Opini

Kiai Sumu, Masjid Al-Qadim, dan Barongsai

Kam, 2 Januari 2020 | 02:30 WIB

Kiai Sumu, Masjid Al-Qadim, dan Barongsai

Ilustrasi masjid (pngkit.com)

Oleh R. Ahmad Nur Kholis

Kiai Sumu Subhan, adalah seorang kiai di Bandungan yang merupakan generasi penerus ke sekian sesepuh Masjid Al-Qadim. Masyarakat sekitar terbiasa memanggilnya dengan Kiai Sumu. Mengenai tahun lahirnya, tidak ada yang mengetahuinya. Namun ia sudah cukup sepuh (meskipun tetap terlihat sehat walafiat) ketika wafatnya pada tahun 1999.

Membicarakan sosok kiai ini adalah suatu keunikan tersendiri. Ia bisa dibilang sebagai kiai yang sangat memegang teguh tradisi keulamaan dan juga merupakan ulama kebudayaan yang teguh pendirian dan tekun. Kehidupannya bisa dikatakan hampir dihabiskan untuk mengurusi Masjid Al-Qadim yang berada bersebelahan dengan rumahnya, tepatnya di sebelah selatan tepat dari rumahnya. 

Kiai Sumu merupakan Imam Besar masjid Al-Qadim itu. Yang mana ia merupakan generasi ke sekian dari takmir masjid yang dibangun sejak zaman Belanda itu.
 
Sebagaimana umumnya ulama dan alumni pesantren pada umumnya, Kiai Sumu merupakan sosok yang menjadi tumpuan masyarakat untuk bertanya banyak hal. Ia sangat dihormati bahkan oleh orang yang berada di luar desa dan kecamatannya. Ada kalanya ia mengobati masyarakat yang mengadu sakit atau tersengat ular saat mencari kayu di hutan. Atau membantu orang yang mengadu telah kehilangan barang atau uang alias kemalingan.

Ada suatu keunikan dalam diri Kiai Sumu ini ketika suatu saat ia menangani pengaduan tentang pencurian dari masyarakat. Ia biasanya lalu meminta untuk dipanggilkan seorang anak yatim. Kemudian membacakan beberapa doa dan meniup kuku jari jempol dari tangan si anak yatim tersebut. Kabarnya, bahwa Kiai Sumu dapat melihat si pencuri dan barang curiannya itu dari kuku si anak yatim tersebut. Jadi kurang lebih mirip kaca benggala. Kiai Sumu lalu mengatakan pesan-pesan kepada orang yang melapor itu. 

“Yang mengambil barangmu adalah si anu, dan dia lari ke sebelah anu dan barangnya masih dibawa atau sudah dijual,” katanya. 

Kepercayaan masyarakat menjadi tinggi karena dalam urusan begini ini masyarakat bisa medapatkan kembali barang atau uang yang hilang itu.

Keunikan yang patut dicatat dari pribadi Kiai Sumu adalah bahwa ia bisa dikatakan sebagai kiai kebudayaan. Hal ini karena, ia sangat mencintai kebudayaan masyarakat Islam Indonesia. Bersama kiai Subki dan Kiai Su’aid ia mengembangkan tradisi kesenian hadrah ala Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (Ishari) di Desa Bandungan. 

Keahlian seni hadrah ala Ishari ini pada awalnya ia warisi dari Kiai Mawardi seorang pemegang jawatan penghulu di Kecamatan Pakong dan R KH Ahmad Murad. Proses belajar mereka bertiga kepada Kiai Mawardi dan RKH Ahmad Murad ini berlangsung pada sekitar tahun 1950-an. 

Sampai saat ini kegiatan hadrah ini masih lestari dan populer di tengah-tengah masyarakat kecamatan Pakong. Saat ini kegiatan ini dilanjutkan kepemimpinannya oleh Kiai Mahfud.

Tentang Masjid Qadim
Di desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan Madura, terdapat sebuah masjid yang dinamakan Al-Qodim. Masjid ini dalam keberadaannya oleh masyarakat Madura masih dikaitkan dengan cerita-cerita mistis. Kisah yang beredar adalah bahwa keberadaan masjid ini adalah secara tiba-tiba. Hari sebelumnya tak ada, dan hanya dalam waktu semalam, paginya masjid itu sudah ada. Cerita ini agak mirip dengan apa yang disebut masyarakat di Tumpang Kabupaten Malang sebagai masjid ‘tiban’ saat ini. Sebuah masjid yang berdiri megah tanpa diketahui masyarakat mulai pembangunannya. Demikianlah maka masjid di Bandungan Pakong tersebut lalu dinamakan sebagai masjid A-Qodim. Nama “Al-Qodim” diambil dari bahasa Arab bentuk infinitif dari kata kerja bentuk lampau ‘qadima’ yang berarti datang. 

Namun menurut KH R. Abdus Syahir, seorang warga Desa Bandungan dan juga Imam Masjid An-Nur Bandungan Pakong Pamekasan, masjid Al-Qadim ini berdiri sejak sekitar abad ke-16 atau sekitar tahun 1500-an. Ringkasnya sudah berdiri sekitar 5 abad yang lalu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebaeradaannya hampir bersamaan dengan kedatangan Belanda yang dalam data sejarah disebutkan datang ke Indonesia (menjajah) dalam tiga kali kedatangan armada.  

Masjid ini dibangun oleh Kiai Hasirudin, seorang ulama leluhur masyarakat Desa Bandungan yang makamnya hanya berjarak beberapa meter di sebelah barat masjid Al-Qadim ini.

Keberadaan masjid Al-Qadim sebagai sebuah masjid yang kuno (meskipun sekarang sudah direnovasi) adalah dihormati oleh masyarakat setempat. Masyarakat desa Bandungan Kecamatan Pakong benar-benar menjaga kehormatan (mur’ah) masjid dengan tidak berkegiatan suatu hal yang tidak membawa manfaat di dalamnya seperti sekedar beristirahat duduk-duduk tanpa berniat i’tikaf dan apalagi dengan sengaja tidur di sana.

Barongsai di Halaman Masjid
Terlepas dari cerita mistik mengenai Masjid Al-Qadim, data yang didapatkan sejak tahun tahun 1990-an menyatakan bahwa di masjid tersebut diselenggarakan kegiatan semacam barongsai pada setiap maulud nabi Muhammad SAW. Kegiatan tersebut dilaksanakan di halaman masjid secara rutin sehari setelah pembacaan maulid diba’ yang diiringi irama rebana yang dimainkan oleh kelompok rebana Kiai Sumu. Kegiatan pembacaan Maulid Diba’ ini sendiri dilaksanakan tepat pada hari kelahiran Rasulullah yakni setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Atau yang disebut sebagai bulan Maulid (Madura: Molod). Jadi, kegiatan barongsai ini dilaksanakan pada tanggal 13 Rabiul Awwal.

Ketika kegiatan barongsai ini (masyarakat setempat menyebutnya sebagai: can-macanan) dimulai di halaman masjid, masyarakat telah berkumpul terlebih dahulu di dalam masjid untuk menerima sedikit wejangan dari seorang Kiai (biasanya Kiai Sumu semasa masih hidupnya). Setelah itu kemudian masyarakat menerima bungkusan makanan yang biasanya berisi makanan jajan atau buah-buahan. Makanan ini sangat alami dan dibungkus dengan daun pisang atau jati. 
 
Pada tahun 1990-an bungkus ini masih demikian, tapi sekarang sudah ada yang memakai semacam keranjang kecil yang di jawa disebut dengan: reghe atau di Cirebon disebut dengan cepon. Masyarakat setempat menyebut bungkusan jajan dan buah itu sebagai taker. Di Jawa disebut sebagai takir. Masyarakat terlihat sangat bergembira melaksanakannya. Mereka semua senang memakan apa yang disebut dengan taker itu. Dan terkadang ada yang bergurau karena mendapatkan sesuatu yang lebih enak atau lebih tidak enak rasanya dari apa yang telah ia buat sebelumnya untuk acara ini.

Setelah acara makan taker selesai, maka sekarang mereka yang berada di masjid berkumpul di serambi masjid. Mereka bersiap menonton apa yang disebut can-macanan tersebut. Para ibu-ibu yang awalnya sibuk di rumah menyiapkan masakan jajanan di rumah keluar dari rumah-rumah mereka untuk menonton pagelaran ini.

Dalam sebuah kegiatan barongsai ini, biasanya terdiri dari sekitar 8 sampai dengan 10 orang dengan 4 orang memainkan 2 barongsai. Masing-masing barongsai dimainkan oleh dua orang di depan dan belakang. Sedangkan sisanya memerankan diri sebagai monyet dengan menggunakan topeng monyet dan menghitamkan tubuhnya dengan arang. Barongsai itu sendiri berbentuk menyerupai harimau.
 
Barongsai ini disimpan dengan rapi di rumah Kiai Sumu, sang kiai kebudayaan itu. Sekitar 2 atau 3 orang menabuh gendang besar layaknya genderang perang. Para Barongsai menari-nari dan beratraksi. Para monyet juga menari-nari dan sesekali melompatp-lompat dan berkejaran dengan barongsai harimau. Tidak luput pula para monyet kadang merebut makanan dari para penonton. Demikian pula barongsai harimau mengejar dan menakut-nakuti para penonton sehingga mereka lari ketakutan. Beberapa perempuan yang latah dan ketakutan memukul kepala harimau itu dengan sebatang kayu dan mengomel. Semuanya membuat para penonton menjadi gembira. Menjadi unik dan seru tapi sangat tidak membahayakan dibandingkan festival matador di Spanyol yang sampai memakan korban. Setelah acara selesai, maka semua peralatan disimpan kembali di rumah Kiai Sumu.

Melihat pertunjukan ini mirip sekali dengan barongsai ala China. Hanya saja kebiasaan di China adalah barongsai dalam bentuk 7 (tujuh) naga. Meskipun sering dijumpai pula harimau dan singa.  Dalam barongsai China, penggunaan simbol tujuh naga ini ada maknanya, yaitu berkemakmuran dan kesejahteraan. Namun demikian apakah kegiatan barongsai itu mengakomodasi kebudayaan China atau tidak mungkin masih perlu penelurusan lebih dalam