Nasional

Gus Dur Bapak Humanis (1)

Rab, 5 Desember 2012 | 11:16 WIB

Jakarta, NU Online
Banyak gelar yang disematkan kepada Ketua Umum PBNU 1984-199, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Mulai dari Guru Bangsa, Bapak Demokrasi hingga Bapak Pluralisme.
 <>
Menurut pemerhati pemikiran Gus Dur, Syaiful Arif, gelar yang paling tepat untuk cucu pendiri NU tersebut adalah Bapak Humanisme. Ia menjelaskan alasannya dengan membagi fase Gus Dur; yaitu Gus Dur muda dan Gus Dur tua.
 
“Gus Dur muda adalah teoritis, dan masa tua disebut “Gus Dur praktis” atau “Gus Dur Muda” dan “Gus Dur Tua”.
 
Gus Dur muda dari tahun 1970 sampai pertengahan 90. Gus Dur Muda pemikirannya layak menjadi diskursus intelektual karena tulisan-tulisannya tidak hanya dalam bentuk opini di koran, tapi di makalah-makalah panjang. Baik dalam jurnal seperti Prisma, Pesantren, di koran-koran, maupun makalah-makalah seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
 
“Nah, dengan tulisan-tulisan panjang itu kan kita bisa merumuskan pemikiran Gus Dur sebagai wacana intelektual dan materi-materi akademis.”
 
Sementara Gus Dur tua itu sejak menjadi presiden sampai lengser. Waktu itu tulisan Gus Dur hanya dipercikan di koran. Gus Dur yang sudah sepuh itu ya Gus Dur yang sudah  praktis.
 
Tulisan-tulisan di koran adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa aktual atau penggalian kembali memori pemikiran yang masih ada dalam endapan di pemikirannya.
 
“Selama ini banyak orang menempatkan Gus Dur hanya di dalam Gus Dur di era tua. Mereka tidak masuk di dalam pemikiran Gus Dur di era muda.”
 
“Pribumisasi Islam adalah basis struktur dari pemikiran Islam Gus Dur itu kemudian menopang struktur pemikiran Islam Gus Dur, yakni Islam sebagai etika sosial. Kenapa? Karena Islam sebagai etika sosial adalah pemikiran Islam Gus Dur yang menempatkan Islam sebagai etika masyarakat; akhlak sosial.”
 
Jadi, Gus Dur itu selalu memaknai akhlak sebagai etika sosial. Ia tidak pernah menafsiri di luar konteks itu, umpamanya akhlak adalah pribadi. Akhlak itu pasti dalam kurung etika sosial.
 
“Di Islam itu kan ada rukan Islam ada rukun iman. Rukun iman itu teologis, rukun Islam itu katakanlah amal ya dari iman.”
 
Kata Gus Dur, di dalam rukun Islam itu ada dimensi sosial ada zakat, ada haji ada shalat; ketika berjamaah. Artinya, amal-amal ritual itu sebenarnya bersifat sosial. Artinya memiliki keberpihakan terhadap pensejahteraan masyarakat.
 
Namun sayangnya, banyak sekali umat Islam yang hanya memahaminya dalam kerangka ritual individual. Akhirnya, rukun sosial itu tidak ada dampak sosialnya.


Redaktur: Mukafi Niam
Penulis   : Abadullah Alawi