Opini

Lebaran Ini Tidak Mudik

Jum, 22 Mei 2020 | 07:09 WIB

Lebaran Ini Tidak Mudik

Ilustrasi. (Foto: via instagram.com/alirezapakdel_artist)

Oleh Syakir NF

Umar Kayam menutup cerpennya yang berjudul Menjelang Lebaran dengan cerita seorang ibu bernama Sri yang tengah memikirkan kata-kata yang pas untuk disampaikan kepada putra-putrinya, bahwa di tahun tersebut tidak mudik.

“Mas, Ade, kita tidak jadi mudik Lebaran ke Jawa. Soalnya, Bapak... ah...” begitu kalimat penutup cerpen tersebut.

Cerpen itu berkisah tentang sebuah keluarga yang pada akhirnya harus mengurungkan niatnya untuk mudik ke kampung halamannya di daerah Jawa. Hal itu mengingat kepala keluarga, ayah anak-anak dan suami dari Sri, diberhentikan oleh perusahaan yang mempekerjakannya. Sebab, tempatnya bekerja juga terdampak oleh krisis moneter yang tengah terjadi di dalam negeri.

Bagi yang merantau, mudik lebaran tentu menjadi salah satu agenda wajib saban tahun. Namun, siapa disangka kondisi terkadang menuntut hal yang sebaliknya. Sebagaimana terjadi saat ini, kita tidak diperkenankan mudik untuk mencegah meluasnya persebaran virus Corona yang saat ini tengah menjadi pandemi.

Umar Kayam melalui cerpennya yang masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 1999 itu sebetulnya tidak saja ingin mengisahkan perihal dampak krisis moneter pada tahun 1998 terhadap suatu keluarga Muslim yang akhirnya tidak jadi mudik. Lebih dari itu, ia ingin menunjukkan komunikasi yang baik dengan menunjukkan percakapan di antara para tokohnya.

Sebagaimana disebutkan di awal, seorang ibu menjelang istirahatnya memikirkan kata-kata yang pas untuk disampaikan kepada putra-putrinya. Sekiranya, kalimat yang diutarakan kepada anak-anaknya tersebut tidak melukai mereka, tidak membuat kecewa, dan mereka juga tidak perlu mengetahui bahwa ayahnya saat ini telah tidak lagi memiliki pekerjaan.

Sebelum itu, cerpen tersebut juga menunjukkan komunikasi yang begitu apik sang ibu terhadap anaknya. Pasalnya, saat itu sang anak ingin mendapatkan kepastian berlebaran bersama kakek dan neneknya di kampung. Namun, sang ibu menjawab dengan mengisyaratkan sebuah ketidakpastian.

“Kita jadi Lebaran ke Jawa ke rumah eyang kakung dan putri ‘kan, Be dan Bu?”

“Insya Allah, Mas, Ade.”

Sang anak tentu saja tidak puas dengan jawaban yang demikian. Karenanya, mereka menegaskan ulang, “Kok masih pakai Insya Allah Be, Bu?”

Sang ibu berupaya meyakinkan mereka, bahwa semua hal atas perkenan Tuhan. Karenanya, frasa yang berasal dari bahasa Arab itu mesti diucapkan. “Lho, harus dong. ‘Kan harus dengan perkenan Allah. Ya, to?”

Anaknya terus menuntut kepastian tersebut. Ia pun menanyakan kembali kepada ibunya, bahwa mudik mereka tidak saja ke Yogya, tetapi juga ke Solo. Tetapi, lagi-lagi sang ibu menjawabnya dengan jawaban yang sama. “He, he, he. Iya, Insya Allah Mas dan Ade. Kalau diperkenankan Tuhan tentu kita berangkat.”

Ada ruang pertanyaan untuk mendesak bagi sang anak, “Kalau tidak diperkenankan Tuhan?”

Sri tetap tenang mendengar desakan pertanyaan anak-anaknya tersebut. Ia pun menjawabnya dengan penuh optimisme. “Ya Gusti Allah pasti mempunyai alasan kuat dan baik untuk tidak memperkenankan kita berangkat.”

Memang, Umar Kayam pun tidak menutupi kekecewaan anak-anak dengan jawaban tersebut dengan memunculkan jawaban mereka. Hal itu wajar saja di kalangan anak-anak. Tetapi kita perlu melihat betapa komunikasi yang dibangun oleh Sri sebagai ibu kepada dua anaknya cukup baik mengingat setiap tutur katanya keluar tanpa emosi seseorang yang tengah didera masalah cukup pelik.

Pengambilan Keputusan Tidak Mudik

Sebelum keluarga tersebut mengambil keputusan untuk tidak mudik terjadi diskusi yang cukup panjang di antara orang tua. Mereka berupaya mengambil jalan terbaik untuk semuanya, tak terkecuali sang pembantu rumah tangga yang telah menemani mereka selama beberapa tahun.

Dalam pengambilan keputusan, setidaknya ada tujuh langkah yang harus dilalui, yakni (1) identifikasi masalah, (2) komunikasikan masalah, (3) kembangkan alternatif, (4) buat sebuah keputusan, (5) letakkan keputusan tersebut bersama dampaknya, (6) awasi tindakannya, dan (7) evaluasi dan modifikasi keputusan tersebut. Hal ini pula yang rupanya diperhatikan betul oleh Umar Kayam dalam membuat cerpennya. Keputusan keluarga dalam cerita tersebut tidak hanya diambil oleh satu pihak, baik suami saja ataupun istrinya saja, tetapi keduanya.

Pada mulanya, dalam hitungan awal Sri, uang tabungannya cukup untuk menggaji Nah, pembangu, dan mudik sekeluarga. Keputusan awal ini pun diambil bersama. Namun, keputusan ini diralat mengingat ketika belanja, harga dari barang-barang kebutuhannya itu melambung tinggi sehingga hitung-hitungan tabungannya pun berubah.

Dengan sangat terpaksa, mereka meminta Nah untuk berhenti menemani keluarga mereka. Mendengar keputusan tersebut, mata Nah mengalir. Ia menangis karena selama ini menjadi tulang punggung keluarganya di kampung ketika di sana juga kehidupannya sudah tidak menentu. Jika tak lagi bekerja, ia tak tahu lagi mesti bagaimana menghidupi keluarganya. Jangankan keluarganya, ia sendiri juga belum tentu.

Mendengar tangis tersebut, Kamil pun dengan kebijakannya menarik keputusannya tersebut. Ia mempersilakan Nah tetap bekerja kepada keluarganya. Namun dengan syarat Nah tidak mendapatkan gaji selama ia belum mendapat kerja. Nah masih bisa mendapatkan kehidupan, makan dan minum bersama mereka. Ia sudah menganggap Nah sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Keputusan kedua ini menjadi satu evaluasi dan modifikasi atas keputusan pertama.

Komunikasi

Dari cerpen tersebut, kita sebetulnya belajar untuk menjaga komunikasi yang baik di antara anggota keluarga supaya tercipta rasa saling percaya satu sama lain. Kita tentu melihat betapa suami istri tersebut saling mendukung dan anak-anak tetap dengan keceriaannya. Pun pembantunya juga sedikit terselamatkan.

Rasa-rasanya, hal ini juga yang patut kita bangun di tengah dunia yang sedang diguncang dengan pandemi seperti ini. Suami dan istri perlu menjaga komunikasi dengan baik. Satu hal penting yang tersirat dalam cerpen tersebut adalah keterbukaan sehingga tercipta kepercayaan di antara mereka. Pun pembicaraan orang tua terhadap anaknya juga harus terbuka. Tentu saja bahasanya harus disesuaikan dengan mereka, seperti perkataan yang halus dan mudah dicerna oleh pikiran seusia mereka.

Keputusan untuk tidak mudik sudah bulat. Mereka sebelumnya sudah membuka pembicaraan akan kemungkinan tersebut, tidak lantas menjanjikan akan pulang ke kampung kakek nenek anak-anaknya, juga tidak secara langsung mengatakan tidak akan mudik. Baru, setelah bulat keputusan, mereka memikirkan juga perkataan yang akan disampaikan kepada putra-putrinya itu.

Namun, kita juga melihat bahwa keterbukaan itu juga tidak serta-merta disampaikan bahwa ayahnya sudah tidak lagi bekerja akibat kondisi negara yang sedang tidak stabil. Pikiran mereka belum mampu untuk memahami situasi yang demikian sehingga orang tua tersebut sangat tepat untuk tidak menceritakan perihal tersebut.
 

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan aktif sebagai pengurus di Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)