Opini

Muhasabah Kebangsaan: Jejak-Jejak Perjuangan Kemanusiaan Gus Dur

Ahad, 24 Februari 2019 | 09:50 WIB

Al - Zastrouw

(Catatan Haul ke 9 Gus Dur di Solo)

Siang itu suasana Pendopo Pesantren Al-Muayyad Solo dipadati oleh pengunjung yang ingin mendengar dan menggali pemikiran Gus Dur yang ada dalam Buku "Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka" yang ditulis Ahmad Suaedy. Meski sudah ditambah tratag (tenda) di halaman masjid namun tetap saja tempat itu tak mampu menampung jamaah yang datang.

Acara bedah buku yang merupakan rangkaian Haul ke 9 Gus Dur di Solo ini tak hanya dihadiri para santri, kiai dan umat muslim, tapi juga umat dari agama dan kelompok lain. Di antara yang datang adalah pemimpin gereja beserta umat Kristen dan Katholik, komunitas Tiong Hoa, komunitas Fox Populi dan para aktivis gerakan sosial lainnya. Mereka antusias mendengarkan paparan penulis buku; Ahmad Suaedy dan para narasumber: Dian Nafi' dan Inayah Wahid.

Menyelesaikan konflik dengan cinta

Dalam buku itu Suaedy menjelaskan bahwa Gus Dur telah memberikan paradigma baru dalam menyelesaikan konflik dengan kaum separatis. Tidak seperti kaum konservatif yang menganggap kelompok separatis sebagai musuh negara yang harus ditumpas, Gus Dur justru melihat mereka sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang sedang melakukan kritik atas negara. Untuk itu mereka harus diajak dialog secara terbuka dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan.

Pandangan ini tidak hanya berbentuk pemikiran normatif, tetapi Gus Dur rela merealisasikannya dalam laku hidup. Dia memanggil para pemimpin separatis Papua dan Aceh untuk diajak dialog. Melalui pendekatan ini, menurut Suaedy Gus Dur mampu membangun sikap empati dan saling percaya yang selama ini menjadi pemicu timbulnya konflik. Hal ini diperkuat oleh Dian Nafi' yang menyatakan pendekatan politik Melanesia yang digagas dan dijalankan Gus Dur. Pendekatan ini mampu mengangkat harkat dan martabat ras Melanesia karena disejajarkan dengan warga bangsa Indonesia lainnya. Mereka tidak lagi dianggap sebagai warga bangsa kelas dua.

Gus Dur melakukan ini tidak sekedar basa basi politik, pencintraan atau sekedar menarik simpati publik. Semua itu dilakukan Gus Dur secara tulus sebagai wujud komitmen terhadap nilai dan ajaran agama yang diyakini . Hal ini dibuktikan dengan keberanian Gus Dur mengambil resiko terburuk dan terberat dari keputusannya ini. Sebagaimana dinyatakan Inayah Wahid, bahwa cinta Gus Dur kepada rakyat Papua, Aceh dan bangsa Indonesia melebihi cintanya kepada keluarga dan kelompoknya. Semua ini dilakukan Gus Dur sebagai cerminan dari spirit keislaman yang diyakini.

Sumbernya kitab kuning

Dari diskusi ini terlihat secara jelas, politik kemanusian Gus Dur dalam menyelesaikan konflik Aceh dan Papua sebenarnya berakar dari khazanah pemikiran kitab-kitab klasik seperti ilmu fiqh, ushul fiqh, tasawwuf. Gus Dur telah merealisasikan dan mengaktualisasikan kaidah dan konsep klasik tersebut dalam kebijakan dan laku hidup. Bagi gus Dur berbagai konsep pemikiran Islam klasik pesantren bukan sekedar ajaran normatif yang abastrak dan bersifat kognitif. Sebaliknya berbagai konsep dan pemikiran kitab klasik itu adalah instrumen praktis dalam menjawab persoalan sosial, politik.


Hal menarik lainnya yang muncul dalam diskusi siang itu adalah, apa yang dilakukan Gus Dur merupakan bentuk nyata sumbangan pesantren dengan segenap nilai dan khazanah keilmuannya dalam dunia politik kontemporer. Dan sumbangan ini ternyata memiliki peran yang sangat penting dalam menjawab problem kebangsaan yang sedang terancam perpecahan akibat kuatnya tarikan formalisme dan fundamentalisme agama (Islam) yang menggerus rasa keadilan dan kemanusiaan.

Melalui kaidah dan pemikiran keislaman pesantren Gus Dur berhasil mengembangkan pendekatan kemanusiaan dan mengaktualisasikan spirit persaudaraan sebangsa yang melampaui sekat-sekat perbedaan. Melalui pendekatan kemanusiaan yang bersumber dari kitab klasik Gus Dur mampu menampilkan wajah Islam yang simpatik yang mampu membuat semua orang merasa damai dan tenteram berada di dalamnya, bukan wajah Islam yang garang dan keras yang membuat kelompok lain ketakutan dan harus selalu mengalah karena tertekan.

Sampai saat ini jejak perjuangan kemanusiaan Gus Dur ini masih terlihat jelas sebagaimana yang terjadi pada siang itu, ketika semua orang yang berbeda agama, ras keyakinan dan latar belakang sosial bisa kumpul bersama secara bahagia. Kami tak tahu sampai kapan jejak ini akan terus terasakan, karena jejak-jejak ini akan hilang jika kita tak pandai menjaga dan merawatnya.

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua