Nasional

Tips bagi Orang Tua yang Memondokkan Anak

Sel, 17 Juli 2018 | 15:30 WIB

Tips bagi Orang Tua yang Memondokkan Anak

Santri baru mengikuti masa taaruf

Jakarta, NU Online
Awal pekan ini, proses belajar mengajar termasuk di pondok pesantren, dimulai. Banyak orang tua menitipkan anak mereka nyantri di pesantren. Tetapi, di antara mereka mungkin saja ada yang merasa khwatir karena melepas anak mereka dari rumah.

Mengatasi hal di atas, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Baitul Qur'an Pringsewu, Lampung, KH Abdul Hamid, mengatakan pembekalan mental untuk para wali santri dapat dipahami dari istilah Pondok. Ia mengatakan kata ‘Pondok’ terdiri dari unsur P, Ondo, dan (jangan) Khawatir.

“Huruf P yang pertama adalah Pasrah. Orang tua harus memasrahkan sepenuhnya ke pondok pesantren. Yakinkan pada diri Anda bahwa di pesantren putra-putri Bapak Ibu dididik bukan dibuang, diedukasi bukan dipenjara,” urai Kiai Hamid ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/7).

Wakil Jam’iyatul Qubro wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) Kabupaten Pringsewu ini, menjelaskan pasrah yang dimaksud adalah pasrah dengan cara atau metode yang diberikan oleh pondok pesantren untuk mendidik putra putri mereka, karena pesantren adalah medan pendidikan dan perjuangan.

“Yakinlah keadaan anak Bapak Ibu jauh lebih baik dibanding keadaan saat Nabi Ibrahim alaihissalam meninggalkan putranya di gurun yang tandus; tidak ada pohon sekalipun, apalagi MCK, tempat tidur dan obat-obatan dan koperasi pondok. Sebagaimana di kisahkan dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 37 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman,’” lanjutnya.

Kata berikutnya adalah Ondo. Kata ini diambil dari Bahasa Jawa yang artinya tangga. Orang tua harus yakin bahwa anak-anak mereka dipondokkan agar mejadi anak yang shalih shalihah, sukses dunia dan akhiratnya. “Tentu semua itu harus melalui proses seperti menaiki anak tangga, dari anak tangga yang pertama ke anak tangga kedua, ketiga, dan seterusnya,” ujar dosen dan Wakil Kepalla III STIT Pringsewu.

Khawatir, kata yang diambil dari huruf terakhir dari kata Pondok, memberikan makna jangan khawatir dengan memondokkan anak-anak kita. “Kita harus ikhlaskan putra-putri kita menjalani proses pendidikan itu, dilatih, ditempa, diurus, ditugaskan, disuruh hafalan, dibatasi waktu tidurnya, dan sebagainya,” tambahnya.

Selain itu, pondok bukan funduk (hotel), pesantren tidak menyediakan pesanan. Lagi pula, guru dan ustadz belum tentu dibayar dari uang kita. Akan tetapi, jangan khawatir pula dengan makan minumnya anak-anak di pesantren. “Pondok pesantren menyediakan makan tiga kali dalam sehari. Obat-obatan ringan juga disediakan untuk mengatasi sakit-sakit ringan tentunya,” katanya.

Orang tua harus percaya bahwa anak-anak mereka betul-betul dibina. Semua yang para santri dapatkan di pondok adalah bentuk pembinaan. Sehingga, jika melihat anak-anak atau santri diperlakukan bagaimanapun, harus diyakini bahwa itu adalah bentuk pembinaan. 

Orang tua jangan salah paham, jangan salah sikap, jangan salah persepsi. Jangan sampai, ketika orang tua berkunjung menjenguk anak, kebetulan melihat putra-putrinya sedang mengangkut sampah, kemudian wali santri mengatakan ‘Nggak bener nih pondok, anak saya ke sini untuk belajar, bukan jadi pembantu’ dan ungkapan serupa lainnya.

Sebagai tambahan, lanjut Kiai Hamid, selaku orang tua jangan hanya memasrahkan anaknya kepada kiai dan pondok pesantren 100 pesantren, akan tetapi minimal lima persennya untuk mendoakan anak. “Minimal sehabis shalat fardu anaknya dibacakan Al-Fatihah agar diberi kemudahan dalam menuntut ilmu di pesantren,” tegasnya.

Kiai Hamid menyebut bagi santri baru khusunya di Pesantren Baitul Qur’an yang diasuhnya, para santri rata-rata lulusan SMA karena akan meneruskan pendidikan S1 secara gratis. Penyesuaian diri dilakukan dengan kegiatan taaruf santri dengan santri lama, pengasuh, pengurus pesantren dan para pengajar.

“Dalam taaruf itu dijelaskan dan dipaparkan secara gamblang apa-apa yang menjadi program dan budaya yang berlaku di lingkungan Pesantren Baitul Qur’an. Sehingga hal itu dapat memberikan kemudahan bagi para santri untuk cepat beradaptasi,” kata dia. 

Hal senada diungkapkan Katib Syuriah PCNU Jember yang juga Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli, Jember, KH MN Harisudin. Ia  mengatakan orang tua harus menyiapkan mental dan perasaan bahwa anak mereka dititipkan di pesantren adalah untuk dilatih menjadi orang sukses. 

“Santri baru memang harus melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang berbeda dengan rumah. Terutama kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan,” katanya.

Untuk mempercepat proses penyesuaian diri, para santri baru mereka mengikuti kegiatan awal dalam bentuk Masa Orientasi Santri. “Di situ diajarkan, adaptasi lingkungan, kurikulum pesantren, peraturan pesantren. Juga manajemen waktu santri,” ujar pengajar Pascasarjana UIN Jember, Jawa Timur ini. (Kendi Setiawan)