Nasional

Ketika Syekh Nawawi Al-Bantani Memilih Tetap Tinggal di Mekkah

Sab, 10 Maret 2018 | 06:00 WIB

Jakarta, NU Online
Pusat Kajian Islam Nusantara menggelar seri tadarus ke sepuluh, Jumat (9/3) di Kampus UNUSIA Jakarta dengan tema Syekh Nawawi al-Bantani, Mahaguru Islam Nusantara.

Sebagai pemateri tadarus tokoh besar asal Tanara Banten ini adalah Ahmad Ginanjar Sya’ban, Ketua Pusat Kajian Islam Nusantara Pascasarjana UNUSIA Jakarta.

Menurut Ginanjar, Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama besar yang sangat populer di kalangan pesantren.

Melalui karya-karyanya yang melimpah ruah, dari tingkat kitab-kitab tipis dan ringan hingga kitab besar yang isinya cukup rumit para santri secara langsung mengaji karya-karya beliau.

"Sebagai ulama yang sangat produktif dalam bidang tulis menulis, Syekh Nawawi telah menghasilkan banyak karya di berbagai disiplin keilmuan yang sudah diterbitkan dan bisa dinikmati publik secara luas," ujar Ginanjar.

Meski demikian, lanjutnya, masih ditemukan sejumlah karyanya yang belum diterbitkan dan berbentuk manuskrip.

Di antaranya adalah tulisan beliau tentang sanad keilmuan beliau yang diberikan kepada Syekh Ad-Dihlawi di mana manuskrip ini juga didapati stempel asli Syekh Nawawi sendiri.

"Karya beliau yang lain adalah fath al-ghafir al-khaththiyyah syarah nadzam al-Jurumiyyah, fi syarh al-ajurumiyyah yang manuskripnya ada di Riyadh, Saudi," ungkapnya.

Beberapa peserta tadarus terlihat antusias mengajukan sejumlah pertanyaan terkait tema ini. Di antaranya pertanyaan mengenai alasan Syekh Nawawi lebih memilih mukim di Mekkah dan kontribusi Syekh Nawawi terhadap gerakan perlawanan masyarakat Nusantara dalam mengusir penjajah?

Menurut Ginandjar, Syaikh Nawawi merupakan satu generasi dengan murid-muridnya Pangeran Diponegoro. Setiap ulama yang pulang dari Haromain ke tanah air pasti diawasi. 

Karena Belanda trauma atas perlawanan-perlawanan para kiai di Nusantara seperti Perang Jawa, Perang Menteng Palembang. Ia lebih memilih tinggal di sana ketimbang kembali ke Nusantara.

"Meski demikian, bukan berarti beliau tidak memiliki semangat nasionalisme," kata Ginanjar.

Justru menurut tuturan Snouck Hurgronje, kutipnya, Syekh Nawawi memiliki dan memainkan peranan yang cukup besar dalam menjadi inspirasi perlawanan masyarakat Nusantara mengusir penjajah.

"Beliau juga tidak menerima keberadaan Barat (Belanda) di Indonesia," jelasnya.

Peserta lain, Ayatullah, mengajukan pertanyaan bagaimana mencetak para ulama seperti Syekh Nawawi? Apa resepnya? Misalnya bagaimana proses pendakian keilmuan dan spiritual Syekh Nawawi?

Menurut Ginandjar, jika melihat testimoni dari Ahmad Siba’i misalnya, ia menyebutkan bahwa Syekh Nawawi menjalankan laku tirakat yang tidak seperti kebanyakan orang.

"Laku spiritual dan pengembaraan keilmuan beliau sangat luar biasa," tutur Ginanjar. (Idris/Fathoni)