Nasional

PSP Perkuat Jurnalisme Kebudayaan dalam Halaqah Kiai dan Nyai

Jum, 29 Juni 2018 | 17:31 WIB

PSP Perkuat Jurnalisme Kebudayaan dalam Halaqah Kiai dan Nyai

Bersama Redpel Harian Kompas, Muhammad Bakir

Bogor, NU Online
Kelas jurnalistik merupakan salah satu agenda penting dalam kegiatan Halaqah Kiai dan Nyai 2018 yang digelar Pusat Studi Pesantren (PSP), Kamis-Sabtu (28-30/6) di Bogor, Jawa Barat. Secara khusus, kelas pertemuan para penulis muda di kalangan pesantren tersebut mengambil topik jurnalisme kebudayaan.

Founder PSP Achmad Ubaidillah mengatakan, kelas jusrnalistik yang diikuti oleh para penulis muda dari basis pesantren ini merupakan salah satu upaya PSP untuk merawat tradisi-tradisi pesantren melalui jurnalisme kebudayaan.

“Harapannya teman-teman mulai masuk lebih serius dalam kerja-kerja kebudayaan untuk mewarnai tradisi pesantren dan NU itu sendiri,” ujar Ubaidillah, Jumat (29/6) di Bogor.

Aspek kebudayaan, menurutnya, merupakan bagian penting yang tidak boleh ditinggalkan dalam kerja-kerja jurnalistik. Sebab tradisi maupun budaya adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial-masyarakat.

Selain itu, dalam halaqah yang melibatkan kiai, nyai, dan pengelola pesantren dari 30 pesantren ini juga membuka kelas video. Basisnya merupakan kampanye Islam damai dan Islam rahmatan lil ‘alamin di dunia maya, terutama di media sosial.

“Para stakeholders pesantren ini harapannya bisa terlibat langsung memproduksi narasi-narasi tentang Islam damai maupun keindonesiaan untuk menangkal radikalisme dan terorisme,” jelas Gus Ubed, sapaan akrabnya.


Bersama Budayawan Bisri Effendy

Untuk kelas jurnalistik kebudayaan, kegiatan halaqah bertema Pesantren dan Sosial Media: Jihad Melawan Radikalisme dan Terorisme ini mengundang Budayawan Bisri Effendy dan Redaktur Pelaksana Harian Kompas Muhammad Bakir.

Menurut Bisri Effendy, menulis kebudayaan bukan sekadar menulis ‘apa’ atau ‘siapa’, tetapi menulis ‘tentang apa’. Menulis ‘tentang apa’ ini memungkinkan persoalan yang melingkupi seseorang yang menjadi subjek penulisan bisa teridentifikasi secara luas.

Penulis buku Kebudayaan Orde Baru ini mendorong kepada penulis-penulis muda agar berani menyajikan tulisan-tulisan yang berbeda dengan konten-konten yang sudah ada selama ini.

“Kalau menulis tentang hal yang biasa atau penulis tidak berani menulis tentang sesuatu yang berbeda, ya tidak akan ada perubahan,” ujar Bisri Effendy.

Sementara itu, Muhammad Bakir menekankan penulisan yang komprehensif dalam setiap karya jurnalistik. Hal ini memungkinkan kerja-kerja kebudayaan akan dapat mengedukasi masyarakat dan mampu bertahan lama sebagai sebuah konten.

“Mungkin di saat-saat tertentu informasi hoaks laku, tetapi itu sementara. Namun informasi-informasi lengkap dan komprehensif yang akan bertahan lama,” ucapnya.

Ia menandaskan, dunia penulisan tidak lepas dari realitas sekaligus dampak ketika tulisan tersebut dibaca oleh masyarakat secara luas. Sehingga sebelum melakukan peliputan dan menulis, fakta apa dan seperti apa yang harus disajikan. (Fathoni)