Opini

Sebuah Nasihat dari Bilik Gus Muwafiq

Sab, 30 November 2019 | 13:30 WIB

Sebuah Nasihat dari Bilik Gus Muwafiq

Penulis bersama KH Ahmad Muwafiq atau kerap dikenal Gus Muwafiq (Foto: Dokumen Ahmad Rozali)

Siang itu udara di Jogja cukup panas. Pengukur suhu di telepon pintar menunjukkan angka 35 derajat celcius. KH Ahmad Muwafiq atau kerap dikenal Gus Muwafiq yang sejak semalam baru pulang dari perjalanan dua minggunya dari luar kota, sedang istirahat di dalam kamarnya. Sementara Gus Muwafiq beristirahat, di luar, ada tiga rombongan tamu yang telah menunggu untuk sowan.

Momen seperti ini adalah momen emas, saat sang kiai ‘terbebas’ dari tamu-tamunya yang mengular. Tak pikir panjang, aku langsung nyelonong menemui sang kiai yang sedang di dalam kamarnya. Di dalam kamar, kiai kelahiran Lamongan ini sedang santai. Sambil mengenakan kaos dan sarung putih, Kiai Muwafiq sedang berselonjor mengistirahatkan badan dalam keadaan setengah tidur. Barangkali beliau kelelahan setelah berminggu-minggu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghadiri undangan jamaah untuk memberikan ceramah.

Dalam keadaan setengah tidur seperti itu, aku meraih kakinya untuk kupijat. Sejak dulu, cara itu yang kulakukan untuk membangunkan kiai berambut panjang ini dengan halus. Selain itu, sudah menjadi sebuah kebiasaan, saat sowan kepada beliau, kami para santrinya memijati kaki untuk membuatnya tambah relaks saat bersantai setelah dari perjalanan pengajiann. 
 
"Eh kamu Zal. Kapan datang? Nah begitu pijiti aku dulu, itu kakiku kecapean. Kamu juga sudah jarang mijitin aku sejak pindah ke Jakarta," katanya. 
 
Memang, sejak pindah ke Ibu Kota beberapat tahun terakhir, aku tak sesering dulu memijat ayah dari empat orang putri ini. Padahal semasa kuliah di Jogja dulu sangat sering. Ndalem Gus Muwafiq ini sudah seperti rumah kedua kami para mahasiswa dan para aktivis NU. 
 
Selama di Jogja itu pula, kami sekali waktu, secara bergantian mengantar Gus Muwafiq mengaji dari satu lokasi ke lokasi lain. Selain untuk mencari keberkahan dalam forum pengajian, ikut pengajian juga berarti perbaikan gizi, sebab kualitas dan kuantitas makanan yang disajikan untuk kiai saat pengajian, tak kami temukan di kos-kosan atau basecamp organisasi. 

Relatif, sejak pindah dari Jogja, aku sudah jarang ngancani beliau ngaji. Sehingga kesempatan memijat beliau kali ini seperti melepas kerinduan pada kiai yang membimbingku selama menempuh aktivisme di Jogja dulu. 
Momen itu sangat berharga. Selain karena kesempatan eksklusif untuk ngobrol berdua dengan beliau di kamarnya, ada pesan yang sangat dalam yang secara khusus diberikan padaku. 
 
"Kamu tak kasih pesan Zal; jangan sampai punya keinginan mendahului kehendak Gusti Allah," kata Gus Muwafiq.
 
"Maksudnya gimana, Kiai?" tanyaku meminta penjelasan sambil terus memijat kakinya. 

"Misalnya gini; kalau kamu kerja, kerja saja, ndak usah punya keinginan untuk kaya. Kerjakan saja pekerjaanmu sebagaimana manusia pada umumnya, tanpa berharap kaya. Jadi, bekerja itu, sekedar untuk pantes-pantes-nya manusia hidup. Sedangkan masalah kamu ditakdirkan kaya atau tidak, itu takdire Gusti Pengeran," lanjutnya.
 
Pesan itu masuk akal kurasa, tapi susah dimengertinya. "Tapi bukannya orang kalau bekerja untuk mengumpulkan uang agar kaya, Kiai? Lalu kalau tidak boleh, buat apa kerja keras?" tanyaku sedikit membantah.

Gus Muwafiq paham ketidakterimaanku pada penjelasannya. Kali ini dia duduk dari tidurnya, sambil tetap meluruskan kaki untuk kupijat. 
 
"Bekerja keras itu sudah kewajibanmu sebagai manusia, untuk memaksimalkan ilmu yang kamu punya. Tapi hak untuk membuat seseorang kaya bukan hak manusia. Itu hak Allah. Jadi kalau kamu bekerja keras, ya memang sudah sepantasnya manusia bekerja keras. Kerja itu ya buat pantes-pantes saja…” katanya.

"Dengan begitu, maka hidupmu tidak habis untuk mengejar harta, sebab kamu letakkan harta 'di belakangmu'. Jika harta ada di depanmu, maka selamanya kamu termasuk orang miskin. Tapi jika kamu bekerja ala kadarnya tanpa niat mengejar dunia, dan meletakkan harta di belakangmu maka kamu tidak akan disibukkan mengejar dunia," jelasnya.
 
Mendengar penjelasan demikian, aku hanya menunduk sambil pura-pura memperhatikan tanganku yang memijat kakinya. Sebenarnya pikiranku melambung, merefleksikan apa yang kukerjakan selama ini untuk mengejar hasrat dunia dan berusahan mengambil untung sebanyak-banyaknya dari pekerjaan yang kulakukan. Tapi, bukankah itu cara hidup yang umum, atau setidaknya untuk orang yang ada di Jakarta yang rela bermacet-macetan untuk bekerja mencari uang dan demi mengejar kehidupan yang sebih baik?
 
Namun, apa yang dikatakan Gus Muwafiq bukan pesan kosong. Sebab, jauh sebelum dikenal orang banyak sebagai sosok dai muda NU yang beberapa kali berkhutbah di depan Presiden Joko Widodo seperti saat ini, beliau adalah dai muda yang mendatangi undangan pengajian dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menggunaan motor roda dua Honda GL-Max. 

Saat itu, sekitar 20 tahun yang lalu, dan tak banyak yang mengenal beliau. Saat itu, beliau adalah sosok kiai muda NU yang rajin mengamalkan ibadah puasa hingga tujuh tahun secara kontinyu, sembari melakukan aktivitas aktivisme seperti demonstrasi dan kegiatan menguras tenaga lainnya. Tak banyak kemewahan hidup duniawi yang dimiliki Gus Muwafiq muda. Namun, Gus Muwafiq tetap konsisten berada di jalur dakwah hingga saat ini. 

Aku yang mengenal beliau sejak tahun 2005, mengalami masa-masa perubahan beliau yang tak jarang naik turun. Namun di tengah semua kondisi yang dialaminya, Gus Muwafiq tetap konsisten berada di jalur dakwah. Misalnya, saat teman aktivis sebayanya mulai merambah di jalur politik dan dielu-elu sebagai generasi sukses di Jakarta, beliau tetap saja berdakwah dari satu tempat ke tempat lain secara senyap tanpa kemeriahan. Sehingga bagiku, Gus Muwafiq merupakan percontohan dari keberhasilan sebuah keistiqomahan atau konsistensi. Mungkin itulah yang dipegang Gus Muwafiq sehingga beliau konsisten hingga saat ini.

Semoga apa yang disampaikan Gus Muwafiq akan menjadi bagian kaca refleksi untuk mengukur unsur keduaniawian yang kita jalankan setiap hari. Wallahu A’lam.
 
Ahmad Rozali, aktivis NU.