Nasional

Titik Temu Pemikiran Gus Dur, Cak Nur dan Syafi'i Ma'arif

Rab, 12 April 2017 | 14:00 WIB

Jakarta, NU Online
Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, pemikiran-pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Syafi’i Ma’arif (Buya Syafii) masih sangat relevan dengan kondisi Islam saat ini. Menurutnya, pemikiran ketiga tokoh itu tidak jauh berbeda meski mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

“Kalau kita melihat pemikiran beliau-beliau itu tidak terlalu jauh berbeda meski latar belakangnya beda antara NU dan Muhammadiyah,” katanya saat menjadi narasumber dalam acara diskusi publik dengan tema Merawat Pemikiran Guru-guru Bangsa yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina dan Nurcholish Madjid Society di Jakarta, Rabu (12/4).

Yenny menjelaskan ketiga guru bangsa tersebut memiliki persamaan atau titik temu terutama dalam hal mensintesiskan pemikiran Islam. Menurut dia, pemikiran-pemikiran Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii adalah sintesisasi antara ilmu-ilmu keislaman seperti fikih, usul fikih, qowaidul fikih dan lainnya dengan filsafat Barat.  

“Ada kultur Jawa yang mempengaruhi. Seperti konsep agama itu sebagai agemi aji atau pakaiannya jiwa. Agama tidak hanya dipahami secara kognitf saja, tetapi betul-betul dirasakan yang mendalam dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” ucap putri kedua Gus Dur itu. 

Maka dari itu, pemikiran-pemikiran ketiga guru bangsa itu lebih mengedepankan Islam secara substansial dari pada Islam formal. Baginya, ketiga tokoh itu juga memiliki pemikiran-pemikiran yang luar biasa dalam hal keindonesiaan. 

Sementara itu, narasumber lainnya Abdul Mu’thi menjelaskan, ketiga tokoh itu memiliki akar pemahaman Islam yang kuat. Menurutnya, pemikiran-pemikiran Gus Dur menggambarkan pemikiran dari Hadlratussyekh Hasyim Asy'ari karena memang dia cucu dan juga tumbuh di lingkungan NU. 

Sedangkan pemikiran Cak Nur dan Buya Syafii adalah perpaduan antara pemikiran Timur dan Barat karena mereka pernah belajar di pesantren dan juga belajar di Negara Barat.

Mu’thi mengatakan, ketiga tokoh itu itu juga memiliki kesamaan dalam hal kesederhanaan hidup. “Kesederhanaan dalam hidup. Ini juga yang dimiliki tiga tokoh ini,” jelas Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah itu.

Sedangkan, Mohamad Sobary yang juga menjadi narasumber menuturkan, gelar guru bangsa itu bukan untuk orang yang memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi tetapi untuk mereka yang memiliki kecerdasan yang luas dan mampu mengamalkan ilmunya tersebut. 

“Guru bangsa itu adalah guru laku. Guru akhlak yang paling mulia,” urainya. 

Turut hadir dalam acara diskusi tersebut istri Cak Nur Ommy Komariyah dan beberapa Dosen Universitas Paramadina. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)