Opini

Mbah Hasyim Asy’ari dan Ulama Terdahulu

Kam, 22 Oktober 2015 | 17:15 WIB

Oleh Hamzah Sahal
Peneliti senior Zamakhsyari Dhofier kurang lebih mengatakan begini, Pesantren yang Tebuireng yang berdiri 1899, pada saat tahun 1945, tidaklah termasuk pesantren tua. Di Tebuireng saja, ia kalah tua dengan pesantren Tambakberas yang berdiri tahun 1838.
<>
Tebuireng juga lebih muda dari pesantren Rejoso yang terletak di kecamatan Peterongan, Jombang. Pesantren Rejoso yang didirikan oleh Kiai Kiai Tamim Irsyad (berkebangsaan Madura) dan Kiai Haji Cholil yang sekarang dikenal dengan nama Darul Ulum ini mulai dirintis tahun 1885.

Namun, Tebuireng memegang peranan dan menjadi kunci karena, pendirinya, Mbah Hasyim Asy'ari, mampu "mengakumulasikan" ide besar, yakni bertemunya nilai keagamaan dan kebangsaan. Pak Said Aqil sering mengatakan bahwa Mbah Hasyim memiliki keunggulan yang lebih karena dapat mempertemukan ide besar, yakni keislaman dan kebangsaan.

Zamakhsyari memilih kata "mengakumulasikan" tampaknya ingin menunjukkan bahwa ulama-ulama pendahulu, sebelum Mbah Hasyim, juga memiliki semangat yang sama, antikolonialisme.

Dalam sejarah, kita memang menemukan bahwa para ulama mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan jaringannya untuk lepas dari penjajahan, bersama elemen-elemen lain dari banyak pulau. Ini terbukti pemerintah colonial mencurigai tiap anak negeri yang baru pulang muqim dari haromain, sehabis berhaji dan menuntut ilmu.

Antropolog beken zaman kolonial bernama Snouck Hurgronje (orang ini oleh para orangtua dulu didongengkan sebagai tokoh protagonis, seorang yang jahat dan munafik) dikirim ke Saudi dan diterjunkan ke Aceh untuk mencari informasi aktivitas kaum ulama.

Ambil contoh seorang ulama yang antikolonial, seperti diceritakan Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat

"Tahun 1772, Syekh Abdus Shomad Al-Falembangi (Palembang), yang menetap di Makkah, mengirim surat kepada Sultan Hamengkubono I dan kepada Susuhunan Prabu Jaka. Isinya rekomendasi bagi dua orang haji yang baru pulang dan mencari kedudukan, tetapi dalam pendahuluan surat ada pujian terhadap raja-raja Mataram terdahulu yang telah berjihad melawan kompeni. Surat-surat ini dapat dibaca sebagai anjuran untuk meneruskan jihad melawan kompeni."

Ini artinya, perlawanan terhadap colonial sudah berlangsung lama, sebelum tahun 1772.

Kita juga sama-sama tahu, perang Jawa yang digerakkan oleh Pangeran Diponegoro didukung oleh para ulama. Pemuda-pemuda musola,santri-santri menjadi salah satu pasukan utama. Bahkan sang pangeran sendiri seorang pengikut tarekat.

Begitu juga pemberontakan petani di Banten, tokoh-tokohnya adalah para ulama, para mursyid tarekat. Syaikh Abdul Karim, nama yang kita kenal sebagai tokoh utama perang di jawa bagian barat ini.

Sudah barang tentu, perang Aceh yang terkenal itu. Kita tahu, saat Belanda tiba di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, pada 5 April 1873, sebagian pasukannya langsung disuruh menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Ini maknya, ulama adalah benteng dan spirit sekaligus.

Itulah sedikit contoh bahwa ulama dengan institusinya dengan santri dan jamaahnya,dengan segenap jejaring ilmu pengetahuannya, yang di Aceh bernama Dayah, di Minang bernama Surau, di Palembang, Banjarmasin bernama Pesantren, di Jawa bernama Pondok/Pesantren, begitu lama memperjuangkan negeri ini merdeka.

Karena sejarah-sejarah itulah, Mba Hasyim sangat sigap menghadapi situasi darurat pasca Indonesia Merdeka. Wong sudah merdeka kok buat memutuskan jihad, perang mempertahankan kemerdekaan negeri. Jika tidak punya daya linuih, ya tidak akan ada keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945 itu. Daya linuihnya Mbah Hasyim ini, antara lain, karena melanjutkan perjuangan ulama terdahulu. Dan sudah barang tentu, kegemilangan perjuangan ini berkat bahu-membahu, bersatu padu dengan banyak elemen di negeri berisi belasan ribu. Mau santri atau bukan, sembayang atau tidak, mau Islam atau bukan, mau kulit hitam atau coklat, mau laki-laki mau perempuan, asal kita bersatu padu, Indonesia akan maju.



Hamzah Sahal, Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU