Opini

Kurikulum 2013, KTSP 2006, dan Nasib Guru di Indonesia

Kam, 11 Desember 2014 | 00:08 WIB

Oleh Suratno
Beberapa hari ini banyak media-massa memberitakan pernyataan dan edaran Mendikbud Anies Baswedan tentang penghentian (sementara) implementasi Kurikulum 2013 (K-2013) bagi sekolah-sekolah yang belum 3 semester menjalankannya dan kembali ke Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran 2006 (KTSP 2006). Langkah yang di ambil Mendikbud Anies lantas dikritik oleh mantan Mendikbud M. Nuh yang menganggapnya sebagai langkah-mundur.
<>
Kritikan M. Nuh itu lantas dijawab Mendikbud Anies dengan menyatakan bahwa langkah itu diambil sebagai solusi realistis atas carut-marutnya implementasi K-2013 sejak diujicobakan di 6.212 sekolah sasaran di tahun 2013 dan lalu diwajibkan untuk semua sekolah mulai pertengahan tahun 2014. Carut-marut ini menurut Mendikbud Anies muncul karena ketergesa-gesaan pemerintah dalam mewajibkan implementasi K-2103 pada semua sekolah.

Lepas dari perdebatan K-2013 atau KTSP-2006, saya sepakat bahwa kurikulum sangat penting dan juga menentukan proses serta hasil belajar-mengajar yang ingin dicapai. Akan tetapi, saya lebih sepakat lagi bahwa sebagus dan seburuk apapun kurikulum yang disusun, yang menentukan sukses tidaknya implementasinya di sekolah adalah para guru. Mereka adalah ujung-tombak implementasi kurikulum karena langsung berhadapan dengan peserta didik dan menjadi garda terdepan dalam implementasi sebuah kurikulum.

Oleh karena itu, menurut saya, kita tidak bisa larut dalam perdebatan tentang kurikulum mana yang mestinya dipakai (apakah K-2013 atau KTSP-2006), but we must go-beyond-and-deeply, tetapi kita harus melangkah lebih jauh dan lebih dalam pada bagaimana meningkatkan kualitas (dan kesejahteraan) para guru sehingga apapun kurikulum yang ingin di terapkan, ada jaminan keberhasilan di depan mata. Seperti kelakar teman saya; “Apapun makanannya (mau K-2013 atau KTSP-2006), minumannya tetap teh botol (maaf sebut merk) Sosro”, maksudnya tetap para guru yang menentukan keberhasilan implementasinya di sekolah.

Guru di Indonesia; Kualitas Minim, Kesejahteraan Memprihatinkan

Faktanya, potret pendidikan di Indonesia masih suram. Menurut Laporan UNESCO tahun 2011, Educational Development Index Indonesia masih menempati peringkat 69 dari 127 negara. Bandingkan dengan Malaysia (peringkat 65). Teacher Employment & Development (2007) juga melaporkan bahwa 34% sekolah di Indonesia masih kekurangan guru. Sementara itu distribusi guru juga tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan guru, sementara di pedesaan sekitar 37%. Lebih parah lagi di daerah-daerah terpencil lebih dari 66% sekolahnya kekurangan guru. Ini saya kira ironis karena di beberapa daerah tertentu, terutama dikota-kota besar, ada banyak sekolah yang kelebihan guru. Selain soal distribusi guru, yang lebih memprihatinkan lagi adalah menurut data Kemendiknas Tahun 2010, 54% guru di Indonesia tidak punya kualifikasi yang cukup untuk mengajar. Macam-macam sebabnya; baik karena latar belakang tingkat pendidikan maupun karena banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang ilmu yang di miliki. Dari sisi sarana-prasarana sekolah juga disebutkan bahwa 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu segera diperbaiki.

Itu potret para guru Indonesia terkait kualitas. Bagaimana soal kesejahteraan? Ini juga masih memprihatinkan. Memang tunjangan sertifikasi guru sering dianggap oase ditengah minimnya kesejahteraan para guru. Tapi dibanyak kasus, ini pun masih sering mengalami masalah; baik karena terlambat pembayarannya, dibayarkan namun jumlahnya kurang, atau bahkan tidak dibayarkan karena meski mengajar 24 jam tetapi tidak sesuai mata pelajarannya. Tentang kesejahteraan guru kalau guru-guru PNS dan guru sekolah swasta elit di perkotaan sudah agak lumayan, yang masih tragis adalah nasib guru-guru honorer. Padahal jumlah guru honorer masih banyak, diatas 35%. Banyak sekali diantara mereka yang masih dibayar tidak layak. Tahun 2013 lalu saya baca di beberapa media, misalnya, di Pandeglang masih ada guru honorer dibayar 60 ribu per-bulan, di Tangerang ada yang dibayar 125 ribu per-bulan, di Jakarta Cuma dibayar 300 ribu per-bulan dan sebagainya, masih sangat jauh dari standar-minimum kebutuhan para guru dan keluarga mereka.  

Dengan kualitas dan kesejahteraan para guru seperti di atas, saya pesimis bahwa kurikulum sebagus apapun yang akan di implementasikan akan menemui hambatan besar. Jadi perbaikan kualitas dan kesejahteraan guru selayaknya menjadi prioritas kemendikbud yang sekarang. Saya teringat sebuah “meme” di sosial-media tentang nasib guru yang sangat pas menggambarkan nasib para guru di Indonesia saat sekarang. Meme tersebut berbunyi “Mereka (para-guru) dibayar murah untuk mencerdaskan bangsa, tapi mereka (para selebritis) dibayar mahal (maaf, red) kadang-kadang untuk mendegradasikan moral bangsa”. Sungguh ironis!

Pengalaman Jerman

Tiba-tiba saya juga teringat pengalaman hampir 5 tahun di Jerman. Anak saya Nihaya bersekolah dari Kiderngarten/TK sampai kelas 4 Grundschule/SD. Selama kurun waktu itu, saya beberapa kali berbincang-bincang dengan para guru di sekolah Nihaya di Jerman. Dari mereka saya mendapat info tentang berapa gaji guru di Jerman. Seperti juga di Indonesia, di Jerman ada 2 jenis guru yakni Guru PNS dan guru Kontrak/Honorer. Guru PNS SD (Grundschule, kelas 1-4) di Jerman bergaji perbulan 4.500 Euro, potong pajak 40% sehingga netto menerima 2560 Euro belum termasuk tunjangan keluarga dan fasilitas jaminan sosial, kesehatan yang berbeda-beda antar negara bagian. Dengan kurs rupiah 1 Euro sekarang sekitar 15 ribu, maka guru SD di Jerman menerima gaji sekitar Rp. 38.500.000 rupiah. Padahal Upah Minimum Regional (UMR) untuk kota Frankfurt am Main yang termasuk kota-besar saja hanya sekitar 1000 sampai 1500 Euro perbulannya.

Oleh karena itu jelas bahwa kesejahteraan guru di Jerman sudah sangat baik. Informasi lainnya, gaji guru PNS di Gymnasium (kelas 5-13, setingkat SMP & SMA di Indonesia), perbulan sekitar 8.300 Euro, potong pajak 40% sehingga menerima gaji-bersih perbulannya 4.900 Eruo (sekitar 73 Juta rupiah perbulannya). Sementar itu untuk guru Kontrak/Honorer mereka gajinya rata-rata 500-600 Euro lebih sedikit dibanding guru PNS, jadi untuk guru kontrak SD/Grundschule gaji 4000 Euro (potong pajak 40% menjadi 2.100 Euro dan) dan guru kontrak SMP-SMPA/Gymnasium sekitar 7.800 Euro (potong pajak 40% menjadi sekitar 4.300 Euro). Akan tetapi tahun 2013 lalu ada demonstrasi guru Kontrak/Honorer besar-besaran di beberapa kota di Jerman menuntut gaji dan fasilitas yang sama dengan guru PNS. Dengan perbedaan gaji dan fasilitas yang diterima mereka merasa menjadi ”Guru-Kelas-Dua” di Jerman.

Tentu saja lepas dari baiknya kualitas dan kesejahteraan para guru di Jerman, negara itu juga punya masalah tersendiri. Baru-baru ini misalnya, dirilis di beberapa media bahwa SD di Jerman kekurangan guru laki-laki. Jumlah guru laki-laki di SD hanya sekitar 12 persen, sementara 88% adalah perempuan. Padahal 30 tahun yang lalu rasio guru SD laki-laki dan perempuan di Jerman adalah 50%-50%. Hal ini menjadi perhatian pemerintah Jerman karena muncul imej bahwa menjadi guru, terutama guru SD, adalah profesi yang lebih cocok untuk kaum perempuan. Oleh karena itu banyak program sudah dilaksanakan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah program ”Rent-a-teacherman” yang dilaksanakan Pemerintah Kota Bremen. Program ini mendorong kaum laki-laki di Jerman yang sudah lulus universitas pendidikan dan punya sertifikat mengajar untuk mau mengajar di SD. Tentu saja dengan imbalan dan iming-iming tertentu, seperti gaji dan fasilitas yang lebih baik dibanding guru ’perempuan”. Melalui program ini diharapkan profesi guru SD bisa menjadi pilihan bagi kaum laki-laki yang diterima di masyarakat Jerman. Danke schoen!  


*) Dosen Universitas Paramadina Jakarta