Nasional

Demokrasi Harus Mengakomodir Tradisi Lokal

Ahad, 2 September 2018 | 03:00 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Situasi politik dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat setempat. Hal ini menandakan bahwa politik Indonesia tidak sama dengan politik Timur Tengah.

"Fiqhus siyasah atau fiqih politik di Indonesia saya yakin beda," kata Ulil Abshar Abdalla saat mengisi kajian rutin di Islam Nusantara Center (INC) Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (1/9).

Perbedaan itu terlihat dari kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyah yang ditulis oleh Imam Al-Mawardi. Kitab tersebut, katanya, menyebutkan bahwa salah satu syarat pemimpin adalah dzukurah (laki-laki). Akan tetapi, lanjut Gus Ulil, hal itu tidak berlaku di Nusantara. Buktinya, ada pemimpin kerajaan seorang perempuan di Aceh dan Jawa.

"Sejarah politik bangsa itu tidak bisa dibangun dengan mengabaikan sejarah setempat," ujarnya.

Demokrasi, sebagai sistem politik yang berlaku saat ini, menurutnya, tidak dapat berkembang dengan baik jika tidak mengakomodir tradisi lokalnya. Pengasuh pengajian kitab Ihya Ulumiddin daring itu juga mencontohkan bahwa demokrasi di negara-negara Barat juga berbeda.

Sementara itu, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie menceritakan bahwa berdirinya kerajaan Islam di Indonesia ini tidak karena penaklukan dan berkaitan dengan kerajaaan di Timur Tengah. Karena itu, ia membentuk corak tersendiri.

"Karakter Islam Nusantara diperkuat dengan fiqhus siyasah," katanya.

Fiqih Siyasah Banten dan Sumatera
Direktur INC Ahmad Ginanjar Sya'ban menambahkan bahwa Sultan Banten Abul Mafakhir pernah meminta legitimasi dari Syarif Makkah sebagai sultan Jawa. Ia juga, katanya, meminta fatwa kepada mufti Makkah saat itu Syekh Muhammad ibn Allan terkait etika politik yang mesti diterapkan di Jawa.
Lebih lanjut, Ginanjar menjelaskan bahwa fatwa tersebut dijawab oleh al-Allan dengan menulis dua kitab, yakni Syarh Nasihatul Muluk karya Imam Ghazali dan Al-Mawahib Ar-Rabbaniyah fi Jawab al-Asilah al-Jawiyah. Dua kitab ini, jelasnya, hanya terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Tidak ada kopiannya di tempat lain.

"Santri wajib ziarah ke sana. Buka kitab ini. Karena ini penting. Ini terkait bagaimana saat itu melihat konsep politik kenegaraan kesultanan Islam Banten," kata Ketua Program Studi Sarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.

Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo itu juga menerangkan bahwa kerajaan di Sumatera juga memiliki kitab fiqih politik sendiri. Setidaknya, ada dua kitab, yakni Tajus Salathin yang ditulis oleh Bukhari dari Johor dan Bustanus Salathin yang ditulis oleh ulama asal India.

"Fikih siyasah Sumatera berbeda dengan Jawa," tegasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)