Nasional

Konflik Minoritas Muslim di Asia Tenggara Warisan Penjajahan

Sel, 5 Juni 2018 | 22:30 WIB

Konflik Minoritas Muslim di Asia Tenggara Warisan Penjajahan

Diskusi Buku Islam Minorities and Identity in Shoutest Asia, Selasa (5/6)..

Jakarta, NU Online
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumer Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) menggelar Diskusi Buku Islam Minorities and Identity in Shoutest Asia. Buku tersebut merupkan karya Ahmad Suaedy, mengupas kesenjangan dan konflik yang dihadapi Muslim minoritas di beberapa negara seperti Myanmar, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura dan Indonesia.

Dalam buku yang merupakan hasil riset Suaedy beberapa tahun ini, menghasilkan temuan bahwa dari semua konflik dan kesenjangan adalah warisan penjajah. Suedy menyebut misalnya Rohingya ada jauh sebelum penjajahan. Rohingya adalah sebuah daerah otonom yang sekarang masuk kesultanan Islam yang disebut Bangladesh. 

“Rohingya adalah sebuah kekuasaan, bukan sekadar kebudayaan, tradisi bukan hanya itu,” kata Suedy di lokasi acara, Unuversitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Selasa (5/6) sore.

Contoh lainnya adalah Patani yang sebelum masa penjajahan disebut Grand Patani. “Di sana pusat perdagangan dan pusat kekuasaan. Ini jejak orang Islam secara historis. Tapi mereka berada di bawah bayang-bayang secara paksa oleh penjajahan Thailand,” lanjutnya.

Temuan lainnya adalah adanya upaya modernisasi ortodoks dan penyeraragaman, di mana semua Muslim di satu negara misalnya dituntut untuk menjadi sama seperti penganut lainnya dan hal itu diperkuat dengan adanya doktrin territoria integrity. Contoh dari hal ini adalah masyarakat di satu negara karena adanya batas wilayah, maka juga menjadi batas budaya. “Padahal tradisi, budaya, bahasa mereka sama,” lanjut Suaedy.

Konflik Sulu versus Sabah dan Sarawak juga menjadi fakta adanya kondisi tersebut. 

Selain itu dari sisi Muslim sendiri salah satu yang menimbulkan konflik adalah adanya kebekuan Islam versus penjajahan. Muslim misalnya menerapkan kembali kepada Al-Qur’an dan hadits dengan landasan menerapkan Islam secara khaffah, padahal banyak di negara tersebut banyak penganut agama lain.

Hal itu juga diperkuat oleh post power sindrom yang dialami penguasa Islam dan ketidakmampuan inovasi. Problem ini biasanya dihadapi Islam pribumi, bukan Islam trans nasional.

Sementara temuan di Bali, Singapura dan Penang konflik terjadi karena adanya persaingan dan profesionalitas. Di Bali sempat dua kali terjadi pengeboman. Bali sebagai tempat yang Muslimnya minoritas, tapi menjadi jalur internasional, sama dengan Singapura dan Penang.

Atas konflik-konflik tersebut, menurut Suedy dapat mengadopsi apa yang dilakukan oleh Gus Dur dan pemahaman Islam Nusantara. Langkah-langkah yang yang dilakukan misalnya recognition. Gus Dur menerapkan itu untuk konflik Aceh dan Papua. Baik di Aceh maupun Papua, di mana sebagaian masyarakatnya menginginkan kemerdekaan dan lepas dari Indonesia, oleh Gus Dur dirangkul sehingga tetap berada dalam pangkuan Indonesia.

Langkah berikutnya adalah respek atau penghormatan dengan adanya kebebasan dan jaminan rasa aman bagi semua minoritas. Transformasi kelembagaan negara untuk akomodasi kelompok marjinal juga perlu dilakukan. (Kendi Setiawan)