Bagaimana Bias Pemberitaan Media Barat Mengaburkan Penjajahan Israel atas Palestina?

Media-media Barat mewartakan agresi Israel terhadap Palestina dengan bias karena sejumlah hal dan perlu skeptisisme dalam membaca dan mengutipnya.

Cara media-media Barat memberitakan konflik Palestina-Israel yang sudah berlangsung puluhan tahun selalu mengundang perdebatan. Studi-studi akademik menunjukkan bahwa bias pro-Israel dan diskriminasi terhadap Palestina memang terjadi dan dengan demikian berperan dalam melanggengkan kondisi yang ada. Meski konflik sudah lama terjadi, bias pemberitaan cenderung meningkat ketika kekerasan dan siklus kekerasan yang mengikutinya muncul kembali. 

 

Bias serupa terlihat lagi dalam pemberitaan kekerasan di Jalur Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan balasan Israel dikerangkai dan ditekankan oleh media-media Barat sebagai "hak untuk membela diri (right to defend itself)”, meskipun kemudian terbukti Israel menyerang rumah sakit, ambulans, bahkan kamp pengungsian. Hingga Selasa (7/11/2023), data Kementerian Kesehatan Palestina menyebut korban jiwa mencapai 10.328 dengan sekitar 4.000 di antaranya adalah anak-anak.  

 

Contoh bias tersebut berderet. Di antaranya adalah BBC yang menyebut korban warga sipil Israel "dibunuh (killed)", sementara korban warga sipil Palestina "meninggal (died)". Dibunuh dan meninggal tentu memiliki makna yang sama sekali berbeda. BBC dalam liputannya yang lain juga menyebut demonstrasi besar-besaran pro-Palestina di London sebagai demonstrasi pro-Hamas—sesuatu yang kemudian membuat BBC mengakui kesalahan dan meminta maaf secara on air. Reuters tidak menyebutkan subjek yang membunuh jurnalisnya meski jelas-jelas yang menyerang adalah Israel. 

 

 

Apa yang sedang dilakukan oleh media-media tersebut adalah menghilangkan konteks penjajahan Israel atas Palestina yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Lantaran konteksnya dihilangkan, seolah-olah konflik kali ini baru muncul setelah serangan Hamas pada 7 Oktober. Konsekuensinya, narasi yang muncul kemudian adalah Israel "sah" untuk membalas dendam atau menyerang balik. Proses isolasi atau pengabaian konteks ini tentu berbahaya karena konsekuensi logisnya adalah narasi pemberitaan yang muncul hanya memberikan simpati kepada agresor, dalam hal ini tentu saja Israel. 

 

Pada tahap selanjutnya, pengabaian konteks itu juga membuat istilah-istilah yang digunakan sangat bias pro-Israel. Misalnya, orang-orang Palestina disebut sebagai teroris alih-alih pejuang pembebasan; sengketa permukiman alih-alih kolonialisme pemukim (settler colonialism). Banyak media juga enggan menggunakan istilah genosida meskipun banyak organisasi hak asasi manusia, bahkan pejabat PBB, menyebut bahwa apa yang dilakukan Israel adalah textbook genosida. 

 

Dengan semakin terang benderangnya agresi Israel terhadap Palestina, mengapa bias semacam itu terus terjadi? 

 

Pertama, banyak jurnalis media-media Barat yang tidak bisa berbahasa Arab sehingga akses mereka terbatas dan hanya mengandalkan narasumber resmi yang berfokus kepada pemerintah Israel. Sementara narasumber dari Palestina sangat terbatas. Ini menjadi problem ketika narasumber-narasumber resmi yang dikutip berperan aktif menjadi mesin propaganda. Akun X resmi pemerintah Israel dan IDF, misalnya, berkali-kali menyebarkan informasi palsu. Beberapa kali informasi palsu tersebut dikutip oleh media.  

 

Kedua, masih berkaitan dengan akses yang terbatas, banyak media membuat liputan dengan melakukan jurnalisme melekat (embedded journalism). Dalam perang saat ini, CNN mengakui bahwa jurnalisnya mempraktikkan jurnalisme melekat dan footage yang mereka ambil harus disaring terlebih dahulu oleh tentara Israel. Kondisi ini membuat apa yang dimunculkan tentu sudah bias. Para sarjana etika jurnalisme sudah sering mengkritik praktik ini. 

 

Ketiga, tendensi media-media Barat untuk segaris dengan politik luar negeri negara mereka. Dalam Journalism and Foreign Policy: How the US and UK Media Cover Official Enemy (2022), Ruth Sanz Sabido menyebut bagaimana dalam isu-isu di Timur Tengah media-media di Amerika Serikat dan Inggris lebih sering mengikuti posisi politik pemerintah mereka. 

 

Sebagai contoh tentu saja ketika Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak. Ketika itu media-media Barat menjadi cheerleader pemerintah Amerika Serikat dalam mempromosikan kebohongan bahwa Irak di bawah Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) yang menjadi dalih bagi serangan Amerika Serikat. Kemudian kita tahu bahwa senjata pemusnah massal yang "dirayakan" besar-besaran oleh media-media Barat tidak terbukti ada. Dalam konteks tersebut, media melakukan apa yang disebut sebagai manufacturing consent

 

Melihat kondisi demikian, media-media di Indonesia harus berhati-hati dan skeptis jika ingin merujuk atau menyadur informasi dari pemberitaan media Barat. Jika tidak berhati-hati, apa yang disampaikan oleh Malcolm X puluhan tahun lalu bisa menemukan kebenarannya lagi: “koran-koran akan membuatmu membenci orang yang tertindas dan bersimpati kepada orang-orang yang melakukan penindasan.”


Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mahasiswa doktoral di Department of Journalism Studies di University of SheffieldUK.


logo