Opini

Ketika Akhirnya Harus Berguru ke Tukang Batu

Ahad, 16 Februari 2020 | 01:00 WIB

Ketika Akhirnya Harus Berguru ke Tukang Batu

Judul Lukisan "Tuhanku, Aku Kalah." Ukuran 25 x 35 cm, first oil painting on glass, 1986 M. (Foto: Didin Sirojuddin AR)

Oleh DidinSirojuddin AR
 
"Tuhanku, Aku Kalah" adalah lukisan kaca pertama yang saya buat. Pelajarannya tidak diperoleh dari pelukis glass painting, melainkan dari seorang tukang batu. Uniknya, terjadi di tempat para pelukis, seniman hebat, dan intelektual kampus berkumpul.

Pada tanggal 12 September 1986, saya mengisi acara Sarasehan Kaligrafi yang diiringi pameran 30 pelukis Yogya atas prakarsa mahasiswa IMM Universitas Gadjah Mada, di Gedung Seni Sono Yogyakarta. Waktu itu merupakan tahun-tahun memanasnya "peperangan terbuka" antara khattat (kaligrafer) yang mempertahankan "kaligrafi murni tradisional" dan para pelukis yang memunculkan gaya baru yang disebut  "kaligrafi lukis". Anehnya, saya selalu membela pelukis.
 

Tanpa diduga, seorang peserta mengajukan pertanyaan: "Kalau lukisan Pak Sirojuddin yang mana ya?" Waduh! Saya tidak bisa menjawab dan kesulitan kasih alasan. Sebab, saya tidak ikut pameran, bahkan belum pernah melukis kaligrafi.

Alhamdulillah. Tidak disangka, seorang wartawan Kedaulatan Rakyat Sangpurwaning (Pur) tiba-tiba ngebantuin menjawab, "Mas Didin itu pelukis buku. Hanya berteori." Whalaaah... ini lebih gawat. Tapi Mas Pur tidak salah. Sebab, dia tahu kalau saya hanya menulis buku-buku dan artikel kaligrafi. Cuma menganalisa tapi tidak melukisnya.

Duuuh. Di ruangan diskusi itu, sontak saya terpuruk, merasa jadi orang kalah yang nggak bisa apa-apa. Merasa paling bodoh sedunia. Kenapa tidak bisa melukis kaligrafi, kerjanya cuma ngecap di mana-mana. Pikiran pun jadi kalut, mondar-mandir membayangkan "nasib orang bodoh" yang nggak jelas juntrungannya. Bahkan suka bikin repot orang lain.
 

Terngiang cerita Nabi Isa yang sanggup menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang mati atas izin Allah. Tapi waktu ditanya, "Ya Rasulullah, apakah obat untuk menyembuhkan penyakit kebodohan?" Nabi Isa malah menjawab, "Waaah, yang itu mah saya nggak tahu."
 
Teringat lagi kepada Ibrahim bin Adham. Ketika ditanya, "Ya Syekh, beri tahu saya tentang batas-batas kebodohan!" Eh, tokoh sufi itu menjawab, "Duh, saya juga tidak tahu sampai di mana ya batas-batas kebodohan itu." Persis iklan salah satu merk rokok, "Genius itu terbatas, bodoh tak terbatas." Orang bodoh susah diatur. Selalu kalah. Gampang ditipu. Seolah sayalah orang bodoh yang mengenaskan itu.

Saya cari akal. Di ruang pameran itu ada lukisan kaligrafi kaca yang menarik perhatian saya. Pelukisnya Sutarmuji, kuli bangunan yang bertugas menata batu-bata untuk fondasi rumah. Sekolahnya hanya setingkat SD, tapi pintar melukis di kaca secara otodidak. "Ji, ajarin saya melukis kaca ya," pinta saya sambil mengundangnya ke hotel tempat saya nginap.

Sampai malam larut di penginapan. Tanpa alat peraga apa pun, Sutarmuji menjelaskan detail-detail teknik melukis kaca dan saya menyimaknya dengan serius. Dimulai dari peralatan yang harus disiapkan, yaitu kertas transparan untuk desain huruf, selotip, pulpen rapido untuk garis kontur, cat minyak, kuas beberapa ukuran, baskom plastik, kaca setebal 2-3 mm, minyak tanah, dan roll tissue.

Ini adalah perkakas standar lukisan kaca untuk obyek-obyek manusia dengan rupa-rupa kegiatannya, binatang buraq, macan, burung, dan kuda; kaligrafi huruf-huruf lepas, wafaq atau sekadar pemanis bidang lukisan, dan wayang untuk melambangkan tokoh wayang atau adegan cerita pewayangan.

Terakhir, guruku  mendemonstrasikan tahap-tahap melukis "in absensia". Diawali dari pembuatan desain di kertas kalkir, lalu menempelkannya secara terbalik di kaca. Dari seberang desain, cat digoreskan mengikuti huruf yang terbalik.

Setelah kering, dilakukan peneraan warna latar dengan mencelupkan punggung kaca ke air di baskom yang sudah ditawuri cat warna-warni. Tunggu kering. Finishing touch-nya dengan menambahkan pembilasan background yang belum tertutup cat dengan cat yang berwarna opposite warna-warna sebelumnya. Selesai sudah sebuah "lukisan fiktif" dibuat. Alhamdulillah. ("Terima kasih guruku. Sekarang aku dapat ilmu baru karena kemuliaanmu.").

Sepulang ke rumah, dengan semangat menggebu saya langsung melukis di kaca. Ini berarti setahun sebelum saya mulai melukis di kanvas. Temanya tentang doa orang kalah yang terambil dari Hizib Nashar dan jeritan Nabi Nuh yang merasa terus-terusan dikalahkan oleh kaumnya dalam Al-Qur’an Surat Al-Qamar ayat 10: ربّ إنّي مغلوبً فانتَصِر Artinya, "Tuhanku, sungguh aku kalah. Maka tolonglah aku." Lewat tangan guruku yang ikhlas, Allah menolongku dari kekalahan dan kebodohan.
 

Penulis adalah pengasuh Lembaga Kaligrafi (Lemka). Ia juga pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.