Jakarta, NU Online
Saya merasa cukup beruntung terlibat dalam diskusi menarik di penghujung pekan lalu, yang menghadirkan Prof Ariel Heryanto sebagai nara sumber dan Pemred The Jakarta Post, Nezar Patria sebagai pemantik diskusi. Sebuah perpaduan sempurna untuk berbincang mengenai topik “Media dalam Dinamika Politik Identitas” yang digagas oleh Jaring dan Kedutaan Australia di kedai kopi GoWork, Pacific Place, kawasan SCBD, Jakarta, Jumat (20/7) pekan lalu.
Diskusi ini memaparkan sejumlah hal menarik yang sedang aktual, misalnya akar persoalan berita hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial, atau konsolidasi politik atas nama ‘kesamaan identitas’ yang ramai dikenal dengan istilah politik identitas.
Ariel Heryanto memaparkan bahwa akar persoalan politik identitas ini adalah ketimpangan sosial. “Selama ada ketimpangan, baik itu sosial maupun ekonomi, akan selalu ada orang yang tidak suka. Kalau ini terjadi, maklum saja kalau muncul ujaran kebencian,” ujar penulis buku Identitas dan Kenikmatan, Politik Budaya Layar Indonesia (KPG, 2015) itu.
Sebenarnya, kata Ariel, ketimpangan, kebencian dan ujaran kebencian adalah masalah yang abadi sepanjang sejarah manusia dan bukanlah barang baru. Bedanya, kali ini tidak ada mekanisme yang menyalurkan ‘ketidakpuasan’ atas ketimpangan sosial itu. “Kalau tidak ada mekanisme penyaluran, maka akan menggunakan apapun untuk mencapai hasratnya. Selama tidak ada proses yang ada terlembaga mereka akan menggunakan yang ada, termasuk memproduksi hoaks,” tambahnya.
Dalam kondisi demikian, terdapat faktor lain yang memperburuk keadaan yakni hasrat pada kemurnian. Hasrat ini menyebabkan keengganan pada ‘yang tidak atau kurang asli’. Kelompok yang dianggap tidak semurni dirinya lantas menjadi sasaran amarah dan ujaran kebencian atas ketidakpuasannya atas ketimpangan sosial yang dia hadapi. “Pada tahun 65 ada kebencian pada yang dianggap tidak nasionalis. Setelah 98 ada kebencian pada kelompok yang diangap tidak islami. Bentuk kebencian macam-macam sesuai dengan zaman, tapi dasarnya adalah ketimpangan,” tegas Ariel.
Hasrat pada keaslian ini tak melulu pada perkara ras semata, namun juga yang lain misalnya lebih Islami atau lebih Indonesia. Hasrat pada yang asli ini lantas menyebabkan orang memandang buruk pada percampuran atau apapun mempengaruhi yang asli. Sehingga orang Indonesia yang keturunan Tionghoa atau blesteran Indonesia dan orang kulit putih yang dianggap kurang Indonesia ‘asli’.
Hasrat mencari keaslian atau purifikasi semacam ini mengingatkan saya pada upaya pemurnian dalam Islam sekitar tahun 1920an. Gerakan pemurnian yang didorong oleh Wahabi dari Arab Saudi ini menyebabkan perpecahan di dalam tubuh Islam. Tak lama, gerakan ini mendapat perlawanan dari Nahdlatul Ulama di Indonesia, dengan mengirimkan delegasi Komite Hejaz pada tahun 1928 ke Arab Saudi untuk memperjuangkan kebebasan beragama (Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan). Poinnya saya kira sama, di mana ada upaya pemurnian, di situ ada upaya menegasikan mereka yang dianggap tak murni seperti penjelasan Ariel.
Penjelasan Ariel mengenai ketimpangan sosial dan hasrat atas kesucian ini memperjelas bahwa ujaran kebencian bukanlah masalah utama yang harus kita perangi. Ujaran kebencian tak akan berbahaya selama perkara kesejangan sosial terselesaikan, sebagaimana yang terjadi di Australia. “Di Australia juga ada hoaks, tapi biasa aja, hanya dianggap sampah aja, yang harus dibuang ke tempatnya,” pungkasnya. (Ahmad Rozali/Zunus)