Opini

Muhasabah Kebangsaan: Cinta itu Menggerakkan

Ahad, 24 Februari 2019 | 10:15 WIB

Al-Zastrouw
(Catatan Haul Gus Dur ke 9 di Solo-2)

Puluhan ribu orang dari pelosok desa dan kota se Solo Raya hadir memadati stadion Sriwedari Solo. Stadion bersejarah yang menjadi tempat pelaksanaan PON pertama itu tidak mampu menampung jamaah hingga meluber ke jalan-jalan di seputar stadion. Jalan-jalan protokol solo macet karena menjadi tempat parkir kendaraan para jamaah. Beberapa tokoh dan pejabat hadir diantaranya KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Prof Mahfud MD, Prof Oman Abdurrahman (Staf Ahli Menag), Mbak Yeni Wahid (putri Gus Dur), Gus Yasin (Wagub Jateng), Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jateng, Wali Kota Solo dan Wakilnya. Mereka hadir dengan bekal dan biaya sendiri sebagai wujud kecintaan pada Gus Dur dan para ulama. Mereka hadir untuk memperingati haul Gus Dur ke-9. Acara yang digagas dan dikordinir oleh mas Husen Syifa' ini berlangsung meriah tapi tetap khusyu'.

Sebelum acara puncak, pengajian akbar, pagi hari dilaksanakan dialog kebangsaan dengan tema "mBabar Pitutur Kamangnusan Gus Dur" dengan nara sumber Dr Muh AS Hikam, Gus Dian Nafi' dan Wahyu Muryadi. Siang hari dilaksanakan Kirab Kebangsaan yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat lintas iman lintas agama dengan start dari Stadion Manahan dan finish di stadion Sriwedari. Kirab dengan tema "Berjuta warna satu Indonesia" ini juga diikuti oleh Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, mbak Yeni Wahid dan beberapa tokoh lain yang melibatkan puluhan ribu massa.

Perhelatan Haul Gus Dur ke-9 di Solo ini benar-benar menampilkan wajah Indonesia yang beragam dan menjadi bentuk aktualisasi semangat persaudaraan antar manusia sebagai cerminan dari ajaran agama yang rahmatan lil'alamin. Tak ada caci maki, provokasi, hujatan dan kebencian. Semua yang hadir merasakan kesejukan, kedamaian dan ketenteraman.

Ini semua terjadi karena jamaah dan para tokoh yang hadir benar-benar hanya ingin mendapat berkah dan siraman rohani, bukan untuk berebut kekuasaan atau menunjukkan kekuatan dan kebesaran diri dan kelompoknya. Mereka hanya ingin menghormati, meneladani dan menggali jejak perjuangan Gus Dur melalui mauidlah dan testimoni yang disampaikan oleh para ulama dan sahabat Gus Dur.

Menarik apa yang disampaikan Gus Mus saat memberikan tausiyah, bahwa Gus Dur sebenarnya adalah seorang 'habib sejati'. Ciri-ciri habib adalah penebar cinta dan kasih sayang. Dia mencintai dan dicintai. Kalau ada seseorang yang hanya mau dicintai tapi tidak mau mencintai maka dia belum layak disebut sebagai seorang habib. Buah cinta yang diterbarkan Gus Dur pada siapa saja adalah kekuatan yang menggerakkan hati setiap pecinta untuk hidup damai dan bersaudara seperti yang terlihat pada malam itu.

Pernyataan Gus Mus ini memperkuat apa yang disampaikan mbak Yeni saat memberikan sambutan atas nama keluarga. Mbak Yeni menyatakan, Gus Dur sering mengutip pernyataan imam Ghozali bahwa Hidup ini adalah cinta dan ibadah. Melalui haul ini, mbak Yeni mengajak para jamaah menebarkan cinta kepada sesama manusia, bangsa dan dunia sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

Selain sebagai habib, menurut Gus Mus, gus Dur adalah seorang wali. Mengutip QS Yunus ayat 62 Gus Mus menjelaskan bahwa ciri seorang wali adalah mampu melampaui dan menaklukkan rasa takut dan tidak ada rasa sedih dalam hidupnya. Menurut Gus Mus, Gus Dur adalah sosok yang mampu melampaui rasa takut dan tak pernah sedih. Ini dibuktikan dengan sikap Gus Dur yang tidak takut menghadapi apapun untuk membela siapapun yang didhalimi, tak gentar menghadapi fitnah dan caci maki, bahkan tidak sedih melepas kekuasaan. Semua dihadapi dan diterima dengan tenang dan ikhlas.

Sikap seperti ini bisa terjadi karena Gus Dur menganggap semua persoalan hidup ini kecil. Tak ada yang lebih besar daripada Allah. Jabatan, kekuasaan, Pilpres semua urusan kecil. Oleh karenanya tak perlu mempertaruhkan segalanya demi kekuasaan dan politik apalagi sampai membawa bawa Tuhan dalam Pilpres karena ini hanya urusan kecil. Demikian sindir Gus Mus pada orang-orang yang selalu membawa nama Tuhan dalam politik. Sebagai dzat yang maha besar tak layak untuk diteriakkan di jalanan apalagi menjadi komando untuk menebar permusuhan.

Jika cinta mampu menggerakkan manusia untuk hidup damai dan bersaudara lalu mengapa kita mesti menebar kebencian dan caci maki yang membuat manusia saling menista. Sebagaimana cinta, kebencian juga memiliki kekuatan untuk menggerakkan. Namun gerakan yang didorong oleh kebencian akan berdampak destruktif dan meresahkan. Meski atas nama Tuhan dan agama kebencian tetap saja menimbulkan keresahan, permusuhan dan perpecahan.

Di tengah kobaran kebencian yang bertebaran di mana-mana, cinta menjadi sesuatu yang berarti. Di sinilah perjuangan Gus Dur menebar cinta pada sesama menemukan relevansinya. Dan inilah yang menggerakkan umat untuk datang pada acara haul Gus Dur malam itu. Gus Dur telah menggali telaga cinta yang.mengalirkan kedamaian dan persaudaraan. Dan kini masyarakat merasakan indahnya suasana yang bersumber dari mata air cinta.

Para jamaah yang hadir di acara haul Gus Dur seperti musafir yang sedang menimba air dari telaga cinta yang digali Gus Dur untuk membasuh kebencian yang terus dikobarkan oleh mereka yang sedang berburu kenikmatan dunia dan haus kekuasaan. Semoga kita mampu menjaga dan merawat telaga cinta yang telah digali Gus Dur agar tetap bisa mengalirkan kesejukan dan kedamaian pada sesama. Cinta adalah kekuatan dan benteng untuk menahan virus kebencian dan keserakahan. Lahu Al-Fatihah (habis).

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua