Opini

Qasidah Barzanji, Orang Betawi, dan Maulid Nabi

Ahad, 10 November 2019 | 16:15 WIB

Qasidah Barzanji, Orang Betawi, dan Maulid Nabi

Ilustrasi: Selamatan perkawinan dengan Barzanjian di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan tempo dulu.

Oleh Alhafiz Kurniawan
 
Keberagamaan Orang Betawi
Orang Betawi dan Islam konon sulit dipisahkan. Mereka dulu disebut orang selam atau pemeluk Islam. Meski demikian pada beberapa tempat hubungan Betawi dan keislaman tidak terlalu dekat seperti kasus yang diangkat oleh Shahab (Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi, [Depok, Fisip UI: 2004]).

Ia menyatakan bahwa para pengamat memandang Betawi dan Islam secara umum tidak dapat dipisahkan. “Faktor agama yang berperan tampak ketika ketika orang Betawi menolak kerja pada Pemerintah Kolonial Belanda. Sehingga menjadi kejutan dan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang Betawi kalau ada kebetawian yang bukan Islam. (Shahab, 2004: 119-120). Shahab menyebut contoh kasus penayangan Natal Gereja Betawi di Kampung Sawah, Jaktim, pada sebuah stasiun televisi swasta pada 1999.

Bahkan, Dr. C. Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Direktur Kehakiman Pemerintah Kolonial Belanda tertanggal 18 April 1893 seperti dikutip Saidi (Ridwan Saidi, Warisan Budaya Betawi, [Jakarta, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan [LSIP] dan Pemda DKI: 2000]) menyebut orang Betawi sebagai orang paling taat beragama di atas pulau Jawa.

“(…) meskipun begitu, penduduk kampung di mana pun di Jawa tidak ada yang lebih taat beragama Mohammadan dalam tingkah lakunya daripada di Betawi (…).” (Saidi, Jakarta: 160).

Apa ukuran ketaatan yang dikemukakan oleh Hurgronje? Tidak jelas. Apa karena pengeras suara demikian banyak dan saling bersahutan di tiap masjid dan langgar? Rasanya tidak mungkin karena ketika Hurgronje hidup masjid dan langgar belum berpengeras suara dengan corong dihadapkan ke segala arah dan volume maksimal.

Ketaatan orang Betawi bisa jadi diukur dari jumlah masjid dan langgarnya seperti penjelasan KH Saifuddin Zuhri (Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid III, [Jakarta, Gunung Agung: 1982]), saat mengawali peringatan Haul 40 Tahun Guru Mughni, salah seorang ulama pendahulu di kalangan masyarakat Jakarta.

“Jakarta sebuah kota di dunia yang memiliki paling banyak masjid dan mushalla. Barang kali cuma Kairo yang sanggup menandingi Jakarta dalam hal banyaknya masjid dan mushalla.” (Zuhri, 1982:265).

Mohamad Sobary, (Sobary, Sang Allamah, pengantar pada buku KHM Syafi’I Hadzami, Sumur yang Tak Pernah Kering, Jakarta, 2012) mengatakan bahwa orang Betawi tidak dapat dilepaskan dari keislaman. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana, “Orang Betawi menaruh makna kekiaian pada kedudukan yang sangat tinggi dalam jiwa dan hati sanubari mereka. Kiai sangat dihormati karena setiap kali orang menyebut Betawi, orang tak boleh lupa menambahkan elemen keislaman. Mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Betawi cuma bisa dipahami bila orang paham perkara Islam.”

Bila Betawi dilepas dari keislamannya, ia akan menjadi bukan Betawi. Para unyil Betawi-bocah-bocah kecil-yang sederhana, yang di gedongan, yang di gang-gang atawa di kampung-kampung kumuh, bawaan dasarnya sama: doyang ngaji, doyan sembahyang. Bukan karena watak begitulah mereka sejak lahir, melainkan karena begitu lingkungan sekitar mencetak mereka. (Sobary, 2012 :8).

KH Saifuddin Zuhri, (Zuhri, Jakarta yang Taqwa, Jakarta yang Berjuang dalam buku Secercah Dakwah, [Bandung, PT Alma’arif: 1983]), –salah seorang wartawan senior di lingkungan NU–mengatakan, penduduk Jakarta terbilang masyarakat yang taat beragama. Mereka cukup bangga dengan keislamannya. Mereka dengan keislaman yang khas memiliki sanad keguruan yang tersambung kepada Wali Songo.

“Tidak bisa dipungkiri, semua pengunjung Jakarta memperoleh kesan, bahwa penduduk Jakarta ta’at beribadah, melaksanakan taqwa secara wajar dan polos, artinya ikhlas. Putra Jakarta selalu membanggakan bahwa ‘anak Betawi’ bagaimana pun semuanya Islam, baik prianya maupun wanitanya. Suatu kebanggaan yang tidak berlebihan. Kebanggan mereka patut dipupuk dan kita pelihara keabadiannya. Jangan lupa, Jakarta dibangun oleh seorang waliyyullah paling muda di antara Wali Songo, bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati. (Zuhri, 1983: 438).

Qasidah Barzanji dan Orang Betawi
KH Saifuddin Zuhri menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota yang unik karena apapun serba ada di Jakarta. Ia menulis kesannya dalam kacamatanya sebagai “orang daerah”. “Di mata orang-orang daerah, Jakarta itu ya surga, ya neraka. Paling tidak, terdapat begitu banyak jalan ke surga dan tidak terbilang jalan ke neraka.” (Zuhri, 1982:262).

Apa yang disampaikan KH Saifuddin Zuhri bukan mengada-ada. Di Jakarta memang terdapat banyak jalan dalam arti harfiah dan memang banyak jalan ke surga. Tetapi hal ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Betawi sebagai penghuni kawasan Jakarta dan sekitarnya yang gemar bershalawat dan Barzanjian atau baca Rawi pada peringatan maulid dan peringatan lainnya.
 
Qasidah Barzanji oleh orang Betawi kerap juga disebut "Kitab Rawi," mungkin karena di dalamnya terdapat banyak riwayat, hikayat, atau cerita. Kamus Dialek Jakarta karya Abdul Chaer menyebut "rawi" sebagai cerita, riwayat (khususnya riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibicarakan pada perayaan Maulud). (Chaer, 2009: 375).

Orang Betawi mengenal peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan sebutan “maulid,” “mulud,” atau “muludan.” Dalam Kamus Dialek Jakarta yang diterbitkan pertama kali pada 1976, Abdul Chaer menerakan kata “maulud” sebagai hari peringatan lahirnya Nabi Muhammad; kata “mauludan” sebagai mengadakan perayaan maulud. (Chaer, 2009: 274). Sedangkan kata “mulud” berarti maulud; peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad. (Chaer, 2009: 291).

Kegemaran orang Betawi dalam bershalawat dan melakukan Barzanjian dapat dimengerti dari pandangan keagamaan mereka yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah dan umumnya berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama yang memang awalnya gemar zikiran, manakiban, ratiban, dan shalawatan sebagaimana disampaikan Zeffry Alkatiri perihal tradisi masyarakat Betawi, (Alkatiri, Jakarta Punya Cara, [Depok, Masup Jakarta: 2012]).

“Masyarakat Betawi di Jakarta dikenal sebagai penganut Islam Ahlissunnah wal Jamaah yang dipengaruhi oleh unsur tradisi budaya setempat. Oleh sebab itu, Islam di Betawi sangat dekat dengan paham atau aliran Nahdlatul Ulama (NU) yang menekankan perlunya mengingat dan memberikan puji-pujian dan sholawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Sholawat ini khususnya diutarakan pada setiap menjelang sholat Maghrib, Shubuh, dan sebelum sholat Juma’at. Sholawat ini akan lebih ditekankan pada acara Maulud Nabi, Isra Mikraj, dan beberapa acara perhelatan. (Alkatiri, 2012: 103).

Orang Betawi sulit dilepaskan dari Qasidah Barzanji, sebuah kitab shalawat berisi riwayat hidup Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat terjadi karena Qasidah Barzanji bagi orang Betawi melekat dengan keislaman itu sendiri sehingga sulit dimengerti jika orang Betawi lepas dari Barzanji.

“Islam memberikan makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada periode penjajahan Belanda dan Jepang. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syekh Samman, pembacaan maulid Barzanji atau Diba merupakan sarana ekspresi penggaungan asma Allah sekaligus pernyataan diri ‘isyhadu bi ana muslimi(u)n,’ saksikanlah bahwa kami orang Islam.” (Saidi, Jakarta: 161).

Qasidah Barzanji bagi Muslim kebanyakan di Nusantara dibaca umumnya pada bulan Rabi’ul Awal khususnya tanggal 12 dalam rangka peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau maulid atau bulan mulud. Tetapi Qasidah Barzanji bagi orang Betawi dibaca sepanjang bulan maulud, bahkan sepanjang tahun sebagai keterangan Sayyid Utsman bin Yahya, ulama besar Betawi, dalam Az-Zahrul Basim fi Athwari Abil Qasim shallallahu alaihi wa sallam, (Jakarta, Alaydrus: tanpa tahun) halaman 4.

Abdul Chaer, (Chaer, Folklor Betawi: Kehidupan dan Kebudayaan Orang Betawi, [Depok, Masup Jakarta: 2012]) mengatakan bahwa lidah orang Betawi selalu basah dengan Qasidah Barzanji. “Zaman dulu di Betawi, acara maulid  itu tidak hanya dilakukan pada 12 Rabiul Awal, tetapi juga bisa dilakukan sepanjang bulan maulid. Berpindah dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Malahan acara maulid lazim juga dilakukan pada acara pernikahan, sunatan, dan lain-lain.” (Chaer, 2012: 167).

Alkatiri bersepaham dengan apa yang disampaikan Chaer. Ia menerangkan bahwa Qasidah Barzanji tidak hanya dibaca ketika peringatan maulid. Barzanji sering kali dibaca pada bulan lain di luar Rabiul Awal karena Barzanji dipahami sebagai bacaan shalawat nabi yang dianjurkan untuk dibaca kapan saja, terutama dalam even tertentu.

“Dalam masyarakat Betawi dikenal beberapa jenis sholawat sesuai dengan jenis kegunaannya…yakni, (3) Sholawat Al-Barzanji Natsar, dibaca sebagai nyanyian pada waktu acara tujuh bulanan (nujuh bulanin), ketika seseorang selesai menamatkan Al-Qur’an, pada upacara peringatan daur hidup, dan hari-hari besar Islam, seperti Maulid dan Isra Mikraj." (Alkatiri, 2012: 105).

Sayyid Utsman bin Yahya dalam Az-Zahrul Basim mengatakan bahwa pembacaan maulid (Qasidah Barzanji dan qasidah lainnya) dapat memberikan pahala yang besar dan mendatangkan syafaat Nabi Muhammad jika dibaca dengan adab-adabnya. Tetapi jika qasidah maulid dibaca dengan melanggar adab-adabnya, maka niscaya dosa yang akan didapat oleh yang bersangkutan. (Utsman, tanpa tahun: 3).

Memahami orang Betawi secara umum tidak sulit, persis seperti dikatakan Kiai Saifuddin Zuhri di awal, yaitu wajar dan polos. Tidak ada yang tersembunyi luar dan dalam, termasuk dalam soal agama. H Mahbub Djunaidi, (Djunaidi, Kolom Demi Kolom, [Jakarta, H Masagung: 1989) menjelaskan profil singkat orang Betawi.
 
“Gampangnya lagi, orang Betawi itu tidak punya masalah dengan keagamaan. Agama merupakan hal yang sudah semestinya, seperti halnya cuaca. Selaku anak-anak dia hidup di kampung-kampung, di pohon-pohon rambutan, di sungai, di langgar. Habis mengaji, rehal dilipat, belajar silat bela diri menyepak-nyepak angin. Betawi muda yang pandai baca Barzanji akan mudah dapat jodoh walau tingkahnya seperti tarzan. Bisa jadi tak ada ambisinya jadi jenderal atau gubernur bank, tapi sudah pasti ingin masuk surga.” (Mahbub, 1989: 191).

Yang jelas, orang Betawi tidak kenal bulan untuk Barzanjian. Nggak kenal siang, dan nggak kenal malam buat Barzanjian. Setiap Jumat pengurus masjid mengumumkan undangan muludan di langgar dan masjid lainnya meski peringatan maulid sudah lewat 5-6 bulan dari tanggalnya di kalender. Tetangga mengundang untuk kawinan, sunatan, aqiqahan, mesti Barzanjian.

Shallallāhu ‘alā Muhammad, marhaban.
Shallallāhu ‘alayhi wa sallam, marhaban.
 

Alhafiz Kurniawan, alumnus Pascasarjana Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.