Fragmen

Pembalasan Tentara pada Parpol

NU Online  ·  Kamis, 5 Februari 2004 | 13:56 WIB

Hubungan dan interaksi antara saya sebagai petugas di Bagian Khusus Kabinet Perdana Menteri dengan KH Idham Chalid yang pada waktu itu Waperdam II lebih bersifat personal dan bukan fungsional. Namun oleh para Nahdliyin, saya sering dianggap sebagai ajudan beliau, padahal sekretarisnya adalah Arifien Wignyodiharjo yang penempatannya diatur oleh Biro Keamanan Kabinet PM yang lebih pantas sebagai ajudan beliau dan bukan saya. Dari sini lah kontak dengan pak Idham dan juga NU menjadi intensif. Berbagai hubungan dan juga kisah berkaitan dengan orang NU terjadi. Walau sebetulnya secara structural saya tidak ada hubungan dengan mereka.

Kedekatan ini mungkin saja merupakan sumbangan saya. Tetapi secara umum saya memang banyak menjalin hubungan dengan orang-orang NU dengan berbagai tipenya. Ada beberapa hubungan kedekatan itu yang masih saya ingat antara lain: Usulan pencalonan KH Yusuf Hasyim untuk jadi anggota Dewan Nasional yang merupakan sebagian dari konsepsi Presiden soekarno. Saat itu setelah dibebaskan dari menjalani hukuman penjaradengan grasi Presiden Soekarno atas usaha Idham Chalid, KH Yusuf Hasyim pernah dianggap melakukan desersi dan pemberontakan melawan pemerintah (insubordinasi) berbarengan dengan waktu pecahnya pemberontakan Batalion 426 Diponegoro di bawah Kapten Sofyan keduanya dari Laskar Hizbullah, masing-masing dari Jatim (Munasir) dan Batalion 426 dari karesidenan Surakarta, Jawa Tengah.

<>

Saya juga turut mengusahakan pemberian remisi dan grasi dari KH Abdul Jalil mantan Kepala Kantor Agama Karesidenan Pati yang pernah diadili karena dakwaan penyalahgunaan jabatan dan ketidakberesan administrasi uang Nikah, Talak dan Rujuk (Kas Masjid), kemudian diangkat kembali jadi anggota DPR/Parlemen Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai menjalani hukumannya.
 
Pada waktu pemberlakuan SOB (Negara dalam Keadaan Bahaya) oleh Presiden Soekarno pada Februari 1957. Kesempatan itu digunakan oleh Pangdam Siliwangi Kolonel Kawilarang selaku pelaksana kuasa perang daerah TT III/Siliwangi (Jakarta termasuk didalamnya) menangkapi para pemimpin Parpol terutama para anggota DPR sebagai “pembalasan” terhadap ulah para pemimpin Parpol ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952.

Tidak sedikit tokoh partai NU yang ditahan oleh penguasa militer. Sebagai seorang NU A. Mustahal berhasil mengusahakan pembebasan dua orang tahanan SOB penguasa perang pusat yaitu KH Masykur anggota DPR (juga Mantan Menag) dan Eddi Tan Eng Hong, anggota DPR wakil keturunan Tionghoa yang dicalonkan oleh NU.

Para tahanan SOB SIliwangi kemudian diambil-alih penguasa perang pusat Angkatan Darat, dan yang langsung menanganinya adalah Kolonel Rushan Rusli (Ayahnya Harry Rusli) dan Letkol Hafiluddin, keduanya dari Korps Angkatan Darat. Mereka bertugas pada bagian keamanan PEPERPU dimana saya dan Kapten Sudarmono Bc. HK pernah diperbantukan kepada staf itu ketika pelaksana hariannya Kol Sadikin Irjend Teritorial dan Pertahanan Rakyat.

Tuduhan yang dilontarkan jajaran Divisi Siliwangi kepada KH Masykur waktu itu adalah penyalahgunaan dana non-budgeter Kas Masjid, yaitu pengepoolan hasil retribusi biaya nikah, talak dan rujuk oleh para pegawai pencatat nikah (Depag) dan ketidakberesan pengelolaan keuangan dari penyaluran tekstil kain kafan yang merupakan bagian dari rampasan perang dari Jepang ke Indonesia.
 
Selain KH Masykur, “penyekapan” juga menimpa Jamaluddin Malik salah seorang fungsionaris PBNU. Fadlun (istri Jamaluddin Malik) pernah menyuruh seseorang menghubungi A. Mustahal  agar bisa menjenguk suaminya yang ditahan di Bandung. Tetapi Mustahal  belum sempat memenuhi permintaannya. Jamaluddin Malik merupakan salah seorang fundraiser (pencari dana) kas Jam’iyyah NU, yang bendaharanya adalah KH Munir Abu Sujak.

Jamaluddin Malik dan Usmar Ismail adalah tokoh utama Lesbumi (organisasi kebudayaan NU). Jamaluddin Malik dituduh menerima kredit tanpa agunan untuk PERSARI bersama-sama dengan Usmar Ismail untuk PERFINI dari BNI yang pada waktu itu Direkturnya Mister A Karim. Padahal kredit tersebut telah mendapatkan personal warrant atau guarantiee (garansi pribadi) dari Wapres Mohamad Hatta demi pengembangan Perfileman Nasional. Tetapi karena ada perasaan dendam, karena NU menolak perbuatan makar tahiun 1952 itu, maka penangkapan tanpa prosedur tetap dilakukan terhadap para tokoh NU tersebut.

 

 

Disadur dari Buku A. Mustahal, Dari Gontor ke Pulau Buru, Penerbit, Syarekat, 2002.