Opini

Keistimewaan Puasa Ramadhan

Sel, 21 Juni 2016 | 03:00 WIB

Oleh KH A Mustofa Bisri

Semestinya, kalau melihat sambutan dan pernyataan-pernyataan kaum muslimin menjelang Ramadhan, tentu bulan suci itu adalah bulan yang istimewa. Tapi di manakah letak istimewanya? Apakah hanya pada perubahan jadwal makan, ramainya tarawih keliling, dan lomba ceramah agama, termasuk dagelan-dagelan di televisi? Bukankah selain itu semuanya seperti berjalan sebagaimana biasa?

Simaklah media massa, media cetak, atau elektronik; bacalah berita-berita. Bukankah isinya tidak banyak berbeda dengan hari-hari sebelum Ramadhan? Anda masih dapat menikmati gosip selebritas, sinetron percintaan, dan film kekerasan. Anda masih bisa membaca berita, mulai copet yang dikeroyok di pasar hingga korupsi dengan manuver-manuver politikus. Anda masih bisa menyaksikan demo-demo dan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Anda masih melihat tokoh-tokoh memamerkan keahliannya mengulas dan memutarbalikkan fakta.

Apakah hanya pedagang-pedagang warung yang harus “menghormati” Ramadhan dan mereka yang merusak tatanan justru bisa terus melenggang “melecehkan” kesucian Ramadhan? Atau apakah sebenarnya maksud kita dengan penghormatan terhadap Ramadhan itu?

Bukankah lebih mirip dan cukup jika penghormatan kita terhadap bulan suci itu berupa berpuasa dan beribadah? Mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci? Konon puasa berasal dari bahasa Sanskerta: upavasa. “Upa” berarti dekat dan “vasa/wasa” berarti yang maha agung. Upavasa berarti mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya adalah yang paling disukai-Nya. Semua perintah Allah adalah untuk kepentingan hamba-Nya. Untuk kesempurnaannya sebagai hamba sehingga pantas dekat dengan-Nya.

Para wali, kekasih Allah, memulai pendekatannya kepada Allah dengan cara itu. Dengan menunjukkan kehambaan mereka yang tulus dan tuntas kepada Tuan mereka. Allah Yang Maha Agung. Melaksanakan segala perintah Tuan adalah prioritas utama hamba sejati. Jadi mereka memulai dari niat dan membersihkan hati.

Puasa adalah salah satu perintah Allah yang istimewa. Kebanyakan perintah-perintah Allah sangat rentan terhadap godaan pamer. Shalat, misalnya, yang seharusnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain dan dilaksanakan semata-mata untuk Allah, sering kali pelaksanaannya tak dapat mengelak dari godaan pamer. Puasa, karena sifatnya, lebih jauh dari godaan itu. Kecuali, mereka yang memang maniak pamer, hampir sulit dibayangkan orang yang berpuasa pamer kepada orang lain: menunjukkan puasanya.

Orang yang berpuasa seharusnya adalah orang yang berkeyakinan kuat bahwa puasanya dapat membuat Tuhannya ridha, atau minimal yakin ada pahala untuk puasanya. Kalau tidak, alangkah ruginya berpuasa hanya untuk menahan lapar dan haus.

Semua amal ibadah diganjar minimal 10 kali lipat dan bisa sampai 700 kali lipat dan seterusnya, kecuali puasa. Puasa merupakan ibadah yang hanya Allah sendiri yang tahu seberapa besar Ia akan mengganjarnya. “Kullu ‘amali Ibni Adam lahu illash shiyaam,” kata Allah dalam hadis Qudsi, “fainnahu lii wa anaa ajzii bihi.” (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah r.a). “Semua amal manusia miliknya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku; Aku sendiri yang akan membalasnya.”

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, Edisi 26 Agustus 2011 dan dimuat ulang Tempo.co pada 08 Juni 2016