Opini

Pantaskah Kita Merayakan Idul Fitri?

Rab, 5 Juni 2019 | 00:00 WIB

Oleh: Syakir NF
 
Ramadhan 1440 H tak lama lagi berlalu. Pemerintah melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah menetapkan 1 Syawal 1440 H di Indonesia jatuh pada esok, Rabu (5/6). Tentu umat Islam bersedih dengan berita ini mengingat bulan suci akan pergi. Kesedihan itu juga diperparah dengan ketidaktahuan akan kepastian dapat menemuinya di tahun berikutnya.

Masyarakat kita umumnya menyebut hari esok, bukan hari Rabunya atau tanggal 5 Juninya, tetapi 1 Syawal atau Idul Fitri sebagai suatu hari raya, hari yang mestinya dirayakan. Saya kira kita mesti berpikir ulang dengan terma tersebut. Apa memang kita pantas merayakan Idul Fitri? Sementara ghibah masih basah di bibir. Saat puasa, kita tak berhenti mencibir. Siang-siang pun tetap menulis status dan komentar yang satir. Pun terus meneriakkan "Kafir!". Binatang dan isi kakus kerap kali keluar dari mulut tanpa pernah bisa disetir.

Di samping itu, hari Idul Ffitri juga dianggap sebagai suatu hari kemenangan. Pasalnya, kita, umat Islam, katanya, telah berhasil melaksanakan puasa selama sebulan penuh, 30 hari, dari terbit fajar hingga terbenam matahari secara penuh mengalahkan lapar dan dahaga. Iya, itu memang betul. Tapi dari situ, kita perlu merenung lagi. Masihkah kita merasa menang?

Sementara puasa hanyalah penantian dari imsak hingga maghrib datang. Persis seperti sekolah yang hanya menunggu waktu pulang. Tidak ada esensinya sama sekali. Kita tentu paham betul bahwa sekolah itu bukan soal kapan pulang, kapan libur, tetapi bagaimana dapat meraup pelajaran dan ilmu sebanyak mungkin. Ramadhan adalah sekolah yang memberikan waktu untuk kita belajar dan menimba ilmu, melatih diri, dan beribadah dengan baik.

Selain itu, fitri berasal dari bahasa Arab yang berarti suci. Kesucian itu, katanya, diberikan oleh Allah swt kepada kita sebagaimana bayi lahir kembali, bebas dari segala dosa. Nabi pun bersabda, bahwa puasa Ramadhan dapat memberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat sebelumnya.

Tapi, coba kita lihat diri kita kembali. Apa benar kita sudah suci? Sementara hati kita belum lepas dari benci, caci, iri, dan dengki kepada orang-orang yang berbeda, baik secara pilihan politik yang sampai saat ini masih memanas, maupun hal lainnya. Dari sini, kita patut menduga pada diri kita pribadi, bahwa kita sebetulnya belum benar-benar mengalahkan ego pribadi. Padahal, Nabi sendiri bersabda usai Perang Badar, bahwa kita harus hijrah dari jihad kecil ke jihad besar, yakni melawan nafsu, ego pribadi.

Mengikuti Markesot sebagaimana ditulis oleh Emha Ainun Najib dalam Markesot Bertutur Lagi, kita rasanya perlu ngelungsungi dan lembur menggarap statistik. Ngelungsungi dalam arti mengganti kulit kehidupan baru. Maksud Markesot, ngelungsungi itu mencoba betul-betul memfitrikan diri, menjadi wajar kembali, mewajarkan keinginan, mewajarkan kebutuhan, mewajarkan konsumsi, mewajarkan sikap hidup, dan apa saja. Biar orang berpakaian baru, alasan pertama Markesot tak berpakaian baru itu karena ia berpandangan pakaian lama yang ia kenakan baru kembali. Bukan hanya ngelungsungi, tapi jiwa kita juga harus suci. Meski kita tahu, waktu menyucikannya harusnya pada 29/30 hari di bulan Ramadan.

Sementara menggarap statistik artinya statistik dosa dan pahala, baik buruk laku, dan benar salah tindakan yang telah kita lakukan selama ini. Dalam arti lain, Idul Fitri menjadi momen bagi kita untuk evaluasi atas sekolah Ramadhan yang telah kita jalani selama sebulan penuh. Kita instrospeksi diri menuju pribadi yang lebih baik di hari-hari berikutnya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Semoga kita benar-benar telah kembali ke keadaan suci seperti terlahir kembali ke muka bumi. Bersih tanpa secuilpun noda dosa menempel dalam diri.

Selamat Idul Fitri. Semoga tahun depan dan selanjutnya, kita bisa jumpa lagi agar kita dapat kembali suci karena kita tak lepas dari noda. Selamat! 


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta


Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua