Sound Horeg dan Cermin Ketimpangan Sosial

Kebisingan bukan hanya soal volume, tapi soal siapa yang bersuara dan ruang yang tersedia.

Festival musik berbayar di panggung pertunjukan dianggap sebagai hiburan. Tiketnya ratusan ribu hingga jutaan, lampu sorot terang, dan suaranya keras. Di kampung, warga menyalakan sound horeg dilekatkan dengan cap gangguan. Volumenya nyaris sama, tapi panggungnya hanya di ruang terbatas. Di sini terlihat ketimpangan spasial: pertunjukan berbayar yang tertutup versus ruang publik terbuka yang gratis. Selain itu, terjadi ketimpangan kultural: suara elite dirayakan sebagai hiburan, suara rakyat dicap sebagai gangguan.


Sejarah Islam memberi contoh lain. Saat suara keras jamaah mengganggu kekhusyukan di masjid Nabawi, Khalifah Umar bin Khattab tidak melarang kebisingan tersebut. Ia justru menyediakan pelataran Buthaiha’ di samping masjid. Ia berkata, “Kalau ingin bersuara keras, pindahlah ke sana.” Ibadah tetap tenang. Warga tetap bebas bersuara. Keputusan ini menuntaskan konflik tanpa membatasi kebebasan dan merenggut kenyamanan.


Salah satu persoalan utamanya adalah ketersediaan ruang, bukan sekadar suara keras-pelan. Tanpa Buthaiha sebagai ruang festival rakyat, musik warga akan terus terjepit antara label gangguan dan pembatasan. Dalam situasi ini, mengapa Ulama justru didorong menjadi wasit moral, padahal pemerintah berkewajiban sebagai penyedia ruang dan penjaga keadilan suara? Bagaimana Islam memberi pedoman di tengah ketimpangan ini?


Dari Panggung ke Kampung: Suara yang Tak Setara

Festival musik di kota besar seperti Jakarta bukan sekadar hiburan. Ia juga soal akses ke ruang legal dan aman untuk bersuara keras. LaLaLa Fest 2024 menjual tiket tiga hari seharga Rp 1,4 hingga 2,4 juta. Kelas VIP mencapai Rp 4,1 juta per orang. Joyland Festival 2024 menyediakan tiket reguler tiga hari seharga Rp 999 ribu, dan VIP seharga Rp 1,249 juta. Festival tersebut berlangsung di panggung resmi, menggunakan sistem suara dan tata panggung profesional. Mereka legal, berizin, dan dilindungi aturan.


Volume konser sangat tinggi, bahkan melebihi batas aman menurut WHO. Tapi karena berlangsung di ruang berbayar dan tertutup, kebisingan dianggap wajar. Sebaliknya, kebisingan serupa di kampung kerap dicap sebagai gangguan. Padahal secara teknis, volumenya bisa setara atau lebih keras. Perbedaannya bukan di desibelnya, tapi siapa yang bersuara dan di mana.


Faktanya, konser musik memang bising. Dalam studi yang diterbitkan di Otolaryngology, Head & Neck Surgery, para peneliti mengukur tingkat kebisingan pada konser modern dan menemukan bahwa suara rata-rata mencapai 99,8 desibel A-weighted (dBA), dan bisa menembus maksimum 125,6 dBA. Dalam pengamatan terhadap penonton, 64% peserta yang tidak menggunakan pelindung telinga mengalami penurunan ambang pendengaran sementara (Temporary Threshold Shift atau TTS). Sementara itu, hanya 27% dari peserta yang memakai earplug yang mengalami TTS (Opperman, David A.; Reifman, William; Schlauch, Robert S.; Levine, Samuel C., Incidence of Spontaneous Hearing Threshold Shifts During Modern Concert Performances, Otolaryngology–Head & Neck Surgery, Vol. 134, No. 4, 2006, hlm. 667–673).


Di kampung, suara bisa lebih nyaring. Truk-truk sound horeg di Jawa Timur mengeluarkan suara hingga 135 dB. Di Banyuwangi, acara battle sound tahunan bisa menarik hingga 10 ribu penonton, meski digelar di jalanan atau lapangan terbuka. Padahal secara regulasi, WHO menetapkan batas aman paparan suara jangka panjang adalah 85 dB, dan peraturan nasional hanya mengizinkan 55 dB di lingkungan permukiman. Konser resmi di gedung dianggap hiburan, tapi pesta kampung yang sama kerasnya sering dianggap sebagai gangguan.


Yang lebih mencolok, pengeluaran untuk kebisingan tersebut cukup besar. Menyewa satu sistem sound horeg bisa menghabiskan Rp 30–70 juta per malam, dan merakit sistem premium seperti Blizzard Audio dapat menelan hingga Rp 5–10 miliar. Di Desa Ngampelrejo, Tuban, sempat viral kisah warga yang iuran Rp 600 ribu per KK untuk mendatangkan 12 truk sound. Semua ini terjadi di tengah ketimpangan pembangunan: Indeks Williamson Jawa Tengah adalah 0,643 (2019–2023), dan kemiskinan perdesaan di Jawa Timur mencapai 13,19%, hampir dua kali lipat dari kota yang 6,83%.


Karena tidak ada panggung resmi, warga kampung memakai jalan sebagai panggung. Karena tak punya dana formal, warga patungan untuk membeli suara. Akhirnya, kebisingan menjadi simbol perlawanan terhadap sunyi. Ini bukan sekadar soal volume keras. Ini merupakan soal keadilan dalam ruang dan akses. Selama ketimpangan berlanjut, kampung akan terus bersuara. 


Kebebasan dan Keadilan Spasial: Suara yang Diberi Ruang, bukan Dilarang

Pada pertengahan abad ke-7, dua musafir dari Thaif berbicara keras di masjid Nabawi hingga gema suara mereka mengganggu jamaah. Khalifah Umar bin Khattab menegur tegas. As-Sâʾib bin Yazîd menceritakan:


كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا، أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا، تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ


Artinya, "Aku sedang berdiri di masjid, lalu seseorang melempariku dengan kerikil. Maka aku menoleh, ternyata itu Umar bin Khattab. Ia berkata: 'Pergilah dan bawakan kepadaku dua orang itu.' Maka aku membawakan mereka kepadanya. Umar berkata: 'Siapa kalian berdua, atau dari mana asal kalian?' Mereka menjawab: 'Kami dari Thaif.' Umar berkata: 'Seandainya kalian berdua berasal dari penduduk kota ini (Madinah), niscaya aku akan menyakiti kalian berdua, karena kalian meninggikan suara di Masjid Rasulullah saw'" (Al-Bukhârî, Ṣaḥîḥul Bukhârî, [Beirut, Dâr Ṭawqin Najâh, 2001/1422 H], juz 1, hlm. 101).


Dalam kisah ini, Umar bin Khattab membiarkan dua orang dari Thaif tetap berada di Masjid Nabawi meski mereka meninggikan suara. Ia tidak langsung menghukum, tapi menyelidiki dulu dengan memerintahkan As-Sâʾib bin Yazîd memanggil mereka. Setelah tahu mereka bukan dari Madinah, Umar memaklumi kesalahan itu karena ketidaktahuan. Ini mencerminkan keadilan: hukuman tidak disamaratakan, tapi disesuaikan dengan latar belakang dan pemahaman.


Riwayat ini sekaligus menegaskan bahwa ruang ibadah harus dijaga ketenangan dan kekhusyukannya. Namun, alih-alih memperketat larangan, Umar merespons dengan pendekatan spasial. Ia menciptakan solusi fisik berupa pembangunan pelataran terbuka di sisi timur masjid, yang dikenal sebagai Buthaiḥaʾ. Imam Malik menjelaskan:

 

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ بَنَى إلى جنب الْمَسْجِدِ رَحْبَةً، سَمّاها الْبُطَيْحَاءَ، فكَانَ يُقول من أراد أَنْ يَلْغَطَ، أَوْ يُنْشِدَ شِعْرًا، أَوْ يَرْفَعَ صَوْتَهُ، فلْيَخْرُجْ إِلَى هَذِهِ الرَّحْبَةِ


Artinya, “Umar bin al-Khaṭṭāb membangun di samping masjid sebuah pelataran (lapangan terbuka) yang ia namai al-Buthaiha’. Umar berkata: ‘Siapa pun yang hendak berbicara gaduh, melantunkan syair, atau meninggikan suara, maka keluarlah ke sana.’” (Mālik bin Anas, al-Muwaṭṭaʾ, [Beirut, Muʾassasat ar-Risālah, 1991], juz 1, hlm. 226).


Syed Ahmad Iskandar menjelaskan bahwa Buthaiha’ merupakan  sebuah pelataran yang sedikit ditinggikan di sisi timur halaman masjid Nabawi.  Buthaiha’ menjadi ruang bagi pembacaan syair, obrolan sehari-hari, dan suara percakapan bernada tinggi. 


Dengan bertambahnya jumlah penduduk Madinah, aktivitas non-ritual tak terhindarkan di dalam masjid. Umar memandang perlu memisahkan fungsi tersebut tanpa mengganggu kekhusyu’an ibadah. Kehadiran Buthaiha’ pun membagi komposisi ruang masjid menjadi empat zona: (1) ruang shalat, (2) halaman, (3) Suffah di utara, dan (4) Buthaiha’ di timur. (Syed Ahmad Iskandar Syed Ariffin, Care and Conservation of the Prophet’s Mosque, [Skudai, Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2005], hlm. 97).


Semangat keadilan spasial yang dicontohkan Umar bin Khattab kontras dengan dinamika budaya pada masa Abbasiyah. Dalam telaah Hilary Kilpatrick, Kitâbul Aghânî karya Abul Faraj al-Iṣbahânî menunjukkan bahwa ruang budaya pada masa itu tidak hanya dipisahkan secara fungsi, tetapi juga secara kelas. Musik dan hiburan diposisikan sebagai milik eksklusif istana dan kalangan elite. Sementara rakyat biasa hampir tak mendapat tempat. Baik secara fisik maupun dalam narasi sejarah. 


Buku Aghânî hampir seluruhnya memotret majelis para khalifah, pangeran, dan birokrat cendekia. Para khalifah pada masa keemasannya tak hanya menjadi penikmat, tetapi juga komposer dan kurator musik. Ketika kekuasaan mereka melemah, peran itu diambil alih oleh pejabat kaya dan jenderal. Musisi profesional, yang sebagian besar berasal dari kalangan budak atau perempuan istana, sangat bergantung pada dukungan struktural dari elite kekuasaan. Tanpa akses ke jaringan ini, banyak dari mereka terhapus dari sejarah, seperti Muḥammad Naʿja al-Kūfī yang dilupakan hanya karena tidak pernah tampil di hadapan khalifah.     


Lebih dari sekadar sokongan finansial, hubungan ini memperlihatkan ketimpangan sosial yang tajam. Para pelindung budaya memiliki kendali mutlak atas para seniman. Mereka bisa memuliakan atau menjatuhkan reputasi musisi sesuai kehendak pribadi. Dalam salah satu kisah, penyanyi Ibn Surayj bahkan dipaksa tunduk oleh ancaman dari Sukayna, seorang tokoh elite. Dalam struktur ini, musik bukanlah ruang ekspresi bebas, melainkan arena yang dikontrol oleh pengelola kekuasaan budaya. (Hilary Kilpatrick, Making the Great Book of Songs: Compilation and the Author’s Craft in Abū l-Faraj al-Iṣbahānī’s Kitāb al-Aghānī, [London, Routledge Curzon, 2003], hlm. 34–48).


Sama’ sebagai Jalan Spiritual dan Keadilan Suara

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa sama’ merupakan praktik mendengarkan suara secara spiritual.  Ia memiliki empat tingkatan batin yang menunjukkan kualitas dan arah hati pendengar. Dari yang paling rendah, yaitu sekadar menikmati suara tanpa makna, hingga yang paling tinggi: pendengaran yang menenggelamkan diri dari kesadaran dunia dan hanya menyisakan kehadiran Allah dalam kalbu. 


Dalam kerangka ini, suara bukan hanya objek inderawi. Akan tetapi suara bisa menjadi jalan ma’rifat, jika didengar dengan hati yang jernih. Sebaliknya, suara juga bisa menjadi alat syahwat jika direspon dengan hawa nafsu. Maka, suara itu sendiri bukan masalah; yang menentukan adalah ke mana arah batin dan makna yang lahir darinya.


Polemik sound horeg menjadi relevan jika dibaca dalam perspektif ini. Ketika konser elite di panggung-panggung mahal dinilai sah sebagai hiburan. Sedangkan pesta rakyat dengan volume serupa justru dicap sebagai gangguan, maka kita dihadapkan pada ketimpangan spasial dan kultural. Padahal dari sisi spiritual, suara warga bisa menjadi ekspresi syukur, rindu, atau bahkan ratapan kepada Allah. 


Al-Ghazali mengajarkan bahwa mendengar secara spiritual bukan monopoli kalangan tertentu, tapi hak semua orang yang hatinya terbuka. Maka suara warga kampung pun bisa menjadi bentuk sama’, bila diberi ruang dan tidak langsung dilabeli sebagai polusi. Al-Ghazali menjelaskan:


فمن أصغى إليه بحق تحقق، ومن أصغى إليه بنفسه تزندق


Artinya, "Barang siapa mendengarkan suara (sama’) dengan kebenaran, maka ia akan mendapat pencerahan. Tapi siapa yang mendengarnya dengan nafsunya, ia bisa terjerumus dalam kesesatan." (Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, [Beirut, Dār al-Maʿrifah], juz 2, hlm. 292)


Al-Ghazali tidak menyalahkan suara itu sendiri: apakah berasal dari syair, lantunan, atau dentuman, tetapi bagaimana cara hati merespons suara tersebut. Kritik terhadap sound horeg seringkali tidak melihat konteks sosial, spiritual, atau batiniah dari suara itu, melainkan hanya menghukumnya secara lahiriah sebagai gangguan. Padahal, jika suara itu lahir dari kegembiraan, kebersamaan, bahkan pengharapan warga atas realitas hidup yang sunyi dan timpang, maka secara ruhani bisa bernilai sama, yakni suara yang didengarkan dengan kebenaran.


Solusi Umar bin Khattab dalam menghadapi kebisingan jamaah di masjid Nabawi memberi inspirasi penting: bukan membungkam suara, tapi mengaturnya secara adil. Umar membangun pelataran Buthaiha’ di luar masjid sebagai ruang legal untuk percakapan, syair, dan suara keras. Dengan ini, ketenangan ibadah terjaga, dan ekspresi masyarakat tetap mendapat tempat. Ini adalah bentuk keadilan spasial dalam Islam, yang sayangnya belum banyak dicontoh dalam penataan ruang urban hari ini. Polemik sound horeg bukan soal volume, tapi soal akses: siapa yang diberi ruang untuk bersuara, dan siapa yang didorong untuk diam.


Jika konser elite diberi ruang mewah dan perlindungan hukum, mengapa suara rakyat tidak mendapat hak yang sama? Selama negara tidak menyediakan Buthaiha modern sebagai ruang terbuka, legal, dan setara, maka jalanan dan lapangan kampung akan terus menjadi panggung mereka. Di tengah ketimpangan, suara rakyat bukan sekadar hiburan atau gangguan, tapi bentuk kehadiran. Dan sebagaimana diajarkan dalam tradisi sama’, suara bisa menjadi jalan menuju Allah, asal diberi ruang untuk didengar, direnungkan, dan dimuliakan. 


Ustadz Mishbah Khoiruddin Zuhri, Alumni Kelas Menulis Keislaman NU Online 2025 dan Mahasiswa Fakultas Studi Islam, Universitas Islam Internasional Indonesia.


logo