahun yang lalu memang gamar melaporkan seseorang. Sebut saja Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, juga anak-anak Sukarno mulai Sukmawati, Rachmawati dan Megawati. Nama-nama itu tak lepas dari incaran FPI dengan kasus mulai dugaan penistaan agama dan pencemaran nama baik (Merdeka.com, 2017). Maka dalam hal ini lapor-melaporkan memang sudah menjadi cirikhas FPI. 

Bedanya, kali ini, yang dilaporkan Gus Muwafiq. Sosok kiai muda yang memiliki banyak pengikut di kalangan muda NU. Sejak tuduhan ini mencuat melalui penyebaran potongan video pidatonya, NU mulai bereaksi. Sejumlah gambar pembelaan pada Gus Muwafiq beredar luas di laman media sosial, mulai dari kalangan NU secara umum, Banser, Pagar Nusa, peneliti NU dan seterusnya. Puncaknya, seperti biasa,  Twitter menujukkan polarisasi masyarakat melalui hastag #KamiBersamaGusMuwafiq pada Senin (2/12) dan yang seolah berhadapan dengan #KamiBersamaRasullahSAW pada Selasa (3/12).
 
Nah, yang menghawatirkan, jika dukungan kelompok NU yang membela Gus Muwafiq dan FPI di sisi lain sama menguat, ini sangat berpotensi melahirkan kemadlorotan yang lebih luas.  

Namun, dalam keadaan sedemikian kalut, saat saya bertemu dengan Gus Muwafiq di hotel malam ini usai beliau mengisi pengajian di Bekasi, berpembawaannya tetap santai. Bahkan sebelum meninggalkan Jakarta malam ini, beliau sempat berpesan sambil tersenyum, “Ya begini risiko berdakwah Zal,” katanya…
 
Penulis adalah Nahdliyin kelahiran Bawean