Fragmen

Kiai Egaliter

Rab, 30 Juli 2003 | 16:07 WIB

Selama ini ada stereo type bahwa kehidupan kiai di pesantren sangat feodal, sehingga hubungan santri kiai selalu diwarnai dengan berbagai hirarki yang tak terterobos oleh sang santri. Bahkan santri selalu dianggap bersikap sami’na wa atha’na atau pasrah bongkokan terhadap kehendak kiai. Pandangan tersebut memang di satu sisi bisa dibenarkan karena banyak contoh untuk itu, tetapi anggapan itu tidak benar seluruhnya, di beberapa pesantren, kiai dan ustaz senior bisa bergaul bebas dengan santri dan santri bisa mengkritik kiai.

Tradisi yang berkembang di Pesantren Mojosari Nganjuk memang agak berbeda, para santri punya cara sendiri tidak hanya bagaimana menguji mental dan intelektualitas santri yang baru masuk, tetapi juga seringkali para santri yang belum yakin terhadap kualitas intelektualitas dan spiritualitas sang kiai, nampaknya santri tidak mau pengetahuan tentang kiai diperoleh berdasarkan kabar dari mulut ke mulut, tetapi harus membuktikan sendiri Kiai Zainuddin misalnya, dikenal sebagai kiai yang sangat alim dan wirai (menjaga keperwiraan), sehingga tidak pernah melihat auratnya sendiri sekalipun, apalagi melihat aurat orang lain. Pada suatu hari sekelompok santri ingin menguji kesungguhan cerita tersebut, lalu dipilihlan santri untuk mengujinya, tetapi di antar sekian santri  tidak ada yang berani melaksanakan dengan cara telanjang bulat dihadapan sang kiai, melihat tantangan itu Wahab Hasbullah menyanggupinya.

<>

Setiap subuh dini hari Sang Kiai punya kebiasaan membangunkan santri untuk shalat subuh. Saat itu  Wahab pura-pura tidur dalam keadaan telanjang, sementara santri yang lain juga tiduran di sebelahnya, maka ketika sang kiai membuka pintu langsung berteriak astaghfirullah sambil menutup matanya, lalu pergi meningalkan pemondokan menuju masjid untuk I’tikaf. Kontan para santri bangun dan segera bergegas wudlu dan shalat subuh, demikian juga Wahab seolah tak terjadi apa apa, lalu ikut sholat. Sebagai hadiah untuk keberaniannya itu Wahab diberi jatah makan untuk beberapa hari. Sementara Sang Kiai tidak pernah menunjukkan kemarahannya.

Di lain kesempatan para santri seangkatan Wahab ingin menguju kema’rifatan sang kiai, dengan cara melakukan sembahyang tanpa wudlu, kalau sang kiai ma’rifat pasti tahu, kalau sampai tidak tahu ada jamaahnya yang salat tanpa wudlu, maka ia tidak lebih seperti orang biasa. Sekali lagi tak ada yang berani melaksanakan, akhirnya Wahab memberanikan diri. Setelah mendengar adzan ia tidak pergi wudlu ke sungai, tetapi langsung ikut pujian di masjid, tetapi begitu kiai datang dan langsung qamat dikumandangkan sang kiai tiba-tiba menginterupsi, apa ada jemaah yang belum wudlu, tentu santri menjawab tidak, kemudian Wahab juga ditanya apakah sudah wudlu, ia menjawab sudah kiai, kiai membantah, tidak sampeyan belum wudlu, karena sang kiai mendesak akhirnya para santri yang lain bersaksi memang Wahab belum wudlu, akhirnya wahab pergi ke suangai dengan malas-malasan, padahal waktu sholat ashar hampir habis, para santripun sudah lelah berpujian, kiaipun menunggu cukup lama karena jarak antara masjid dengan sungai ratusan meter. Beberap kali Wahab dab kawan-kawan menguji pengetahuan dan kesabaran kiai, tetapi tidak dimarahi, sebab sang kiai tahu bahwa santrinya butuh keyakinan, sebagaimana Nabi Ibrahim perlu keyakinan untuk mengenal Tuhan. Dan dia tahu bahwa wahab dan kawan-kawannya yang nakal itu kelak akan menjadi pimpinan umat yang akan membawa ke jalan terang.

Kisah dan fragmen semacam itu banyak terjadi di pesantren, sehingga bisa menjadi alternatif dari pemikiran yang stereotip, melihat dunia NU dan pesantren sebagai tunggal dan statis, tidak pernah tahu bahwa Nu dan pesantren memiliki spectrum yang amat luas. Ada yang konservatif tetapi tidak sedikit yang liberal.(Oleh Mun’im  diceritakan oleh KH Abdullah Burdah)