Opini

Tanah Perdamaian Leluhur di Pulau Doom

Sel, 18 Juni 2019 | 00:00 WIB

Oleh Siti Nur Syamsiah

 

Hari itu, tepat sepekan saya menjadi warga Papua Barat sejak tiba tanggal 13 Desember 2017. Ya, saya telah mendatangi Kantor BPJS Kota Sorong untuk mengganti domisi selama 12 bulan berikutnya melalui Program Bina Kawasan 3T Kementerian Agama RI.

 

Usai antrean panjang di depan kamar mandi asrama, saya bergegas ke dapur untuk minum teh sembari mengunyah pisang goreng tanpa tepung di pojok dapur. Selain saya, ada Mama Tua dan tiga santri yang duduk bersama. Mata saya menangkap hal yang tak lazim orang Jawa lakukan. Mereka mengkonsumsi pisang goreng sembari mencolek sambal di atas mangkuk putih bergambar Ayam Jago.

 

Saya memilih untuk mengamati ekspresi makan mereka. Mereka asyik berbincang tanpa menunjukkan tanda-tanda aktivitas itu berbahaya untuk kesehatan. Sejurus kemudian seorang santri menyodorkan piring berisi pisang goreng, saya beranikan mencolek sambal tipis-tipis.

 

Gigitan pertama terasa aneh, rasa manis pisang goreng berbaur dengan rasa pedas cabai, bawang dan tomat yang ditumbuk halus lalu digoreng lembab. Karena masih penasaran, kembali saya colekkan sambal lebih banyak dari sebelumnya. Gigitan kedua dan seterusnya sudah menari-nari di lidah. Ternyata betul, tindakan ini aman untuk perut.

 

Selesai sarapan pagi, saya kembali ke kamar untuk berkemas. Waktunya mengamati Papua dari dekat, menghirup udaranya dan mendekap cinta kasih masyarakat adat Papua, kata saya pada diri sendiri. Bersama Ade Zuleka Wahyuni Agia saya menuju Pelabuhan Rakyat di Jl Ahmad Yani Kampung Baru. Selama mengendarai sepeda motor, siswa tingkat akhir MAN Model Kota Sorong ini banyak berkisah tentang Papua.

 

Sembari mendengarkan penuturan Yuni, mata saya mengawasi kiri dan kanan jalan. Ada sekolah, gereja, pondok-pondok Natal, Masjid Raya Al Akbar, toko sembako, penjual bensin botolan, hotel, bandara DEO, rumah sakit, kantor polisi dan swalayan.

 

Empat puluh lima menit berlalu. Kami sampai dengan rasa was-was, karena saat angin laut kencang para pemilik perahu memilih untuk tidak memberangkatkan penumpang. Usai memarkirkan motor, kami berjalan ke bibir pantai Halte Doom Pelabuhan Rakyat.

 

Kaki saya terasa dingin saat tersentuh air pantai yang bening. Tampak dari permukaan beberapa karang mati tersapu ombak menepi. Tidak ketinggalan ikan seukuran teri berenang disamping perahu yang nanti akan digunakan untuk menuju Pulau Doom. Dari titik saya berdiri, saya leluasa melihat arus keluar masuk kapal barang dan kapal penumpang di pelabuhan, lalu sesekali terdengar bunyi pesawat melintas tak jauh dari pandangan mata.

 

Setelah mengabadikan beberapa spot alam dengan kamera ponsel, saya mengahadap ke laut lepas, membentangkan kedua belah tangan lebar-lebar, memejamkan kedua belah mata lalu menghirup udara dalam-dalam. Maha Suci Engkau, Wahai Pencipta Keindahan. Pulau Doom memang terlihat tidak jauh dari Kota Sorong, namun kamu dilarang berenang untuk sampai di sana. Tidak ada cara lain menuju pulau berjuluk Sorong masa lalu ini selain menggunakan transportasi air. Tidak lebih dari 15 menit menggunakan longboad istilah lain dari perahu mesin.

 

Setiap hari ada banyak perahu standby di Halte Sorong dari pagi hari hingga sore hari dengan rute Kota Sorong-Pulau Doom, begitu sebaliknya. Jadi jangan khawatir tidak bias pulang. Selama langit cerah, gelombang ombak stabil, dan sudah lebih dari lima orang dalam perahu pulang pergi pulau Doom tidaklah mustahil. Jangan lupa, ongkos satu kali naik perahu lima ribu rupiah.

 

“SELAMAT DATANG DI DISTRIK SORONG KEPULAUAN DOOM”. Tulisan dengan huruf kapital warna biru pada gardu masuk pulau Doom ini menunjukkan ikon lumba-lumba di atasnya. Seorang tukang bejak gowes menghampiri Yuni. Terjadi lobi-lobi harga di antara keduanya. Sepakat dengan harga Rp50.000 kami menaiki becak, duduk manis memulai perjalanan dipandu langsung oleh Pak Darman, seorang muallaf berdarah Jawa yang memutuskan hidup merantau ke Papua sejak berhenti dari TNI.

 

Panasnya bukan kepalang. Kami berkeliling kampung di bawah suhu 33 derajat celcius. Terlihat beberapa warga memilih duduk di pelataran rumah mencari angin. Di pulau ini sulit menikmati kesejukan pantai. Pohon-pohon diam mematung, angin terhalang kepadatan rumah penduduk.

 

Keasyikan obroran terputus manakala becak menahan pedal. Kami sampai di Masjid Jami Doom, terletak di kelurahan Doom Barat, Distrik Sorong Kepulauan. Masjid tua yang didirikan pada tahun 1926 ini sudah beberapa kali mengalami renovasi sesuai kebutuhan jamaah. Masjid jami menjadi pusat kegiatan keagaamaan dan kemasyarakatan masyarakat Muslim di pulau ini.

 

Selama 51 tahun sebelum masjid jami didirikan, lebih dulu dibangun Gereja Kristen Injili berbahan semen dan kayu triplek, dibangun sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan lansia di Pulau Doom.

 

Pak Darman mengkonfirmasi kebenaran cerita tentang Kampung Perdamaian yang saya dengar. Adalah sepetak tanah kampung yang dialokasikan untuk tempat pemakaman warga Pulau Doom. Siapa pun boleh memakamkan sanak famili di tanah ini tanpa dipungut biaya. Bagi pemeluk agama Islam area pemakanan di sisi kiri jalan dan kanan jalan diperuntukkan pemeluk Agama Kristen.

 

Jika ada yang tanya kenapa Islam tidak di sebelah kanan, jawab saja ini pemakaman bukan makan siang. Istilah warga yang dikutip Pak Darman, "Hidup damai bertetangga, mati pun damai bertetangga pula." Spontan saya teringat aktivis-aktivis humoris Gusdurian Yogyakarta yang kerap menggunakan kaos tertulis 'Islam Ramah'.

 

 

Penulis adalah peserta Program Bina Kawasan 2017-2018 yang ditugaskan ke Papua. Program ini diselenggarakan Kemenag RI bekerjasama dengan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu).

 

Tulisan ini pertama kali dimuat di NU Online Sabtu, 30 Juni 2018 pukul 23 WIB.  Redaksi mengunggahnya kembali dengan perbaikan seperlunya.


 

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua