Opini

Menimbang Gusdurisme

Rab, 20 Agustus 2014 | 22:02 WIB

Oleh Syaiful Arif

Dalam “Islam, the State and Development in Indonesia” (1981) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menetapkan gerakannya ke dalam gerakan Islam sosio-kultural. Model gerakan ini ia bedakan dengan gerakan sosio-politik dan Islam kultural.<>

Bagi Gus Dur, Islam sosio-kultural ialah gerakan yang hendak melakukan perombakan struktur masyarakat melalui pendekatan budaya. Budaya yang dimaksud terdiri dua hal. Pertama, nilai-nilai budaya di masyarakat. Perombakan masyarakat berpijak dan mengarah pada nilai-nilai budaya ini. Kedua, modal budaya masyarakat. Dengan demikian, gerakan Islam sosio-kultural merupakan upaya perombakan struktur masyarakat dengan menggunakan modal budaya dan mengarah pada ideal nilai-nilai masyarakat itu sendiri.

Lalu apakah nilai yang menjadi tujuan perombakan struktur sosial itu? Tiada lain, struktur masyarakat berkeadilan. Atau dalam bahasa lain, demokratisasi politik menuju struktur masyarakat yang lebih adil (Wahid, 1981:35).

Demi tujuan ini, Gus Dur memanfaatkan modal budaya, yakni pesantren yang melalui gerakan "Kembali ke Khittah 1926", diformalkan ke dalam gerakan Nahdlatul Ulama (NU). Artinya, gerakan demokratisasi berkeadilan di atas dilakukan melalui NU, yang menunjukkan praksis Islam sosio-kulturalnya.

Hal ini bisa dipahami sebab pra penetapan "Kembali ke Khittah 1926", yakni pada Muktamar ke-27 NU (1984), Gus Dur telah menggerakkan pengembangan masyarakat melalui pesantren. Pengembangan ini merujuk pada pembentukan kemandirian ekonomi masyarakat melalui pesantren. Gus Dur dengan gerakan ini telah menciptakan bottom up development (pembangunan dari bawah), sebagai penyeimbang bagi top down development: pembangunan dari atas negara yang timpang.

Oleh karenanya, beberapa prinsip gerakan sosio-kultural NU bisa dirumuskan sebagai berikut. Pertama, NU era Gus Dur (1984-1998) menerapkan pengembangan masyarakat melalui pendekatan keagamaan. Dalam konteks ini kita menemukan "jantung pemikiran Islam" Gus Dur, yakni etika sosial Islam. Secara sederhana, pemikiran ini hendak mengamalkan Rukun Sosial Islam: perlindungan HAM dalam maqashid al-syari'ah, kepedulian atas kaum mustadl'afin di dalam Surat al-Baqarah (177) dan dimensi sosial Rukun Islam (zakat, puasa, haji) demi pembentukan struktur masyarakat yang adil. Oleh karena itu, tujuan utama semua pemikiran dan perjuangan Gus Dur merujuk pada nilai di dalam etika sosial Islam ini.

Kedua, karena tembakannya mengarah pada pembentukan struktur masyarakat, maka Islam NU tidak memasalahkan bentuk negara. Sebab negara merupakan bagian dari elemen masyarakat disamping rakyat secara umum, dan tujuan negara juga mengarah pada keadilan sosial sebagaimana amanat Pancasila. Dalam konteks ini, Gus Dur menggunakan kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan cara pencapaian). Selama negara RI yang merupakan cara bisa mencapai tujuan Islam, bentuk dari negara itu tidak lagi penting.

Ketiga, praksis dari sosio-kultural Islam ialah demokratisasi politik menuju masyarakat berkeadilan. Hal ini sesuai dengan titah beliau di NU dan Islam Indonesia Dewasa Ini (1984). Gus Dur menyatakan, "NU harus mampu mengintegrasikan Islam ke dalam perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang (Wahid, 1984:16). Dari sini disimpulkan bahwa pemikiran politik Gus Dur tidak berhenti pada rekonsiliasi teologis antara Islam dan negara, tetapi mentransformasikan rekonsilisasi itu ke dalam demokratisasi.

Pada titik ini, demokrasi Gus Dur merujuk pada demokratisasi politik menuju struktur masyarakat berkeadilan sebagaimana termaktub di atas. Oleh karenanya, demokrasi Gus Dur memuat demokrasi politik dan demokrasi sosial. Pada yang pertama, demokrasi membidik pada undemocratic state sebagaimana didedahkan oleh konteks politik Gus Dur: rezim Orde Baru. Sedangkan pada yang kedua, demokrasi membentuk struktur sosil-ekonomi yang lebih adil.

Dalam kerangka demokrasi politik inilah Gus Dur dan NU menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden pada Pemilu 1992. Pendirian Forum Demokrasi (Fordem) yang mengembangkan a critical discourse of substantive democracy juga mengarah pada demokratisasi politik ini. Bagi Gus Dur, tanpa demokrasi politik, tak akan ada demokrasi sosial. Sebaliknya, demokrasi sosial merupakan ujung dari demokrasi politik.

Dengan demikian kita menjadi mafhum bahwa gerakan Islam Gus Dur yang bersifat sosio-kultural ini berbeda dengan Islam sosio-politik dan juga Islam kultural. Bagi sosio-politik, gerakan Islam menjadikan politik (negara Islam) sebagai strategi perombakan masyarakat, dari masyarakat sekular ke masyarakat Islami. Gerakan Gus Dur juga bukan an sich kultural, sebab Islam kultural hanya menempatkan Islam sebagai peradaban yang digali secara ilmiah dan elitis, tanpa keprihatinan akan ketimpangan masyarakat.

Yang terpenting dari semua ini adalah penempatan NU oleh Gus Dur sebagai penggerak sosio-kultural Islam ini. Oleh karena itu, NU era Gus Dur adalah NU ideal karena menempatkan organisasi keagamaan ini sebagai lokomotif besar demokratisasi di Indonesia. Tentu idealisasi ini memiliki ruang waktu sendiri. Yakni NU era Gus Dur, dan Gus Dur era Orde Baru, sebab di era ini terjadi keselarasan antara intelektualitas dan gerakan sosial beliau.

Ideologi Gerakan NU

Kerangka pemikiran dan praksis gerakan yang mencerminkan pemikiran inilah yang penulis sebut sebagai Gus-Durisme. Yakni suatu ideologi gerakan NU dan Islam Indonesia berbasis pada pemikiran dan gerakan Gus Dur.

Sebagai isme, pemikiran Gus Dur memiliki dasar normatif, tujuan etis dan kerangka operasional yang mewujudkan dasar dan tujuan tersebut. Dasar normatif itu adalah humanisme Islam, yang berangkat dari pemuliaan Allah atas manusia (QS, 17:70) dan mempraksis dalam penetapan perlindungan HAM sebagai tujuan syariat Islam. Dasar normatif ini memuara pada satu tujuan etis: kehidupan sosial manusia (human social life) yang merupakan definisi Gus Dur atas kebudayaan. Di tengah dasar dan muara ini, terdapat kerangka operasional yang merujuk pada gerakan Islam sosio-kultural melalui NU dalam bentuk demokratisasi politik Indonesia.

Kesatuan sistemik pemikiran yang telah teramal di dalam gerakan NU dan Islam Indonesia ini yang layak menjadi ideologi gerakan NU. Oleh karenanya, warga nahdliyin, terutama anak muda NU, wajib memahami Gus-Durisme ini sebagai pemandu gerakan Islam di Indonesia, agar NU - sebagaimana kekhawatiran Gus Dur - tidak mengalami irrelevansi diri dan tersudut di pinggiran sejarah bangsa. Semoga!

Syaiful Arif, Pengajar Mata Kuliah Gus Dur di Pascasarjana STAINU Jakarta

*Tulisan ini dimuat juga di Majalah Tebuireng Edisi 34 Agustus-September 2014.