Kisah Jurnalis Meliput Perang Palestina-Israel: Kuncinya Keberanian dan Kepasrahan

Kunci meliput perang Palestina Israel adalah keberanian dan kepasrahan. Setidaknya, demikian yang dialami langsung penulis saat turun di sana.

Bagi para jurnalis yang bertugas di Timur Tengah, peliputan perang Palestina-Israel merupakan tugas paling sering dan biasanya menjadi inti pekerjaan jurnalistik mereka. Karena itu, wartawan-wartawan di Timur Tengah harus memahami secara detail isu dan anatomi konflik tersebut.


Sebagai jurnalis yang bekerja di Timur Tengah, saya juga merasakannya—perang Palestina-Israel menjadi inti peliputan saya. 


Sejak 1993, saya menulis dan meliput perang Palestina-Israel. Penugasan luar negeri saya yang pertama adalah ke wilayah Palestina, yakni Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Sejak itu, hampir setiap tahun selama 30 tahun, saya melakukan perjalanan jurnalistik ke wilayah Palestina. Saya ingat, dalam 10 tahun pertama di Timur Tengah saya mengunjungi Palestina sebanyak lima kali, yaitu pada 1994, 1996, 1997, 1999, dan 2001. 


Sejak Hamas menguasai Jalur Gaza pada 2007 dan kemudian meletus perang besar Palestina-Israel pada 2009, 2012, 2014, 2021, dan 2023, saya pun meliput perang-perang tersebut. Saya masuk ke Jalur Gaza saat perang tahun 2009 dan 2012.


Kala perang Palestina-Israel meletus di tahun 2014 dan 2021, saya hanya meliput sampai ke kota Al-Arish (sekitar 40 kilometer dari Jalur Gaza). Saat itu, otoritas Mesir hanya mengizinkan para wartawan meliput sampai di kota tersebut yang berada di Gurun Sinai Utara. 


Pada perang Palestina-Israel tahun ini, otoritas Mesir juga hanya mengizinkan para wartawan meliput sampai di kota Al-Arish.

 


Meliput di tengah dentuman rudal

Meliput perang, seperti perang Palestina-Israel, menuntut keberanian sekaligus kepasrahan serta pengorbanan bagi jurnalis. Kesehatan yang prima bagi para jurnalis yang akan meliput perang juga menjadi prasyarat utama.


Suara gempuran dan dentuman yang menyentakkan dari serangkaian bom dan rudal sudah biasa bagi jurnalis yang meliput perang Palestina-Israel. Kadang-kadang, bom dan rudal berjatuhan dari jarak yang cukup dekat.


Risiko terluka karena serpihan benda tajam dari ledakan bom (shrapnel) atau bahkan tewas akibat terkena bom adalah ancaman nyata bagi para jurnalis yang meliput perang.


Saya pun terbiasa melihat langsung dengan mata telanjang roket dan rudal yang ditembakkan Israel atau Palestina terbang menuju sasaran.


Menyaksikan pesawat dan helikopter tempur Israel terbang rendah di atas kepala juga biasa terjadi, terutama dalam liputan perang di Gaza. Ini yang menuntut para jurnalis harus memiliki sikap kepasrahan yang luar biasa sambil berdoa: semoga pesawat dan helikopter tempur tidak menembakkan roket ke arah kita.


Hampir tidak ada tempat berlindung ketika para jurnalis meliput perang di Gaza. Satu-satunya harapan untuk melindungi kami di tengah desingan peluru, gempuran roket, dan dentuman rudal adalah Tuhan Yang Mahakuasa. Wallahu a’lam.


Musthafa Abd Rahman, pensiunan wartawan Harian Kompas. Menghabiskan karier kewartawanannya di Kairo selama 30 tahun (1993-2023).


logo