Opini M. CHOLIL NAFIS

Kemiripan Tradisi Islam Indonesia dan Maroko

Kam, 7 November 2013 | 06:31 WIB

Maroko (Maghrib), termasuk para ulamanya tidak asing bagi telinga masyarakat Indonesia, khususnya bagi kalangan pesantren.  Sebut saja diantaranya adalah Ash-Shanhaji, seorang ulama kelahiran fez Maroko. Ia pengarang Al Ajrumiyah, kitab ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) bagi pemula yang diajarkan di pesantren-pesantrean.<>

Ada buku wirid Dalailul Khairat yang sering menjadi amalan di pesantren-pesantren adalah karangan syaikh Ibnu Sulaiman al-Jazuli, seorang ulama kelahiran Marakesy, Maroko. Ibnu Rusy seorang filsuf yang fakih dan Ibnu Khadun seorang sejarawan yang sosiolog sangat dikenal dan buku-bukunya dipelajari di pesantren adalah alumni halaqah Masjid dan Universitas Al-Qurawiyin di Fez, Maroko.

Sayyid Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan Syaikh al-Maghribi, salah satu dari Wali Songo adalah berasal dari Maghrib. Tahariqah Al Syadziliyah al-Jazuliyah yang didirikan oleh Ibn Sulaima al Jazuli sebuah Thariqah pembaharu terhadap Thariqah al-Syadziliyah, dan cabangnya Thariqah Al Tijaniyah yang bersambung langsung kepada al-Junaid  didirikan oleh Ahmad al-Tijani adalah termasuk Thariqah Mu’tabarah yang banyak diikuti di Indonesia berasal dari Maroko.

Ibnu Bathuthah, sang petualang yang pernah singgah di Aceh sangat dikenal di Indonesia. Ini bukti transmisi ke-Islam-an Maroko dengan ke-Islam-an Indonesia, sehingga tidak aneh jika paham dan tradisi ke-Islam-an terdapat kemiripan antara Indonesia dengan Indonesia, utamanya kalangan nahdliyin.

Di Marakesy, kota selatan arah Sahara Maroko dikenal Tujuh Wali (sab’atu rijal) sebagaimana Indonesia mengenal Wali Songo dalam penyebaran Islam. Tujuh Wali adalah orang-orang yang mempunyai peran menonjol dan yang berjasa dalam membangun masyarakat Islam yang berpendidikan, berperadaban dan tasawwuf. Tujuh wali itu adalah Yusuf bin Ali al Shanhaji wafat pada tahun 1196 M./593 H.), ‘Iyadh bin Musa al Yahshabi lahir pada tahun 1083 M./476 H, Abu al-Abbas Ahmad bin Ja’far al-Khazraji al-Sabti lahir pada tahun 1129 M./524 H., Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al Jazuli yang wafatnya diperselihkan antara tahun  1464 M./869 H. dan 1470 M./870, Abdul Aziz bin Abdul Haq al-Tiba’ wafat pada tahun 1508 M./914 H., Abu Muhammad Abdullah bin Ajjal al-Ghazwani, dan Abdurrahman bin Abdillah al-Suhaili al-Dharir lahir pada tahun 1114 M./508 H.

Angka menurut penganut Sufi mempunyai arti dan rahasia tersendiri. Angka tujuh bagi para Wali adalah rahasia yang sangat dalam sehingga ada kita yang ditulis untuk mengungkap rahasia angka tujuh, yaitu kitab “Al-sab’inaat”. Rahasia angka tujuh karena ganjil dan tidak dapat dibagi, sehingga para ulama terdahulu menyebutnya angkat awal dan pijakan. Angka tujuh dipakai untuk menyebut tujuh langit, tujuh bintang, tujuh surga, tujuh neraka, tujuh pintu neraka, tujuh hari, tujuh dalam kalimat syahadat la ila ilaha Allah  Muhammad Rasul Allah, bahkan Nabi Muhammad saw membatasi dalam makanan yang dapat memberi pengaruh baik dengan angka tujuh seperti dalam bersabdanya riwayat Amir bin sa’ad bin abi Waqash: “Barangsiapa yang bersarapan pagi dengan tujuh kurma yang baik (‘aliyah) maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun dan sihir”.

Wali Tujuh dimakamkan di tempat yang terpelihara, sehingga memudahkan banyak orang untuk melakukan ziarah kubur. Tradisi masyarakat Maroko adalah ziarah kubur pada malam Jum’at untuk mendoakan ulama yang telah berjasa dan sekaligus mengharap berkah agar dapat meneladani kehidupannya. Saat ziarah kubur, tradisinya membaca secara bersama-sama dengan suara keras dan dilanjutkan dengan membaca tahlil, bahkan mereka biasa membaca doa bersama-sama dengan suara keras tanpa ada satu orang pun yang mengucapkan “amin”.

Tradisi “Kus-kus” selalu menghiasi di sekitar makam para Wali Tujuh dan di masjid-masjid pada saat malam jum’at. “Kus-kus” adalah makanan yang terbuat dari berbagai bahan makana pokok masyarakat yang dibentuk bulat dan melonjong seperti tumpeng yang dihidangkan oleh masyarakat kepada para peziarah atau jama’ah masjid. Ini bentuk “sadekahan” yang dilakukan untuk membangun silaturrahim dan kebersamaan.

Tradisi Islam Maroko sangat mirip dengan tradisi kaum sarungan di Indonesia. Meskipun masyarakat Maghrib mengikuti mazhab Maliki dan kaum nahdliyin mengikuti mazhab salah satu imam mazhab yang empat, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali yang pada praktiknya mengikuti pendapat Syafi’iyah. Al Qur’an al-Karim yang dipakai di Maroko adalah riwayat Warsy dari qiraah Nafi’ sedangkan al-Qur’an di Indonesia riwayat Hafsh dari qiraah ‘Ashim. Maroko punya keterkaitan  ilmu dan tradisi yang erat dengan Indonesi, khusus dalam transmisi ilmu dan Thariqah.

 

M. Cholil Nafis, Lc., Ph.D

Peserta Program Post Doctoral di Rabat Maroko dan dosen Universitas Indonesia