Nasional

Kisah Kiai Hasyim 20 Tahun Mendampingi Gus Dur

Kam, 15 Desember 2016 | 11:27 WIB

Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, Jawa Barat KH Hasyim Muzadi memberikan pernyataan terkait riwayatnya dalam meneladani sikap dan pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal itu ia kemukakan ketika menghadiri sebuah acara di Monash University Australia, 11 Desember 2016 lalu.

“Pertama kali saya ketemu Gus Dur tahun 1979 di Muktamar NU Semarang (Muktamar NU ke-26) dan ketika itu Gus Dur belum masuk di kepengurusan NU sedangkan saya sudah mewakili utusan NU Cabang Malang,” ujar Kiai Hasyim mengawali ceritanya.

Di dalam Muktamar ke-26 NU itu, lanjutnya, Gus Dur diangkat menjadi Wakil Katib PBNU. Setelah pertemuan di Semarang sangat sering Gus Dur ke Jawa Timur. Karena memang Jawa Timur adalah pusat potensi NU. 

Sering juga menginap di Malang karena Gus Dur mengajar Islamologi di Yayasan Kristen GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang berlokasi di Sukun Kota Malang. 

“Saya mendampingi dan mengikuti Gus Dur selama 20 tahun penuh mulai tahun 1979-1999. Di tahun 1999 itu, Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia,” jelas Kiai Hasyim.

Setelah menjadi Presiden RI, tambahnya, Gus Dur fokus memimpin PKB dan dirinya menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar Lirboyo (Muktamar ke-30 NU). 

“Dalam waktu 20 tahun, saya mengikuti betul jalan pikiran Gus Dur baik masalah ke-NU-an, keislaman Indonesia, keislaman global, dan situasi politik Internasional,” ungkapnya.

Menurut pandangan Kiai hasyim, di dalam membawakan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia, Gus Dur lebih mengetengahkan pendekatan filosofi religius, etika religi, kemanusiaan (humanity), dan budaya. 

Menurutnya, tak banyak Gus Dur menggunakan ilmu fiqih sebagai bagian dari syariat, karena yang diketengahkan bukan legal syariatnya tetapi hikmatut tasyri’-nya dan maqoshidut tasyri’-nya. 

Dalam pendekatan etika religi, imbuh Kiai Hasyim, Gus Dur sangat egaliter menempatkan manusia dalam posisi yang setara, terlepas dari agama yang dipeluknya. Sehingga hubungan etis ini menjadi sangat cair antara Gus Dur yang muslim dan non-muslim bahkan yang atheis sekalipun. 

“Dalam hal pendekatan kemanusiaan, Gus Dur sangat mementingkan martabat dan kebutuhan asasi dari manusia itu sendiri, sebagai bentuk dari kasih sayang Allah kepada seluruh makhluknya. Dalam hal ini kemanusiaan diletakkan pada rahmaniah Allah sedangkan rahimiah Allah dikhususkan untuk kaum muslim,” urai Kiai Hasyim. (Red: Fathoni)