Nasional

Ahmad Tohari Pidato Kebudayaan di PBNU

Sen, 24 Maret 2014 | 11:01 WIB

Di dunia kesusastraan Indonesia, nama Ahmad tohari Tidak asing lagi. Nama Tohari membumbung tinggi berkat karyanya berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Mengetengahkan tema kemanusiaan di tengah dan setelah prahara politik 1965-1965, Ronggeng Dukuh Paruk dinilai orisinil, berani, dan tepat.
<>
Lebih dari itu, Ahmad Tohari mendapat pujian sebagai orang yang membuka pintu kebudayaan, karena dia telah membuka ruang gelap, menyentuh tema sensitif, menyuarakan yang diam, dan memecahkan kebekuan.

Selain mengetengahkan kemanusiaan dari perspektif politik, Ahmad Tohari juga mengangkat kemanusiaan dalam prosa-prosa dari segi ekonomi. Ia mengisahkan dengan detil kemiskinan di kampung-kampung yang mengkuruskeringkan tubuh anak manusia, merusak alam, mematikan tradisinya, menjegal cita-citanya. Sebaliknya, Tohari juga menunjukkan kebengisan lintah darat, ketengikan penguasa, hingga ketulian para punggawa agama.

Tak berhenti dengan menulis, dalam persoalan ekonomi, Ahmad Tohari mewujudkan pembelaannya pada kaum papa dengan menegakkan lembaga-lembaga keuangan, dengan harapan mampu memutus mata rantai ketidakadilan hubungan antara lintah darat dengan kaum lemah.

Sampai di sini, Ahmad Tohari dapat disejajarkan dengan raja cerita pendek bernama Anton Chekov yang tidak cuma menulis di atas meja, tapi turun tangan meringankan rakyat yang sengsara. Chekov mengumpulkan dana bagi pembangunan sanatarium guru dan pelajar. Sebagai dokter, Chekov juga bekerja secara sukarela mengobati rakyat menderita karena penyakit. Dengan kemampuan dan kondisi yang berbeda Ahmad Tohari telah melakukan hal yang sama dengan Anton Chekov.

Dalam banyak kesempatan, Tohari memang sering mengemukakan bahwa karya-karya sastra didedikasikan untuk mengangkat manusia-manusia yang disepelekan, untuk menegakkan nilai-nilai yang dihancurkan, untuk mengabarkan peristiwa-peristiwa yang telah dimanipulasi.

Dengan tegas Ahmad Tohari yang pada bulan Juni nanti berumur 65 tahun itu menyatakan,”Saya memang membela dengan sastra.”

Dengan latar seperti itulah, Nahdlatul Ulama mengundang Ahmad Tohari untuk menyampaikan gagasannya tentang sastra dalam acara pidato kebudayaan bertempat di gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Jumat (28 Maret 2014) pukul 19.00-22.00. Pidato kebudayaan yang diselenggarakan NU Online ini merupakan yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya D. Zawawi Imron (Maret 2012) dan M. Jadul Maula (Maret 2013).

Secara khusus, tema “Membela dengan Sastra” diharapkan membuat sastra Indonesia lebih berwibawa dan bermakna. Secara umum, NU sebagai penyelenggara, dapat terisi. Dan Indonesia, sebagai bumi yang dipijak, makin kokoh. (TIM Redaksi)