Opini OBITUARI

Pulangnya Kiai Garda Depan Kitab Kuning Lirboyo

Sel, 11 Februari 2020 | 05:10 WIB

Pulangnya Kiai Garda Depan Kitab Kuning Lirboyo

KH Ahmad Habibullah Zaini (Gus Habib). (Foto: lirboyo.net)

Oleh Mukti Ali Qusyairi

Innalillahi wa inna illaihi raji’un. Duka yang teramat dalam atas wafatnya guru kami, kiai kami, teladan kami, Romo KH Ahmad Habibullah Zaini (Gus Habib), Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, pada hari Senin, 10 Februrari 2020. Saya sebagai salah satu santri dan muridnya bersaksi, bahwa beliau adalah ulama yang ‘allamah, berilmu tinggi, tawadhu’ (rendah hati), zuhud, dan khumul. Husnul khatimah, diberi tempat yang baik di sisi Allah, dan dimasukkan di dalam surga-Nya. Aamiin. Lahu al-fatihah...

‘Allamah

Selama 9 tahun saya mondok di Lirboyo, saya terpesona dan terkagum-kagum dengan kiai kami Gus Habib yang istiqomah mengampu pengajian kitab-kitab besar dan berjilid-jilid, yang dalam kitab kuning diistilahkan dengan kutub al-muthawwalat (kitab-kitab yang mengandung penjelasan panjang lebar). Pengajian dengan metode membaca makna berbaris, kata perkata dibaca beserta maknanya dengan jelas, terinci, dan teliti.

Pengajian kitab-kitab besar ini diampu Gus Habib biasanya sepuluh hari menjelang Ramadhan dan selesai pada tanggal 17-an Ramadhan. Gus Habib mengkhatamkan kitab selama 27 hari atau 30 hari. Pengajian ini dikenal dalam tradisi santri dengan nama ‘ngaji pasaran’. Ini bagian dari tradisi pesantren salaf tradisional. Mengapa disebut ‘ngaji pasaran’? Sebab para santri yang mengikutinya bisa mendapatkan makna kitab secara kilat, sebulan penuh.

Beberapa kali saya mengikuti pengajian Gus Habib. Pertama, pengajian kitab Shahih al-Muslim, 4 jilid. Kedua, pada tahun 2000 saya mengikuti pengajian kitab Tafsir Murah Labidz atau dikenal juga dengan Tafsir Munir, 2 jilid, karya Syekh Nawawi al-Bantani. Ketiga, pada tahun 2001 tepat setelah saya lulus Pesantren, mengikuti pengajian kitab Shahih al-Buhari, 4 jilid. Tercatat dalam kitab saya, bahwa pengajian kitab Shahih al-Bukhari tamat pada Hari Senin 17 Ramadhan 1423/ 3 Desember 2001, pengampu KH. Ahmad Habibullah Zaini.

Pengajian Gus Habib diadakan dari pukul 06.00 pagi sampai pukul 00.00 (jam 12 malam). Diselangi dengan istirahat shalat dan makan siang jika masih belum Ramadhan, dan jika sudah masuk Ramadhan diselingi dengan shalat, buka puasa, dan tarawih. Saya sering terkagum-kagum dengan semangat, enerjik, dan himmahnya Gus Habib dalam mengampu kitab. Beliau kuat dan tanpa lelah membaca dan memaknai kitab. Ketika beliau sudah kelelahan duduk, beliau membacanya sambil berdiri dan kadang sambil berjalan modar-mandiri, mungkin untuk mengusir kantuk dan sedikit gerak kecil olahraga.

Sedangkan saya sebagai santrinya yang menyimak dan membubuhi makna, terkadang datang terlambat karena terlalu banyak istirahat di bilik untuk sejenak meluruskan pinggang, atau ketiduran alias molor, atau ketiduran di tempat pengajian. Jika kantuk datang, saya sering mengusirnya dengan berbisik, ‘wah kiai saya saja yang sudah sepuh kuat, masa saya yang masih remaja gak kuat!” Kantuk pun bisa teratasi.

Posisi beliau ada di dalam rumah dengan menggunakan salon dan speaker, sehingga suaranya bias terdengar sampai ke serambi Masjid Lirboyo. Sebagian santri ada yang di dalam rumah beliau, sebagian di teras rumah, sebagian di pelataran, dan sebagian lagi di serambi Masjid. Jika fisik saya sedang fit dan optimis tidak akan mengantuk, saya beranikan diri ambil posisi duduk di dalam rumah, dekat beliau. Tapi jika dirasa fisik terasa pegal-pegal dan berpotensi mengantuk, saya ambil posisi di teras rumah atau di serambi masjid.

Sejujurnya, beliau adalah inspirator dan teladan bagi saya. Gus Habib adalah inspiratorku di saat saya mengampu kitab Risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah, karya Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, 40 halaman, yang berhasil khatam selama 11 jam, di pesantren Nurul Huda Setu Bekasi.

Zuhud
 
Sewaktu menjadi santrinya, saya melihat Gus Habib mencuci dan mengendarai mobil sendiri. Mobilnya, seingat saya, adalah Isuzu Panther. Meski memiliki ribuan santri yang siap membantu dan khidmah, tapi beliau memilih mengerjakan sendiri. Selama 9 tahun saya mesantren di Lirboyo, saya ingat Gus Habib tidak pernah ganti mobil baru, tetap dengan mobil Isuzu Panther-nya.

Ma’isyah Gus Habib, setahu saya, hasil dari pertanian dan perdagangan. Beliau memiliki sawah tebu yang hasilnya dijual ke pabrik gula yang ada di Kediri dan Jombang. Selain itu, beliau memiliki beberapa kantin rumah makan sederhana untuk para santri Lirboyo. Saya jadi ingat salah satu hadits Nabi yang dibaca dalam pengajian Gus Habib, ‘afdhal al-‘amal, ‘amalu al-rajul bi-yadihi’ (pekerjaan yang baik adalah pekerjaan seorang dengan jerih payah tangannya sendiri). Beliau mengamalkan hadits ini.

Setiap acara seremonial baik acara internal pesantren maupun acara kedatangan tamu pejabat, Gus Habib sering tidak tampak di acara. Kalaupun hadir, Gus Habib lebih memilih diam bersahaja dan duduk dengan merundukkan pandangannya. Kesan saya, Gus Habib adalah kiai yang sama sekali tidak ada sifat ingin menonjolkan diri.

Meski tubuhnya tegap, tinggi, gagah, dan ganteng. Ketika berjalan, beliau senantiasa merundukkan pandangan dengan muka berseri-seri, memancarkan kesantunan, tenang, bersahaja, dan tetap memancarkan kealiman dan kharismatiknya.

Ketika saya sowan ke Gus Habib di bulan Syawal, tahun ajaran baru. Gus Habib mempersilahkan hidangan dan minuman sendiri. Beliau termasuk kiai yang sedikit berbicara. Nasihatnya seperlunya. Sebagaimana para kiai Lirboyo lainnya, Gus Habib juga memberi nasihat agar santrinya bersungguh-sungguh dalam belajar (disebut dengan mempeng), dan berharap santri-santrinya mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah, serta bisa menggelarkan ilmunya ke masyarakat ketika sudah boyong dari pesantren. Gus Habib adalah kiai yang satu dalam ilmu dan amalnya.
 

Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta