Opini

Mengembalikan Netralitas dan Independensi ASEAN Sesuai Prinsip Bali Concord II

Ahad, 15 April 2007 | 09:08 WIB

Oleh Hendrajit

Beredarnya kabar bakal terbentuknya Asean Defense Forum (ADF) dalam waktu dekat, memang cukup meresahkan bagi kalangan masyarakat dan unsur-unsur di dalam instansi pemerintahan di masing-masing negara-negara ASEAN itu sendiri. Betapa tidak. Bagi kalangan sesepuh di jajaran Departemen Luar Negeri, khususnya yang menjadi saksi hidup berdirinya ASEAN, menyadari betul bahwa ASEAN yang didirikan pada 1967, justru didasari semangat untuk menjadikan dirinya sebagai kekuatan independen. Yang bebas dari tarikan pengaruh dari Amerika Serikat, Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, sebagai tiga negara superpower yang sejak perang dingin di awal 1960-an terlibat dalam perebutan pengaruh di kawasan Asia Pasifik, Eropa, Timur Tengah dan Semanjung Korea.

Dengan demikian, ASEAN sejak awal berdirinya tidak dibenarkan untuk menjadi semacam aliansi pertahanan regional, apalagi sebuah pakta militer ala South East Asia Treaty Organization(SEATO) seperti di masa perang dingin yang sepenuhnya berada dalam kendali Amerika Serikat, salah satu negara superpower yang merepresentasikan kubu negara-negara yang berhaluan kapitalisme dan liberalisme.<>

Netralitas dan Independensi ASEAN semakin diperkuat melalui Declaration of Asean Concord II atau Bali Concord II yang menegaskan “further that ASEAN Member Countries share primary responsibility for strengthening the economic and social stability in the region and ensuring their peaceful and progressive national development, and that they are determined to ensure their stability and security from external interference in any form or manner in order to preserve their national interest in accordance with the ideals and aspirations of their peoples.”

Bahwa ASEAN bersepakat untuk berbagi tanggungjawab dalam rangka memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial di kawasan Asia Tenggara serta menjamin pembangunan nasional secara progresif dan atas dasar perdamaian. Sehingga seluruh kepala pemerintahan ASEAN melalui the Bali Concord II itu bertekad untuk menjamin terciptanya stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dari segala macam pengaruh dan campur tangan  asing, apapun bentuk dan manifestasinya. Acuan utama seluruh kepala negara ASEAN yang menandatangani the Bali Concord adalah tetap dipertahankannya kepentingan nasional masing-masing negara ASEAN yang sesuai dan selaras dengan cita-cita dan aspirasi rakyat ASEAN.

Maka dari itu, kerjasama militer di antara sesame negara ASEAN apapun bentuknya, harus sesuai dengan semangat yang ditegaskan dalam pembukaan the Bali Concord II yang ditandatangani oleh para kepala negara ASEAN pada 10 Oktober 2003. Bahkan dalam Asean Security Community (ASC) tertulis bahwa semua negara-negara ASEAN berhak melakukan politik pertahanan dan politik luar negeri yang independen dan sesuai dengan kepentingan nasional dari masing-masing negara ASEAN. Formulasi lengkapnya ditegaskan, “The ASEAN Security Community, recognizing the sovereign right of the member countries to pursue their individual foreign policies and defense arrangements and taking into account the strong interconnections among political, economic and social realities, subscribes to the principle of comprehensive security as having broad political, economic, social and cultural aspects in consonance with the ASEAN Vision 2020 rather than to a defense pact, military alliance or a joint foreign policy.”  

Jelaslah sudah bahwa sebuah pakta pertahanan maupun persekutuan militet ala ADF ataupun yang sejenisnya seperti SEATO di masa silam, akan dianggap tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan semangat dan komitmen ASEAN yang dituangkan dalam deklarasi the Bali Concord II sebagaimana ditegaskan dengan komitmen: “ASEAN shall continue to promote regional solidarity and cooperation. Member Countries shall exercise their rights to lead their national existence free from outside interference in their internal affairs.”

Namun perkembangan akhir-akhir justru mengindikasikan adanya tren yang berusaha merusak netralitas dan independensi ASEAN. Misalnya saja, prakarsa Indonesia untuk membentuk pasukan perdamaian negara-negara ASEAN yang didasari semangat untuk menciptakan stabilitas dan keamanan Asia Tenggara, kabarnya ditolak oleh Thailand, Singapore dan Filipina karena dinilai tidak sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat. Untuk kongkretnya, bisa merugikan hubungan bilateral Amerika Serikat dalam bidang militer dan pertahanan dengan Filipina, Singapore dan Thailand.

Sejak berakhirnya perang dunia kedua dan dimulainya bibit-bibit perang dingin antara blok kapitalis-demokrasi Amerika Serikat versus blok komunis Uni Soviet dan RRC, Amerika memang selalu tidak setuju dan menaruh curiga terhadap sikap dan prinsip non-blok yang tidak memihak kepada Amerika maupun Soviet-RRC. Indonesia sebagai salah satu pelopor prinsip non-blok yang sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, tentunya sangat mendukung dan mengupayakan menciptakan dasar sistem keamanan Asia Tenggara yang bertumpu pada prinsip non-blok.

Dalam perspektif kepentingan Amerika yang dalam masa pemerintahan Presiden George W.Bush justru menekankan betul perlunya menggalang kekuatan militer yang efektif di kawasan Asia Tenggara untuk melawan RRC sebagai pesaing potensialnya di masa depan, prinsip non-blok dalam menciptakan sistem keamanan dan pertahanan di Asia Tenggara, bukanlah langkah strategis yang menguntungkan. Sehingga bisa dimengerti jika Amerika Serikat menolak gagasan semacam itu. Artinya, ASEAN menolak jika Amerika mengajak menjalin persekutuan atas dasar ikatan bersama untuk membenduh pengaruh Cina di Asia Tenggara. Karena dalam pandangan ASEAN, Cina bukanlah musuh dan ancaman bagi stabilitas dan keamanan di Asia Tenggara. 

Bahkan fakta membuktikan bahwa di bidang ekonomi sekalipun, perkembangan hubungan antara ASEAN dan Cina ternyata cukup menjanjikan dan berprospek cukup baik di masa depan. Sehingga dari hari ke hari, semakin kerjasam dengan Cina telah memberi makna penting dan strategis bagi negara-negara ASEAN. Karena dalam berhubungan dengan Cina di bidang ekonomi, semua negara ASEAN ternayta merasakan betul adanya hubungan yang simbiosis dan saling menguntungkan di bidang ekonomi dan bisnis.

Bahkan di bidang politik, manuver politik Cina di ASEAN ternyata jauh lebih elegan dibandingkan Amerika. Dalam Deklarasi Kemitraaan ASEAN-Cina pada 2003 lalu, ASEAN dan Cina telah sepakat untuk bekerja sama lebih lanjut mengenai aksesi Cina atas Treaty of Amity and Coperation (TAC), dan terus mengkonsultasikan niat Cina untuk aksesi Protokol Perjanjian Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara. Suatu hal yang justru dihindari Amerika sebisa mungkin.

Begitulah. Deklarasi kemitraan ASEAN-Cina pada hakekatnya justru telah menggugurkan opini yang dikembangkan oleh Amerika bahwa Cina merupakan musuh dan ancaman bagi kawasan Asia Tenggara, Dan sebagai alat pembenaran (justifikasi) dibentuknya ADF sebagai persekutuan militer regional Asia Tenggara yang yang berada dalam kendali Amerika. Motivasi Amerika dengan adanya ADF memang bisa dimengerti. Karena dengan adanya ADF, maka Amerika akan memiliki instrument militer untuk mendesak ASEAN agar menjalankan misi dan kepentingan spesifik Amerika di kawasan Asia Tenggara.

Maka dari itu, sebagai alternatif adanya ADF, alangkah baiknya jika ASEAN mengoptimalkan saja perangkat kelembagaan pertahanan ASEAN yang sudah ada seperti ASEAN DEFENSE MINISTERIAL MEETING) yang selama ini telah dianggap sebagai bentuk kerjasama pertahanan antar negara ASEAN yang efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip BALI CONCORD II dan ASEAN SECURITY COMMUNITY.

Keberadaan ADF Mengganggu Keseimbangan ASEAN

39 tahun sudah usia ASEAN sebagai perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara. Ada semacam kesepakatan tidak terucapkan (the unspoken agreement) di kalangan ASEAN bahwa dalam menjalin kerjasama di bidang apapun di kalangan anggota ASEAN, termasuk dalam kaitannya dengan pertahanan dan militer, untuk menekankan betapa pentingnya membangun dan menciptakan keseimbangan demi melayani kepentingan seluruh angggota ASEAN yang beraneka ragam tersebut.

ASEAN, jika melihat sejarah pembentukannya pada 1967, harus diakui bukan untuk melayani kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Meskipun fakta menunjukkan ketika itu bahwa Filipina, Thailand dan sampai tingkat tertentu, Singapore, merupakan sekutu Amerika. Namun Indonesia dan Malaysia yang notabene merupakan negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dan tentu saja anti komunis, tidak otomotis berada dalam orbit Amerika Serikat.

Bahkan jika dilihat momentum berdirinya ASEAN bertepatan dengan berakhirnya konfrontasi Indonesia dan Malaysia, dua negara rumpun yang mayoritas merupakan rumpun melayu dan beragama Islam. Pada saat yang sama, ASEAN berdiri ketika ketegangan kerap muncul antara Malaysia dan Thailand, maupun antara Filipina dan Malaysia. Artinya, yang tersirat dari agenda terbentuknya ASEAN justru untuk menetralisasi kemungkinan pecahnya konflik antar negara Asia Tenggara akibat perbedaan kepentingan maupun diakibatkan kedekatannya kepada negara superpower.

Maka dari itu, terciptanya keseimbangan kepentingan dan keseimbangan kekuatan di kalangan internal ASEAN, secara tersirat merupakan komitmen mereka secara bersama sejak awal berdirinya ASEAN. Sehingga, keberadaan ADF dengan sendirinya akan merusak dan menghancurkan keseimbangan yang tercipta oleh karena komitmen yang dibangun oleh the founding fathers(para pendiri) dari ASEAN sebagai Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Institute (IFI)