Nasional

Empat Komponen Penting Konsep Sekolah Bahagia LP Ma’arif PBNU 

Sel, 7 Juni 2022 | 06:00 WIB

Empat Komponen Penting Konsep Sekolah Bahagia LP Ma’arif PBNU 

Ketua LP Maarif PBNU, Prof Muhammad Ali Ramdhani mengatakan untuk menciptakan insan yang berbahagia proses pembelajarannya juga harus dilakukan dengan bahagia. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berencana membangun kebahagiaan berpendidikan di Ma’arif. Madrasah dan sekolah LP Ma’arif dibangun untuk menjadi rumah kedua bagi siswa-siswanya sehingga tidak mungkin mereka tidak bersekolah.


"Dari sisi kelembagaan, kita berharap bahwa Ma’arif ini mampu mencetak, menciptakan lingkungan-lingkungan proses pembelajaran sekolah dan madrasah sebagai rumah kedua dari anak-anak kita," ujar Prof Muhammad Ali Ramdhani, Ketua LP Ma’arif PBNU, saat melakukan pertemuan secara daring dengan NU Online pada Senin (6/6/2022) sore.


Untuk menciptakan insan yang berbahagia, menurutnya, proses pembelajarannya juga harus dilakukan dengan bahagia. Dengan begitu, tidak mungkin anak-anak tersebut tidak bersekolah karena mereka menemukan kebahagiaan di sekolah Ma’arif.


Untuk membangun itu, ia menjelaskan ada empat hal penting yang disebut sebagai komponen school well being. Pertama, sisi psikologis yang harus dibangun sedemikian rupa untuk memanusiakan manusia sebagai dasar proses pembelajaran. Dalam hal ini, menurutnya, kreasi dan rekreasi harus menjadi proses pembelajaran di dalam madrasah dan sekolah Ma’arif.


"Proses pembelajaran di LP Ma’arif itu dipandang sebagai rekreasi. Jadi, kalaulah anak Ma’arif ditanya, rekreasi yang paling indah buat siswa Ma’arif adalah belajar, ketika mereka berinteraksi di sekolah," katanya.


Hal itu tidak lain karena mereka menemukan sebuah kenyamanan psikologi di madrasah dan sekolah Ma’arif. "Ini mencirikan bahwa di tempat kita melakukan proses transformasi nilai dan pengetahuan tidak boleh ada penistaan terhadap aspek-aspek yang sifatnya psikologis," ujarnya. 


Ia mencontohkan bullying (perundungan) dan roasting (lawakan yang bertujuan meledek) sebagai dua di antara penistaan aspek psikologis yang tidak boleh ada di madrasah dan sekolah Ma’arif. "Madrasah kita adalah tempat paling aman, paling nyaman bagi mereka untuk melakukan proses tumbuh kembang secara optimal dari sisi psikologis," katanya.


Kedua, transformasi pengetahuan dan nilai harus dilengkapi dengan penguatan pada aspek jasad (fisik). "Kita berkeinginan untuk melahirkan siswa yang sehat secara jasmani," ujar Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung, Jawa Barat itu.


Mereka yang belajar di Ma'arif, lanjutnya, adalah anak-anak yang kuat secara fisik, memiliki pengolahan dimensi fisik secara sempurna. Ia mengaku selalu menekankan aspek utama pembelajaran dari ayahnya, Prof Cecep Syarifuddin bahwa kecerdasan akan terganggu dengan kelemahan fisik.


"Secerdas apapun orang tanpa dilengkapi dengan kesehatan jasmani, kesehatan rohani, maka kecerdasannya akan terganggu," lanjutnya. 


Lebih lanjut, Ali kembali mengutip pernyataan ayahnya. “Jangan pernah mengambil keputusan ketika engkau marah, sebab setengah kecerdasanmu lagi hilang. Artinya, marah itu kesehatan mentalnya lagi tidak baik," katanya.


"Jangan pernah mengambil keputusan ketika engkau sakit. Sebab, separuh dari kemampuan berpikirmu lagi turun,” imbuh Dhani mengutip pernyataan ayahnya.


Hal tersebut, menurutnya, menandakan bahwa sebuah proses pendidikan tidak an sich mengelola kecerdasan yang sifatnya bersumber dari kecerdasan akal, tetapi dia harus ditopang oleh kesehatan fisik dan kecerdasan mental.


"Salah satu catatan yang menjadi bagian penting dari penyelenggaraan pendidikan di LP Ma’arif adalah bagaimana menciptakan insan-insan yang kuat secara fisik, di samping tentu saja melengkapi dari kecerdasan intelektual," katanya.


Berikutnya, menciptakan ruang sosial di dalam sekolah tersebut mengingat manusia adalah makhluk sosial. Setelah dimensi psikologis dan fisik, hal lain yang perlu disentuh adalah dimensi sosial. 


"Kita sadar bahwa tidak mungkin kita melakukan sendirian. Dalam bahasa lain, tidak ada superman di dalam dunia ini, yang ada adalah superteam. Tak mungkin orang bekerja sendiri kecuali dia berkolaborasi dan bersinergi dengan orang lain," ujar cucu KH Anwar Musaddad dan KH Tubagus Falak itu.


Tumbuh kembang seseorang, menurutnya, harus disertai kepekaan sosial, bagaimana dia peduli sesama dan cara menolong orang lain karena ada interaksi kemanusiaan, bagaimana orang memberikan perhatian kepada orang lain dan harus mampu menarik empati dan simpati.


"Kemampuan sosial ini bagian penting yang tidak boleh ditanggalkan karena kita berkeinginan bahwa seseorang ketika dia hadir di lingkungan masyarakat, kita ingin menciptakan insan-insan yang terbaik," katanya. 


Dalam terminologi hadits, jelasnya, insan terbaik adalah khoirunnas anfauhum linnas, yakni manusia terbaik yaitu manusia yang dapat berkontribusi terhadap sesamanya.


Hal terakhir dari empat komponen yang dibangun untuk bahagia bersekolah adalah ruang yang optimal untuk berpikir. Proses berpikir siswa, menurutnya, tidak boleh terhalang, tersendat oleh hal-hal yang sifatnya sekadar hafalan. Siswa harus memahami tekstual dan kontekstual dari apa yang dipelajari.


"Hafalan tentu saja penting, tetapi bagaimana menterjemahkan sebuah kaidah itu melalui kebebasan kognitif yang pada titik tertentu harus dibatasi memang karena kemampuan manusia serba terbatas," jelasnya. 


"Tetapi paling tidak, ada sebuah kemampuan kognitif tidak ada siswa-siswa yang enggan bertanya. Tidak ada siswa-siswa yang tidak percaya diri ketika dia mengungkapkan pendapat-pendapatnya," sambungnya.


Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang mampu menghadirkan bahagia bersekolah adalah lembaga memuliakan aspek psikologis, mengokohkan aspek fisiknya, menata sistem sosial, dan memberikan ruang berpikir sesuai minat dan bakat siswanya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan