Saat Dispensasi Nikah di Bawah Umur Diperketat, Anak-Anak Menikah Sembunyi-Sembunyi

Mas’ud, seorang ustadz, mengaku serbasalah saat diminta menikahkan pasangan berusia anak. “Kita takut karena ini melanggar aturan pemerintah.”

Jakarta, NU Online 
Sejak beberapa tahun terakhir, Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, termasuk di Bekasi, telah memperketat pemberian dispensasi untuk mengurangi angka pernikahan di bawah umur. Namun, apakah pengetatan dispensasi ini efektif menekan pernikahan di bawah umur?

 

“Saya menikah masih umur 15 tahun, suami 23 tahun lebih tua dari saya,” tutur Sari, bukan nama sebenarnya, warga Kabupaten Bekasi, Jawa Barat ditemui NU Online di kediamannya beberapa waktu lalu.

 

Tiga bulan lalu, Sari yang seharusnya masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama terpaksa putus sekolah dan memilih menikah dengan pacarnya yang delapan tahun lebih tua. Lantaran umur Sari masih di bawah 19 tahun—batas minimum usia pernikahan menurut undang-undang bagi laki-laki dan perempuan—mereka membutuhkan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama setempat.

 

“Orang tua laporan ke Kantor Urusan Agama (KUA) tapi ditolak karena untuk menikah harus sesuai prosedur memenuhi syarat usia 19 tahun. Kemudian datang ke Pengadilan Agama Cikarang meminta syarat dispensasi. Syaratnya susah,” kata Sari.

 

Merasa tak punya pilihan, keluarga memutuskan untuk menikahkan Sari dan pacarnya secara sembunyi-sembunyi di rumah, tidak ke KUA.

 

“Keduanya sudah lama pacaran, dan kedua orang tua sepakat untuk menikahkan. Pernikahan disaksikan orang tua kedua mempelai dan yang menjadi wali nikah juga orang tua mempelai,” kata Aris, ayah Sari.

 

Sembunyi-Sembunyi Dituntun Ustadz

Yuli, bukan nama sebenarnya, menikah siri di usia 16 tahun. Ia menikah dengan pacarnya berusia 20 tahun, sudah cukup umur untuk menikah berdasar undang-undang. Yuli dinikahkan karena terlanjur mengandung anak dari pria yang kini jadi mantan suaminya itu.

 

“Kadung hamil duluan, iya, saya nikahkan atas persetujuan kedua orang tua mempelai saja,” kata Rosyid, yang meminta nama sebenarnya disamarkan, ayah Yuli.

 

Rosyid mengatakan, permohonan dispensasi menikah anaknya ditolak KUA, sehingga pernikahan siri dilakukan di rumah dengan disaksikan ustadz setempat. Pernikahan itu dilangsungkan dua tahun lalu.

 

Dalam beberapa kasus, bukan hanya keluarga saja yang menyimpan rahasia dalam pernikahan di bawah tangan seperti ini. Ustadz di kampung atau desa kerap menjadi penghulu untuk menikahkan pasangan di bawah umur secara diam-diam.

 

Mas’ud, seorang ustadz, mengaku merasa serbasalah saat diminta menikahkan pasangan berusia anak. Karena itu sebelum pernikahan berlangsung biasanya ia meminta keluarga yang hendak menikah menunjukkan bukti bahwa anak tersebut telah mendapatkan penolakan dispensasi nikah dari KUA untuk negosiasi agar pernikahan secara sembunyi-sembunyi tidak terjadi. 

 

“Kita takut karena ini melanggar aturan pemerintah,” kata Mas’ud dihubungi melalui sambungan telepon.

 

Jika keluarga memutuskan untuk tetap melangsungkan pernikahan siri, Mas’ud menyerahkan kepada orang tua untuk menikahkan anaknya. Biasanya wali nikah dalam hal ini orang tua diajari cara menikahkan anaknya. “Saya tidak berani takut sanksi,” aku Mas’ud.

 

Usai Pernikahan Siri 

Yuli menceritakan perjalanan rumah tangganya yang kerap diwarnai dengan pertengkaran setelah dua tahun menjalani pernikahan siri dan tinggal bersama suami dan anak di rumah mertuanya. 
 

“Suami saya pergi, tak memberi nafkah. Dia pengangguran sehingga semua biaya ditanggung oleh Bapak Ibu. Dia lari tak bertanggung jawab. Akhirnya kami cerai, dia sudah nikah lagi dengan perempuan lain,” ujar Yuli.

 

KUA tidak serta-merta langsung menikahkan pasangan apabila pihak mempelai belum cukup umur. Akan tetapi harus melalui tahapan dispensasi kawin yang menghadirkan kedua wali atau orang tua dengan membawa salinan persyaratan berkas yang harus dipenuhi. Mulai surat nikah orang tua calon pemohon, KTP, surat keterangan belum memenuhi umur dari Kepala KUA, akta lahir serta ijazah terakhir mempelai.

 

Bimas Islam Kabupaten Bekasi, Nedi Junaedi menyebut, pernikahan di bawah tangan masih terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat akan dampak adanya praktik nikah di bawah tangan.

 

Padahal banyak problem hukum yang dijumpai akibat dari pernikahan siri, terutama bagi istri dan anak. Meskipun, sebagian dari mereka sudah mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama.

 

"Yang paling merasakan adalah anak yang lahir dari praktik nikah di bawah tangan itu. Padahal anak sama sekali tidak berdosa dan tidak tahu apa yang terjadi, tetapi anaklah yang di kemudian hari paling merasakan kesulitan karena tidak ada akta nikah," jelasnya.

 

"Ini menjadi PR bersama," imbuhnya.

 

Angka Pernikahan Anak Menurun

Jika merujuk data pernikahan anak dengan dispensasi dari Pengadilan Agama Cikarang, Bekasi, tren kasus pernikahan dini di Kabupaten Bekasi justru terlihat menurun. Hal ini diungkapkan Panitera Muda Cahyadi ditemui NU Online di ruang kerjanya, Kamis (10/8/2023).

 

“Per Januari 2022 sampai Juli 2023 hanya ada 50 perkara yang masuk. Jumlah pernikahan anak menurun setelah Pengadilan Agama membuat syarat pengajuan nikah disertai surat keterangan dari Dinas Kesehatan Bekasi,” kata Cahyadi.

 

“Apakah semua permohonan dispensasi pernikahan di bawah umur diterima?” tanyaku.

 

“Ada yang ditolak. Tentu enggak semua dikabulkan. Misalnya, ada kasus anak dipaksa menikah oleh orangtuanya. Pengadilan harus membatalkan atau menunda pernikahan meskipun undangan telah disebar atau akan menikah dua minggu lagi,” jelasnya.

 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan target angka pencegahan pernikahan usia anak sesuai Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 capai 8,06 persen meski masih ada kasus yang belum tercatat. Data tahun 2022 menunjukkan sebanyak 330.000 anak dan remaja menikah. Sedangkan data dispensasi menikah tercatat di Badan Mahkamah Agung hanya sekitar 52.000.

 

“Jadi, ada 275.000 lebih anak yang menikah tidak mengajukan dispensasi. Ini menjadi PR besar buat kita,” kata Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti, dalam sebuah webinar.

 

Berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) Kementerian Agama, Tahun 2022 secara nasional ada sekitar 52.000 perkara dispensasi perkawinan yang masuk ke peradilan agama. Sekitar 34.000 di antaranya faktor cinta sehingga orang tua meminta pengadilan agar anak-anak mereka segera dinikahkan.

 

Lalu sekitar 13.547 pemohon mengajukan menikah karena sudah hamil terlebih dahulu dan 1.132 pemohon mengaku sudah melakukan hubungan suami istri. Faktor lainnya adalah karena alasan ekonomi dan alasan perjodohan. 

 

Hukum Indonesia tentang Perkawinan Anak

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam upaya mencegah perkawinan anak dengan mengesahkan undang-undang perkawinan secara berturut-turut. Misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang kemudian diubah atau diganti dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. 
 

Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang disepakati dalam Rapat Panitia Kerja DPR dan pemerintah pada  tanggal 12 September 2019 merupakan lompatan besar. Selain sepakat menaikan batas usia minimal perkawinan 19 tahun, revisi UU ini memperketat soal pemberian dispensasi yang selama ini jadi pintu masuk perkawinan anak.

 

Perubahannya sangat signifikan. Misalnya soal permohonan dispensasi yang sebelumnya kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua calon pengantin, dalam RUU tersebut diubah permohonannya hanya kepada pengadilan. Permohonan tersebut juga harus disertai alasan mendesak serta bukti-bukti pendukung yang cukup.

 

Pasca pengesahan undang-undang tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Darmawati meratifikasinya, bahwa perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak dan merupakan praktik pelanggaran hak dasar anak. Dampak perkawinan anak tidak hanya dialami oleh anak yang menikah saja tetapi juga anak yang akan lahir dari perkawinan tersebut.

 

“Praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas kita semua karena telah menimbulkan dampak yang masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan. Berisiko alami kekerasan dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya termasuk pada persoalan kemiskinan lintas genarasi,” kata Bintang.

 

Upaya Menghentikan Pernikahan Anak di Indonesia

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan catatan terhadap masih adanya pernikahan usia anak di bawah 19 tahun. Sekalipun angkanya cenderung menurun, namun kasus tersebut belum sepenuhnya hilang. “Angka pernikahan anak ini masih menjadi catatan. Masih adanya permintaan dispensasi yang terlihat, menunjukkan perlu mendapat intervensi,” kata Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah.

 

Mengutip data dari Pengadilan Agama Cikarang, jumlah pengajuan dispensasi pernikahan anak di Kota Industri ini menurun beberapa tahun terakhir. Namun permintaan tersebut masih terus ada. “Kami bukan bicara soal angka, namun angka dispensasi ini merupakan situasi yang tidak memungkinkan dan semua daerah mengalami situasi ini,” ujarnya.

 

Upaya menangani kasus pernikahan anak, lanjut Ai Maryati, pihaknya meminta seluruh pihak turun tangan. Bukan hanya pemerintah namun juga pengadilan agama, ahli kesehatan, pemerhati anak hingga para orang tua.

 

Pertama, bagi anak yang telah mendapatkan dispensasi mereka harus tetap mendapatkan hak sebagai anak. Di antaranya, memperoleh pendidikan yang baik sekalipun bagi para pengantin yang hamil di luar nikah atau sering disebut dengan istilah married by accident (MBA). Biasanya, penyebab ini masih menjadi salah satu faktor pengajuan dispensasi nikah pada anak.

 

“Misalnya, kehamilan yang tidak diinginkan. Meskipun ada kondisi reproduksi, hak pendidikan harus dijaga dan dijamin,” jelasnya.

 

Upaya preventif sebaiknya juga dilakukan untuk mencegah pernikahan anak. Terutama bagi calon pengantin yang mengajukan dispensasi karena alasan ekonomi, menjalankan syariat agama, atau penyebab serupa.

 

Pemenuhan hak anak seperti pendidikan juga harus diprioritaskan sebab itu penting untuk menjamin kehidupan anak kelak ketika dewasa. Sebelum mengajukan dispensasi orang tua sebaiknya mencari pertimbangan kepada pemerintah atau lembaga pemerhati anak.

 

“Ini bisa menjauhkan dari perkawinan anak namun dengan tetap memberikan hak pada anak. Bagaimanapun sekolah dan pendidikan jauh lebih utama dibandingkan pernikahan anak,” tandas Ai Maryati. 
 


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag RI.


Suci Amaliyah
Kontributor

Lainnya

logo