Opini

Membendung Gerakan Radikalisme Agama

Kam, 22 Maret 2018 | 22:00 WIB

Oleh Ahmad Husain Fahasbu

Akhir-akhir ini banyak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Lebih memilukan lagi agama acapkali dijadikan justifikasi kenapa tindak kekerasan itu dilakukan. Peristiwa pengeboman di Hotel Sarinah beberapa tahun silam dan pembacokan seorang pendeta di Yogyakarta beberapa pekan yang lalu menjadi bukti kuat bahwa gerakan radikalisme agama di Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama mengingat Islam saat ini sering distigmakan sebagai sarang teroris dan 'penjahat agama'. Kesucian agama sudah mulai tercemar akibat tindakan yang mengatasnamakan jihad fi sabilillah tersebut. 

Sebenarnya jika diamati, tuduhan mengenai Islam sebagai agama teroris menemui momennya sejak peristiwa 11 November 2001 silam. Serangan yang disutradarai oleh Osama Ibn Laden tersebut dijadikan bukti kuat oleh barat bahwa Islam sangat berbahaya. Presiden Goerge W Bush langsung menuduh Obama sebagai repsentasi umat Islam. 

Dalam bentangan sejarah, agama merupakan senjata yang ampuh untuk membakar amarah dan emosi masyarakat. Apalagi masyarakat akar rumput (grass roat) yang pemahaman mereka terhadap ajarannya masih sangat minim. Ketika pemahaman yang dangkal tersebut 'disuntik' sedikit saja dengan ideologi jihad yang menggiurkan, emosi mereka langsung terbakar. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme bermakna paham atau aliran yang radikal di politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan drastis; dan sikap ekstrem dan sikap ekstrem dalam politik. Term radikal belakangan sering singgungkan dengan agama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bahwa radikalisme agama adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan agama dengan drastis, ekstrem dan dengan kekerasan. 

Menggunakan cara ekstrem dan penuh kekerasan adalah hal yang berlawanan dengan tujuan luhur dari Islam itu sendiri. Sebagaimana jamak diketahui bersama, Islam datang adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Firman Allah Swt.:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan kami tidaklah mengutus engkau Muhammad melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya: 107)

Ibnu Jarir al-Thabari, salah seorang mufassir kenamaan memberikan catatan dalam mognum opus-nya, Tafsir al-Thabari, bahwa yang dimaksud rahmat atau kasih dalam ayat di atas mencakup pula kepada seluruh orang kafir. Jadi, rahmat dan kasih sayang Islam tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja. Lebih jauh dari itu, Islam datang diproyeksikan untuk melindungi orang-orang dari rasa lapar dan rasa takut (amanahum min ju’ wa amanahum min khauf). 

Dewasa ini, Indonesia dihantui gerakan jihad dari beberapa sekte radikal. Lebih memilukan, ideologi jihad kini mulai merambah ke kalangan kampus, terutama kampus negeri. Dengan pemahaman keagamaan yang dangkal para mahasiswa dengan mudah disusupi paham radikal tersebut. Oleh karena itu, jangan heran ketika menjumpai gerakan kemahasiwaan yang dengan lantang berteriak bahwa negara Indonesia adalah negara kafir. Atau suara lain yang mengatakan bahwa Pancasila perlu diganti dengan sistem khilafah dan lain sebagainya. Itu karena ideologi radikal sudah menyusupi aktivis dan aktivitas kemahasiswaan kampus. 

Dalam konteks ini, saya sependapat dengan almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi, sekjen ICIS (International Conference Of Islamic Scholars), yang menyatakan bahwa embrio utama lahirnya gerakan radikal ini adalah manhaj takfiri (pemahaman yang sarat pengkafiran), sehingga orang yang takfiri itu pekerjaanya adalah mengkafirkan umat Islam. Pernyataan mantan Ketua Umum PBNU ini cukup beralasan sebab, sejarah telah memberikan bukti bahwa paham takfiri kerap kali membuat gaduh dalam internal Islam itu sendiri. 

Salah satu gerakan atau aliran yang terkenal dengan model seperti ini adalah Khawarij. Kelompok ini pada dasarnya mengikuti dan setia terhadap Sayidina Ali. Namun, mereka akhirnya membelot, karena Ali Ibn Abi Thalib telah menerima arbitrase (tahkim) dari Sayidina Mua’wiyah Ibn Abi Sufyan di arena perang Siffin. Hingga pada akhirnya mereka beranggapan semua pihak yang terlibat dalam perang Siffin adalah kafir.

Akibat pemahaman ini, mereka merencanakan pembunuhan kepada Sayyidina Ali, Sayidina Mua’wiyah dan Sayidina Amr Ibn Ash. Dari ketiga sasaran tersebut hanya Sayidina Ali yang menjadi korban. Mua’wiyah Ibn Abi Sufyan dan Amar Ibn Ash selamat. Sayidina Aly wafat sebagai syahid ketika ia hendak menjadi imam salat Subuh di tangan Abdurrahman Ibn Muljam, dedengkot kaum Khawarij. 

Radikalisme Khawarij muncul disebabkan kekecewaan politik, baik kepada Mua’wiyah dan Aly Ibn Abi Thalib. Di samping itu, mereka merupakan masyarakat pedalaman (badu’i) yang berpendidikan rendah. Dengan mudah mereka dimobilisasi untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Dari sinilah dapat diambil pemahaman bahwa fanatisme mazhab atau golongan dan dangkalnya pengetahuan agama menjadi salah satu penyebab utama gerakan radikal ini. 

Menurut hemat penulis, hal lain yang membuat paham radikalisme agama makin subur adalah kurangnya rasa toleransi. Toleransi yang dalam bahasa agama disebut al-Tasamuh mulai menjadi makhluk langka. Bahkan dalam internal Islam keberadaan toleransi perlu dipertanyakan kembali. Konflik berkempanjangan Sunni-Syiah adalah salah satu sampel bahwa nilai-nilai toleransi mulai mati suri. 

Ala kulli hal, fenomena radikalisme agama merupakan manifestasi peradaban Islam yang jatuh. Barangkali dapat disepakati bahwa tidak ada ajaran dan agama manapun yang membenarkan kekerasan. Kini Timur Tengah terus dibakar dengan api kemarahan dan permusuhan yang tak berkesudahan. Yang menjadi poin utama adalah bagaimana konflik dan kekerasan tersebut tidak diinpor oleh aktivis jihadis ke Indonesia. Sebab, jika sampai ke Indonesia maka akan lebih parah daripada fenomena di Timur Tengah itu. Hal ini karena Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat majemuk dan multi etnis, agama dan suku. Oleh karena itu gerakan melawan radikalisme dan terorisme perlu dijadikan sebagai gerakan nasional dan dilakukan dengan massif.
   
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Majalah Tanwirul Afkar Ma’had Aly dan pernah sebagai Editor Buletin GAMIS periode 2015-2017. Saat ini sedang belajar di lembaga kader ahli fikih & usul fikih Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo. Ia juga tercatat sebagai Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo.