Nasional

Cak Nun Jelaskan Tradisi Keagamaan Warga NU

Ahad, 6 Oktober 2013 | 05:01 WIB

Sleman, NU Online
Maraknya kelompok-kelompok minoritas yang dengan murah mengobral istilah-istilah seperti bid’ah, haram, dan bahkan mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya, membuat Emha Ainun Nadjib yang kerap disapa Cak Nun angkat bicara.
<>
Dalam acara bertajuk “Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng” di lapangan Baratan Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Jumat (04/10), Cak Nun menjelaskan beberapa tradisi keagamaan yang biasa dilakukan waraga NU dan kerap dianggap bid’ah oleh beberapa kelompok, seperti Tahlilan, Yasinan, Kenduri, dan Sholawatan.

Cak Nun mengawali dengan menjelaskan tentang Tahlilan. Secara bahasa, Tahlil memiliki makna menyatakan Allah sebagai Tuhan dengan ucapan Laa ilaaha illallah. Sedangkan Tahlilan, di dalamnya mengandung unsur budaya, yakni kegiatan yang sering diadakan untuk mendoakan secara bersama-sama orang yang telah meninggal.

Kalimat Laa ilaaha illah itu sendiri ada lanjutannya, yaitu Muhammadun Rasulullah. Artinya bahwa di dalam tradisi Tahlilan, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, melainkan juga mengakui bahwa semua adalah ciptaan  dan rahmat Allah SWT.

“Yang tidak boleh itu jika Tahlilan di dalam sholat. Batasannya yang penting Tahlilan bukan dianggap sesuatu yang wajib, itu yang tidak boleh. Tahlil itu wajib, kalau Tahlilan itu yang tidak wajib,” tandas Cak Nun.

Mengenai tradisi Yasinan, Cak Nun menganalogikannya dengan berkata, “Lawong membaca koran saja boleh kok, apalagi membaca Yasin yang merupakan salah satu surah di dalam Al-Qur’an,” ujar Cak Nun yang segera disambut gelak tawa para Hadirin.

Adapun Kenduri merupakan wujud syukur seseorang dengan cara memberikan sedekah berupa makanan kepada tetangganya, asalkan tidak memberatkan dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang wajib, apalagi jika sampai hutang tetangga untuk melaksanakannya. “Jadi yang mau ngadakan Kenduri ya monggo, yang tidak juga monggo,” ucap Cak Nun.

Selanjutnya, Cak Nun menjelaskan tentang tradisi Sholawatan dan puji-pujian yang banyak dilakukan di Masjid-masjid. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “Innallaha wa malaikatahu yusholluna ‘alan nabi, ya ayyuhalladzina amanu shollu ‘alihi wa sallimu tasliman”.

Jadi, lanjutnya, Allah dan malaikatNya saja sudah nyata-nyata bersholawat kepada Nabi Muhammad, maka manusia yang hanya seorang hamba tentu juga tidak ada masalah jika bersholawat kepada Nabi.

“Tidak apa-apa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi, asalkan tidak melanggar syari’at. Bid’ah itu kan ketika ibadah mahdhah yang berjumlah lima yakni Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji itu ditambah-tambah atau diubah, di luar lima itu silahkan, tidak apa-apa. Ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang ibadah mahdhah hanya 3%, sisanya 97% itu tentang ibadah mu’amalah,” papar Cak Nun panjang lebar.

Kemudian Cak Nun menekankan bahwa boleh tidaknya sesuatu itu terletak pada niatnya. Barang baik, lanjutnya, jika tidak diletakkan pada tempat yang tidak sesuai maka akan dapat menjadi tidak baik.

Selain itu, Cak Nun juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut Cak Nun, sekarang ini sedang ada tiga negara besar dengan sokongan dana melimpah yang sedang ingin menghancurkan Indonesia. Mereka mengirimkan agen-agen untuk melakukan infiltrasai ke tengah warga Islam di Indonesia. Menurut dia, tujuan mereka sangat jelas, yaitu ingin memecah persatuan  umat Islam di Indonesia untuk kepentingan Global.

Terakhir, Cak Nun menyampaikan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak mengkafirkan orang lain, “Tidak ada yang berhak mengkafirkan seseorang kecuali Allah, karena yang tau orang itu kafir atau tidak hanya Allah,” pungkasnya di hadapan ribuan hadirin dari warga desa dan elemen Muspida Sleman malam itu. (Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib)