Opini SURAT TERBUKA UNTUK PBNU

IPNU-IPPNU Gantikan PMII?

Sel, 30 Juni 2009 | 05:39 WIB

Oleh Munandar Nugraha Saputra

Setiap kelompok yang menginstitusikan diri, selalu dan pasti, memiliki visi dan misi yang baik; minimal baik bagi komunitasnya, dan maksimalnya dapat memberikan sumbangsih kebaikan tersebut kepada khalayak publik, bangsa dan negara.

Dalam konteks keorganisasian, khususnya organisasi kepemudaan, juga memiliki tampilan yang serupa. Ketika didirikan, ia memiliki visi dan misi yang ideal, bahkan dilandasi dengan ideologi yang disepakati dan menjadi kesepakatan bersama. Selanjutnya dalam perjalanannya pasti akan ada pasang surut. Ini sangatlah wajar dan manusiawi.<>

Organisasi seperti PMII misalnya, selain wadah untuk menampung mahasiswa nahdliyin, melakukan proses kaderisasi yang berfungsi membangun dan mengembangkan potensi kader, agar dapat berguna bagi bangsa dan Negara (pandangan hidup), juga memiliki fanatisme organisasi (ideologi); bahwa PMII lebih baik dari HMI, IMM, dan lainnya. Bahkan mungkin juga lebih baik dari IPNU/IPPNU, yang dalam sejarahnya dilahirkan dari rahim yang sama. Ya, jika perasaan ini yang dikedepankan, pasti! Kita tidak akan dapat bersinergi, dan tentunya ini sangat merugikan kita.

Garis sejarah, memang tidak dapat diubah dan dipungkiri. Maka saya pikir kita juga perlu melihat kontekstualisasi permasalahan terkait kritik yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) dan Khofifah (Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU) dalam Kongres IPNU/IPPNU.

Dikatakan bahwa kader PMII tidak konsisten memperjuangkan nilai Aswaja. ”PMII tidak optimal melakukan proses kaderisasi NU di tingkat kampus, dan Banyak kader PMII yang sudah mulai meninggalkan tradisi nahdliyin. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?” (NU Online, Senin 22/6).

Saya pikir yang mesti dipahami bersama adalah, bahwa PMII adalah organisasi yang independen dari NU, dan hal ini harusnya menjadi pemahaman bersama, baik dalam konteks wacana maupun gerak, benar bahwa secara kultural PMII masih memiliki keterkaitan emosional seperti yang saya sebut di atas. Lalu dalam perkembangannya, dengan mengaktualisasikan wacana dan gagasan pluralisme, PMII berkembang menjadi organisasi yang inklusif. Artinya, jika para pengurus NU memahami hal ini dalam perspektif struktural organisasi dan perkembangan PMII, tidak selayaknya kritik itu disampaikan dalam Kongres IPNU/IPPNU.

Sekalipun dalam perspektif lain, kita dapat pahami bahwa NU masih membutuhkan PMII sebagai basis kaderisasi di perguruan tinggi. Karena kita memang butuh kritik untuk berbenah. Bahasa yang sering disampaikan kepada para kader adalah “mengkritik bukan berarti tidak mendukung, dan mendukung juga bukan berarti tidak mengkritik.” Jadi sebagai kader PMII, saya mengucapkan terimakasih, karena jika kita tanggapi dengan bijak ini juga dapat bermanfaat.

Kita memang mengalami kesulitan dalam proses rekruitmen dan kaderisasi, khususnya di kampus-kampus umum. Tetapi ini bukan hanya dialami oleh PMII, hal yang sama juga dialami oleh OKP-OKP yang lain. Pertanyaannya, apakah hal itu tidak dialami oleh IPNU/IPPNU? Basis garapan PMII adalah kampus-kampus, lalu dimana basis real garapan IPNU/IPPNU? Ini penting untuk kita rumuskan dan sepakati bersama, karena memang hanya di Indonesia yang memiliki perbedaan status antara pelajar (siswa SD-SMU/sederajat) dan mahasiswa (siswa di perguruan tinggi), keduanya masih pelajar, yang di dunia lain di sebut student. Saya melihat dan memahami, pernyataan dan kritik terhadap PMII, yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi dan Khofifah tersebut sangat emosional dan cenderung menyudutkan, tidak konstuktif.

Pernyataan Khofifah, "kader PMII yang tidak konsisten memperjuangkan nilai Aswaja. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?”. Saya pikir ini adalah pernyataan yang sangat tidak aswaja. Ya, penting bagi kita untuk memahami setiap permasalahan sesuai konteks (nilai-nilai Aswaja). Saya berproses di PMII melalui Komisariat Universitas Nasional, kampus umum. Ketertarikan saya terhadap PMII lebih pada wilayah kajian-kajian sosial dan gerakan advokasi, bahkan ada beberapa kader yang saya rekrut yang memiliki dasar kultur keluarga Muhammadiyah, dan ini terjadi hampir disetiap kampus umum, bahkan ada beberapa kader UNAS yang beragama Kristen Protestan. Jangankan tahlil, subuh saja tidak menggunakan qunut, bahkan ada yang tidak sholat. Apakah kader yang ingin berproses ini harus dipecat dari PMII?

Wacana ke-Islaman yang rahmatan lil alamin dan ke-Indonesiaan yang selama ini kita dengungkan dan terekspresi dalam derap langkah perjuangan nahdliyin, apakah akan kita jadikan sebagai teks dan wacana belaka? Artinya kita akan mengalami proses kemunduran dalam derap langkah perjuangan kita.

Semestinya kita dapat berjuang dengan mengunakan segala potensi yang kita miliki sebagai kekuatan yang saling melengkapi, perbedaan karakter dan pola gerak, justru seharusnya memperkaya kita dalam khasanah strategi, karena memang sudah sunatullah bahwa kita diciptakan berbeda-beda. Jika memang PBNU merasa penting untuk membuat organisasi kemahasiswaan yang khusus untuk menjaga tradisi NU, dan berada di bawah kontrolnya, saya pikir sah-sah saja (mendorong IPNU/IPPNU untuk menggantikan PMII, atau lebih tepatnya mendorong IPNU/IPPNU menjadi basis kaderisasi NU di Perguruan Tinggi).

Tetapi jangan pernah berpikir untuk menarik PMII berada dibawah garis struktural PBNU seperti pada awal terbentuknya (karena inilah perkembangan zaman yang harus dilihat dari perspektif hari ini). Apalagi berpikir untuk mempolitisasi PMII sesuai dengan kebijakan politik PBNU, jangan, jangan lakukan itu! Biarkan PMII menjadi dirinya sendiri, sebagai bagian dari warga NU yang berposisi dengan posisinya.

Kita memiliki “PR” besar bagi bangsa ini, yang lebih penting untuk kita tuntaskan. Saya ingin sedikit berceloteh, jika memang NU merupakan organisasi terbesar dengan umat terbanyak, dengan segala potensi yang dimilikinya, mungkinkah dapat mensejahterakan sebagian besar umat nahdliyin yang masih berada dibawah garis kemiskinan? Tidak mungkin, tanpa bersinergi dengan kekuatan dan potensi-potensi lain di luar NU.

Semoga kita dapat bersinergi untuk menuntaskan segala permasalahan bangsa ini, dengan mengedepankan segala potensi yang kita miliki, karena untuk menuntaskan permasalahan bangsa ini kita membutuhkan berbagai potensi untuk bersinergi. Jangan sampai harapan untuk berbuat sesuatu justru menghilangkan sesuatu yang ada.

* Penulis adalah Ketua PMII Cabang Jakarta Selatan