Opini

Keteladanan Guru Betawi

Rab, 25 November 2020 | 03:15 WIB

Keteladanan Guru Betawi

Mereka juga guru dalam pengertian yang sebenarnya: berilmu, menguasai metodologi pembelajaran dan memilki 'ijazah' mengajar dari guru-gurunya.

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
 

Untuk memperingati Hari Guru Nasional, 25 November ini, saya mengangkat tulisan tentang keteladanan guru di masyarakat Betawi. Selain karena orang Betawi suka ngaji kedudukan guru, khususnya guru ngaji dengan status sebagai muallim, kiai, dll mendapat kedudukan yang terhormat, yaitu  menjadi salah satu pemimpin informal bagi masyarakat Betawi.

 

Walaupun mereka mendapat kedudukan yang terhormat, tidak sedikit guru ngaji di Betawi belum tersejahterakan secara ekonomi. Padahal, hidup mereka dibaktikan untuk mengajar nyaris dua puluh empat jam di berbagai majelis taklim. Dan, mereka juga guru dalam pengertian yang sebenarnya: berilmu, menguasai metodologi pembelajaran dan memilki 'ijazah' mengajar dari guru-gurunya.

 

Banyak murid-murid mereka yang berhasil menjadi pegawai atau pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dan juga instansi-istansi pemerintah atau swasta lainnya. Hal yang membedakan mereka dengan guru di lembaga formal adalah mereka tidak mendapat gaji, tunjangan, tidak ada cuti; hanya sakit dan kematian yang menghentikan aktivitas mengajar mereka. Mereka belum sepenuhnya masuk dalam program peningkatan kualitas guru, apalagi   masuk dalam agenda pengangkatan guru PNS.

 

Padahal, tidak sedikit ustadz dan kiai ini yang juga diminta oleh beberapa sekolah untuk mengajar sebagai guru agama. Mereka hanya dibutuhkan oleh para pejabat jika ada hajatan, untuk memberikan tausiyah atau memimpin doa. Mereka mewarisi prinsip dari guru-guru pendahulunya untuk selalu menjaga kehormatan diri dan profesi (muru`ah) dengan meminta-minta apalagi protes kepada murid-muridnya mengenai isi amplop yang biasanya diberikan setiap selesai mengajar, sesulit apapun kondisi yang menghimpitnya. Seperti perkataan Guru Mahmud, salah seorang dari Enam Guru Betawi Terkemuka (The Six Teachers), "Gaji dari Tuhan saja." 
 

Contoh yang pernah saya temui adalah seorang guru ngaji Betawi terkemuka di daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat. Beliau seorang penerus mata rantai penerus keilmuan dan sandaran intelektual (isnad) dari mu`allim KH M Syafi`I Hadzami dan KH Abdul Hanan Said ini. Ia tidak seberuntung ustadz atau kiai Betawi lainnya dalam masalah kesejahteraan hidup. Ia tinggal di rumah yang sempit bersama anak cucunya yang terletak di gang yang juga sempit. Banyaknya keluarga yang harus ditanggung, tidak menghalanginya untuk terus mengajar. Padahal, beliau sudah sepuh dan mulai sakit-sakitan.

 

Untuk menutupi kebutuhan hidup, ia membuka warung kecil-kecilan. Tambahan lain diperolehnya dari pemberian amplop murid-muridnya yang datang mengaji. Beliau mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya, mu`allim KH M Syafi`i Hadzami yang juga berdagang untuk menutupi kebutuhan hidupnya.  

 

Keikhlasan dan pengorbanan seperti inilah yang menjadikan nama dan kiprah mereka terus dikenang, bukan saja oleh para muridnya tetapi oleh masyarakat Betawi tujuh turunan bahkan oleh masyarakat luas entah sampai kapan. Suatu prestasi yang sulit ditemukan pada guru-guru yang berpenghasilan tetap.

 

Inilah keteladanan yang harusnya ditiru oleh para guru lainnya, baik yang PNS atau yang berpenghasilan tetap di tengah krisis keteladanan yang mendera bangsa ini. Keteladanan yang akan menyadarkan para guru bahwa berpenghasilan tinggi belum tentu akan menjadikan ilmu yang mereka berikan dapat berbekas dan bermanfaat bagi murid-muridnya, tetapi keikhlasan dan pengorbanan merekalah yang akan dikenang sepanjang masa oleh murid dan tercatat dengan baik sebagai pahala yang akan mereka tuai di akhirat kelak.

 

Penulis adalah aktivis NU.