Opini BULAN GUS DUR

Hangat Dingin Hubungan Akbar Tanjung dan Gus Dur

Kam, 19 Desember 2019 | 10:10 WIB

Hangat Dingin Hubungan Akbar Tanjung dan Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid dan Akbar Tanjung bertemu di sebuah forum di Jakarta (Foto: liputan6)

Oleh Alamsyah M Djafar
 
Belut berselimut oli. Seperti itulah adanya mantan Ketua Umum Partai terbesar di Era Orde Baru dan mantan Ketua DPR ini. Ia lahir di Tapanuli Tengah, tiga hari sebelum kemerdekaan. Tumbuh dewasa di sana dan belakangan muncul di panggung kekuasaan dengan gaya bicara seperti keluarga Keraton Solo. Kata-kata yang keluar tampak terpilih, seringkali bersayap, tak meledak-ledak, dengan intonasi yang lurus dan tampak seperti orang ogah-ogahan. Dalam politik, saya pernah mendengar entah dari siapa-siapa jika Pak Akbar itu bagai belut berselimut oli. Piawai dengan kemampuan kalkulasi politik yang matang. Tumbuh bersama Orde Baru, ia berhasil lolos dari gelombang reformasi, dan berhasil bertahan dengan pengaruh yang tak bisa dibilang layu di lingkungan Partai Golkar saat ini.
 
Dalam sejarah lisan dan tulisan yang diterima hingga hari ini, Pak Akbar Tanjung menjadi salah seorang aktor penting di balik terjungkalnya KH Abdurrahman Wahid dari istana. Bagi para pendukung Gus Dur, Pak Akbar Tanjung bersama Golkarnya punya dosa politik. Pak Akbar menjadi salah seorang musuh politik nyata bagi Gus Dur ketika itu, meski sebelumnya ia dan Golkar mendukung Gus Dur. “Tapi, setelah itu semua, hubungan saya dengan dia itu sangat baik, dan saya sangat menghormati beliau,” kata Akbar merujuk peristiwa Sidang Istimewa yang akhirnya memberhentikan Gus Dur. 
 
Beberapa tahun setelah kemelut itu, Akbar beberapa kali muncul bersama Gus Dur. Ia juga bercerita jika beberapa kali Gus Dur bertemu dengan dirinya di rumah milik isterinya di Kota Solo. Pak Akbar di salah satu kegiatan Wahid Institute pada masa awal-awal berdirinya organisasi ini. “Saya memberikan dukungan kepada pendirian Wahid Institute,”katanya. Ia menjenguk saat Gus Dur terbaring di rumah sakit. Beberapa kali saya lihat Pak Akbar nongol dalam kegiatan Haul Gus Dur di Ciganjur. Hubungan mereka seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal, peristiwa itu, bahkan dalam ingatan Pak Akbar amat menengangkan.   
 
Nama Pak Akbar memang masuk dalam daftar tokoh yang bakal diwawancarai selain tiga puluh tokoh lain untuk buku yang akan menghimpun pandangan dan pengalaman banyak tokoh tentang Gus Dur. Rencana ini disepakati beberapa bulan setelah Gus Dur meninggal di pegujung Desember 2009. Bersama Wiwit Fatkhurrahman, kolega saya di Wahid Institute yang kini bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi, kami mendatangi rumah Pak Akbar di Kebayoran Baru. Wawancara ini berlangsung sekitar Oktober 2010. Kami bicara tentang hubungannya dengan Gus Dur dan titik-titik krusial hubungan mereka. 
 
Jauh sebelum waktu wawancara tiba, saya memang sudah menyiapkan pertanyaan soal ini. Saya ingin tahu bagaimana ia menjawabnya. Sebagai mahasiswa pendukung Gus Dur di pengujung kejatuhan Gus Dur tahun 2001, kemarahan saya pada Akbar Tanjung dan Golkar ketika itu mungkin sudah di ubun-ubun. Tentu saja pada setiap pihak yang kami anggap terlibat seperti seorang di antara mereka adalah Amien Rais, politisi PAN dan tokoh Muhammadiyah. Juga pada aktivis-aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Ciputat yang ketika itu memotori aksi-aksi demonstrasi menjatuhkan Gus Dur. Sebagai aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat, mereka yang hendak menjatuhkan Gus Dur adalah lawan politik yang nyata. 
 
Karena itu, saya senang sekali Gus Dur sebagai presiden mengeluarkan dekrit yang salah satunya berisi pembubaran Partai Golkar. Bahwa belakangan langkah itu kandas mengehntikan pemakzulan Gus Dur, itu soal perkara lain lagi. Setelah pernyataan di bacakan Gus Yahya Cholil Staquf, juru bicara Presiden ketika itu, saya ikut berteriak-teriak kegirangan. Saya teringat wajah Pak Akbar. Dekrit diambil karena pihak-pihak yang hendak melengserkan Gus Dur dinilai telah melanggar konstitusi.
 
“Tentu kita memberikan kesempatan lah kepada orang-orang untuk memberikan pandangan sejauh itu masih dalam koridor konstitusi. Kami akan terus menghormati. Tapi, kalau sudah kami anggap itu sudah keluar dari koridor konstitusi tentu ada reaksi-reaksi dari Golkar,” jawab Pak Akbar saat saya tanya soal dekrit itu masih dengan intonasi yang lurus-lurus saja.

Di antara satu sumber ketegangan mereka adalah soal pencopotan Pak Yusuf Kalla yang berasal dari lingkungan partai Golkar dan sebelumnya ditunjuk Gus Dur menjadi Menteri Perindustrian. “… pada waktu dia mau mencalonkan Pak Yusuf Kalla itu, terus terang dia meminta izin, kepada saya,” kata Akbar menjelaskan. “Dari pihak Golkar, tentu timbul reaksi. Ada tuduhan bahwa beliau korupsi, begitu kan?” 
 
“Beliau adalah seorang politisi yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang sangat tajam, dan pandangan-pandanganya terhadap sesuatu juga tajam, dan tentu memiliki komitmen yang sangat kuat untuk membangun kemajuan bangsa. Dan tentu saja karena beliau adalah seorang politisi, tentu beliau melakukan langkah-langkah politik, mempertahankan kekuasaannya, dan melakukan sikap-sikap politik, yang mungkin bagi orang-orang yang tidak memiliki pandangan yang tidak sama itu, adalah suatu sikap politik yang cukup keras.” Begitulah Pak Akbar bicara tentang Gus Dur. Masih dengan intonasi yang tak meledak-ledak dan seperti ogah-ogahan, tapi sebetulnya pernyataan dengan kalimat yang terpilih dan kadang-kadang bersayap.
 
Penulis adalah peneliti senior Wahid Institute