Opini

Menemukan Hakikat Sumpah Pemuda

Sen, 5 November 2007 | 02:58 WIB

Oleh: *Zainuddin

28 Oktober 1928 merupakan momen bersejarah yang takkan pernah terhapus dari lembaran perjalanan bangsa Indonesia. Sumpah pemuda yang digelar kala itu pantas dijadikan sebagai semangat kehidupan masa kini. Ungkapan kata tidak akan pernah representatif untuk melantunkan rasa terima kasih kepada para pahlawan terdahulu yang dengan berani menyatakan satu kesatuan sebagai manifestasi keutuhan bangsa. Patriotisme mereka diletakkan sebagai dasar kepribadian bangsa dengan semangat persatuan dan kesatuan di bawah aneka ragam suku dan budaya bangsa. Namun, statement mereka dengan tindakan riilnya hanya bisa dipotret sebagai bagian sejarah bangsa yang sudah berakhir ketika kita menyaksikan realitas kehidupan Indonesia saat ini. Padahal, pengorbanan mereka diproyeksikan untuk kemakmuran jangka panjang Indonesia. Akan tetapi, naïf bagi bangsa yang tercinta ini, pengorbanan tinggallah kenangan karena warga Indonesia seolah telah terlelap dalam tidur panjangnya.

<>

Fenomena bangsa menampakkan wajah buruknya. Maraknya korupsi dan kolusi hingga kini menjadi saksi kongkret bahwa Indonesia sudah tidak terikat dalam satu rasa. Pasalnya, banyak warga yang merasa dirugikan dengan tindakan kurang bermoral tersebut. kekecewaan pun lahir sebagai konsekuensi. Rasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah mendorong mereka untuk bergejolak sehingga terjadilah disintegrasi bangsa. Tidak heran ketika birokrat selalu tidak mendapatkan tempat yang pas di hati publik. Mereka merasa dianiaya dan ditindas sehingga kepercayaan kepada aparatur negara sulit untuk bisa dibangun kembali. Sekian lama virus “kejahatan” ini mengakar di negeri tercinta. Hingga kini, performance bangsa tidak lain kecuali mempresentasikan pegalaman-pengalaman pahit yang menyengsarakan rakyat kecil. Kalau hal ini tetap berlanjut tanpa batas waktu yang jelas, tidak berlebihan kiranya dinyatakan bahwa rakyat Indonesia selalu terjajah
secara sistemik.

Urgensi mengembalikan bangsa pada spirit sumpah pemuda, bukanlah sebatas wacana semata. Keringnya kesejahteraan bangsa di bawah rezim orde baru hingga reformasi sekali pun, tampak sebagai masalah fenomenal rakyat jelata. Hal ini disebabkan—utamanya—oleh kesadaran para pemimpin masyarakat Indonesia untuk tetap konsisten mengusung persatuan dan kesatuan dengan rasa kebersamaan. Kalau hal ini menjadi prioritas sikap dan kebijakan, kepentingan bersama sebagaimana semangat sumpah pemuda, bisa menegasikan kecurangan dan kerakusan pihak tertentu dalam melangsungkan kehidupan bernegara; keinginan untuk “menunggangi” orang akan mudah terantisipasi. Satu hal yang perlu digarisbawahi terkait persoalan ini bahwa bangsa Indonesia telah tercerabut dari akar kepribadiannya sebagai bangsa, tanah air dan bahasa yang menyatu. Kini mereka terjebak dalam gaya kehidupan pragmatis dengan menyisihkan ke—Indonesia—an yang telah diperjuangkan oleh generasi tedahulu.

Untuk mengupayakan bangsa ini kembali pada jati dirinya yang bersatu, perlu adanya langkah-langkah signifikan. Sikap ini harus ditempuh oleh semua elemen masyarakat Indonesia, mulai dari pimpinan tertinggi hingga bagian terkecil dari bangsa. Yang demikian dilakukan untuk menepis kecurigaan antarlapisan warga masyarakat sehingga sikap saling percaya akan terbangun kembali. Dengan modal kepercayaan antarkelompok inilah Indonesia bisa terkondisikan lagi. Tentunya dengan komitmen bahwa kepercayaan semacam ini tidak dinodai lagi oleh keculasan dan penghianatan amanat rakyat. Para birokrat berusaha keras untuk mengayomi masyarakat dengan agenda-agenda kerakyatan. Dengan kinerja yang baik, kepuasan bangsa terhdapat para pemimpinnya akan menjelma sebagai pengikat persatuan dan kesatuan. Pada titik inilah, para pemimpin bisa mengendalikan semua elemen masyarakat sehingga stabilitas nasional bisa tercapai dengan optimal. Ini mendasari terbentuknya bangsa yang adil, makmur dan sentosa sebagai cita-cita yang diidealkan oleh generasi pejuang pra-kemerdekaan.

Untuk mewujudkan impian tersebut, setidak-tidaknya dibutuhkan dua langkah sebagai berikut. Pertama, Peringatan sumpah pemuda secara kolektif.Hakikat sumpah pemuda sebagai bentuk soliditas dan solidaritas bangsa perlu dirayakan secara simbolik dengan berbagai bentuk kegiatan. Pemerintah misalnya mengadakan upacara sumpah pemuda sebagai wujud penghormatan terhadap komitmen para pejuang yang telah menyatukan visi dan misi mereka untuk sebuah pembebasan. Bagi para pelajar dan seluruh civitas akademika pendidikan, diadakan semacam lomba keilmuan yang berorientasi pada semangat kebersamaan bangsa. Bagi anak setingkat TK, digelar lomba menghapal teks sumpah pemuda sehingga mereka bisa mengenali kepribadian bangsa sejak dini. Dalam acara tersebut, perlu juga diindoktrinasikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh perpecahan bangsa. Dengan begitu, bangsa ini dididik untuk benar-benar mengusung nilai-nilai kolektivitas sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi pola kehidupan yang semakin individualistik. Kegiatan yang semacam ini juga perlu disosialisasikan kepada seluruh jajaran masyarakat awam supaya mereka memiliki keteguhan sikap nasionalisme. Jadi, tidak ada salahnya bagi pemerintah seandainya menjadikan hari spesial ini sebagai momen akbar untuk membangunkan jiwa bangsa yang semakin terlena oleh pesona kehidupan fatamorgana. Semestinya, ajang seperti ini tidak dikalahkan oleh kemeriahan peringatan hari kemerdekaan. Bangsa perlu disadarkan mengenai proses perjuangan para pahlawan kesatuan dan kejujuran. Dengan demikian, pola berpikir bangsa tidak terjebak dalam paradigma instan karena menganggap proses kemerdekaan sebagai keniscayaan yang harus ditempuh demi tercapainya kemerdekaan itu sendiri.

Idealnya, semua lembaga kebangsaan mulai dari birokrasi formal hingga instansi-instansi sosial yang berbentuk swasta, merayakan hari penuh khidmah itu. Pondok pesantren misalnya, yang sampai saat ini menjadi tumpuan sebagian besar umat Islam, perlu juga mengampanyekan pentingnya semangat sumpah pemuda dalam eksistensi kehidupan masyarakat. Ini dimaksudkan supaya mereka yang ada di dalamnya tidak hanya berwawasan vertikalistik tanpa kepedulian terhadap cita-cita ibu pertiwi. Memperhatikan semangat kebersamaan berarti ikut serta dalam pembangunan bangsa. Dengan pola sederhana itu, generasi bangsa akan tersadarkan untuk merasa saling memiliki dan saling melindungi sehingga budaya saling mengelabuhi dan saling merugikan bisa diminimalisasi.
  
Kedua, Menggalang pemuda untuk bermental sumpah pemuda. Pemuda merupakan elemen masyarakat yang perlu diperhatikan. Di tangan merekalah terletak masa depan bangsa. Beberapa tahun ke depan, Indonesia akan dipimpin oleh generasi muda sekarang. Oleh karena itu, kematangan mentalitas dengan gaya kepemimpinan ideal tidak bisa ditawar-tawar lagi kalau bangsa ini betul-betul ingin berbenah diri. Mereka perlu dikader dengan sebaik-baiknya. Bagi penerus ini, pemaknaan sumpah pemuda tidak cukup hanya pada tahapan peringatan semata.

Dibutuhkan upaya kontinyus untuk bisa menanamkan jiwa kebersamaan dan rasa kepemilikan terhadap segenap bangsa. Kalau generasi tua “terasa sulit” untuk bisa dikembalikan pada semangat sumpah pemuda, langkah yang seyogynya diambil adalah strategi potong generasi. Generasi muda hendaknya digembleng supaya bisa menjadi manifestasi reinkarnasi ruh pejuang yang telah memproklamasikan sumpah pemuda.

Namun, tidak berarti bahwa upaya untuk menyadarkan generasi tua sudah menemui titik stagnan. Tawaran ini hanya sebagai refleksi kekurang puasan terhadap kinerja para birokrat yang sering memperioritaskan kepentingan pribadi mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka mempraktikkan kebudayaan “konspirasi kolektif” dalam tradisi KKN. Padahal, himbauan, peringatan, bahkan hujatan publik sering diarahkan kepada mereka. Tetapi, kritik semacam ini belum bisa berhasil dengan optimal. Barangkali “kuman” keserakahan dan ketamakan sudah mengakar sebagai penyakit kronis dalam jiwa mereka. Maka dari itu, kalau virus yang bersemi dalam diri mereka sulit untuk disembuhkan, perlu adanya pengalihan perhatian untuk “memvaksinasi” mentalitas generasi muda supaya tidak terjangkiti kelemahan dan kekurangan para pemimpin bangsa. Tentunya usaha untuk memberantas praktik KKN bagi birokrat saat ini terus berlanjut. Optimisme dengan tindakan kongkret tetap menjadi sikap visioner bangsa tercinta ini. Dengan demikian, tidak mustahil bahwa bangsa Indonesia akan menjadi warga negara yang benar-benar bersatu dan merdeka.
  
*Aktif di Forum Komunikasi Santri Surabaya (FoKSA) serta ketua Forum Mahasiswa Alumni Al-Mardliyyah Madura (FORMAA)