Opini

'Negara Pesantren' Kiai Abdul Ghofur

Sel, 10 Oktober 2017 | 05:01 WIB

Oleh Ahmad Ali Adhim

Pengasuh Pesantren Sunan Drajat Lamongan yang keturunan Kanjeng Sunan Drajat (Raden Qosim) ke-14 ini selalu mempunyai ciri khas tersendiri dalam mensyiarkan agama Islam. Beliau adalah Prof. Dr. KH Abdul Ghofur. Beberapa kali putra H. Marthokan ini mendapat gelar doktor honoris causa dari universitas dalam dan luar negeri karena pengabdiannya yang luar biasa untuk masyarakat, seperti penganugerahan Doktor HC di bidang Ekonomi Kerakyatan dari American Institute of Management Hawaii, Amerika. Tanpa melalui proses belajar di kampus, beliau berhasil meneliti “Khasiat Buah Mengkudu dan Pelestarian Tanaman” yang akhirnya beliau juga mendapat gelar profesor.

Pesantren peninggalan Wali Songo yang nyaris terkubur oleh sejarah itu, kini di bawah asuhan Kiai Abdul Ghofur memiliki kurang lebih 12.000 santri. Rasanya hal itu sebanding dengan proses belajar Kiai Abdul Ghofur, jika kita runtut kembali melihat riwayat pendidikan yang pernah beliau tempuh. Pada masa mudanya beliau Menghabiskan waktu belajarnya di Pondok Pesantren Denanyar – Jombang, Pondok Pesantren Kramat dan Sidogiri di Pasuruan, Kemudian melanjutkan mondoknya di Pondok Pesantren Sarang, Rembang dalam asuhan KH Zubair, lanjut ke Pondok Pesantren Lirboyo, Pesantren Tretek, Pesantren Roudhotul Qur’an Kediri. Sempat menimba ilmu juga di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Pengalaman beliau sebagai kiai yang setiap hari menjadi tempat keluh kesah berbagai permasalahan kehidupan masyarakat, membuat beliau menarik kesimpulan bahwa pendidikan di pesantren merupakan ruang belajar yang terbaik. Selain tidak terpengaruh pergaulan bebas, seks bebas, dan narkoba, pesantren juga menjadikan seseorang selain mendapat ijazah resmi dari negara juga menjadikan seseorang bisa mengaji (baik Al-Qur’an maupun kitab kuning), berceramah agama dan berkhutbah, memimpin doa, kemampuan-kemampuan keahlian keagamaan lainnya yang berguna saat terjun di masyarakat nanti. Pendidikan di pesantren yang tidak bisa terlepas dari budaya ngantri, jauh dari orang tua, makan yang dibatasi, jam tidur yang singkat, dan padatnya kegiatan yang harus diikuti akan membentuk pribadi yang sabar, sederhana, rendah hati, peduli, ikhlas, rajin, disiplin, hemat, bersahaja, santun, dan beradab.

Manfred Ziemek (seorang ahli sosiologi) telah mengutip pendapat Kalnia Bhasin dan mengemukakan rumusan secara sederhana, di sini secara umum tujuan pendidikan pesantren adalah ditujuan untuk mempersiapkan pimpinan-pimpinan akhlak dan keagamaan. Setelah proses pembelajaran di bangku sekolah selesai diharapkan para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri untuk menjadi pimpinan yang tidak resmi dari masyarakatnya. Rumusan tujuan pendidikan pesantren di atas merupakan sintesa dari beberapa tujuan pendidikan pesantren yang pernah dikunjungi Klania Bhasin. Rumusan tujuan tersebut ada titik temunya jika dikomparasikan dengan ayat Al-Qur’an yang artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan pada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, maka dalam merumuskan tujuan atau cita-citanya tentu saja mengarah kepada nilai-nilai Islam, baik rumusan tersebut secara formal atau hanya berupa slogan-slogan yang didawuhkan oleh pengasuh pesantren. Jika mengacu pada buku yang diterbitkan Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, 1984/1985, hal. 6-7, di situ sangat jelas bahwa misi awal Proyek Pembinaan dan Bantuan kepada pondok pesantren, Dalam Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren menuju suatu lokakarya intensifikasi pengembangan pendidikan pondok pesantren bulan Mei 1987 di Jakarta telah merumuskan beberapa tujuan institusional pendidikan pesantren yang salah satunya secara khusus bertujuan untuk mendidik santri dan anggota masyarakat agar menjadi Muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan, sehat lahir dan batin sebagai warga negara yang berpancasila. 

Rupanya untuk mencapai tujuan mulia itu, KH Abdul Ghofur memilih jalur Thoriqoh Pendidikan. Bagaimanakah konsep Thoriqoh Pendidikan yang ditawarkan oleh beliau? Dalam kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan (thoriqoh) terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah SAW bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan lafadz “Allah”.”

Imam Ghazali dalam karyanya Muroqil Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah menjelaskan arti kata thariqah dalam kalimat aktif, yakni melaksanakan kewajiban dan kesunatan atau keutamaan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah (yang diperbolehkan) namun tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak disenangi Allah dan yang meragukan (syubhat), sebagaimana orang-orang yang mengasingkan diri dari persoalan dunia dengan memperbanyak ibadah sunah pada malam hari, berpuasa sunah, serta menghindari kata-kata yang tidak beguna.

Annemarie Schimmel (Seorang ahli dalam bidang mistisisme Islam) dalam karyanya Mystical Dimensions of Islam (USA: The University of North Carolina Press, pada tahun 1975, halaman 98, ia mengartikan thoriqoh dengan istilah: “The tariqa, the “path” on which the mystics walk, has been defined as “the path which comes out of the sharia, for the main road is called shar‘i, the path, tariq.” This derivation shows that the Sufi’s considered the path of mystical education a branch of that high -way that consists of the God-given law, on which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the binding injunctions of the shar’ia are not followed faithfully first. The path , tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adept—called salik, “wayfarer”—in his suluk, “wandering,” through different stations (maqam) until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect tauhid, the existential confession that God is One.”

Definisi tersebut memberi gambaran bahwa thoriqoh adalah jalan khusus bagi salik (penempuh jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat. Dijelaskan oleh Carl W. Ernst seorang spesialis dalam studi Islam, dengan fokus di Asia Barat dan Selatan dalam bukunya Ajaran dan Amaliah Tasawuf yang diterjemahkan oleh Arif Anwar pada tahun 2003 hal 153. Adapun thoriqoh dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.

Dalam Al-Qur’an sendiri, misalnya jika ditinjau dalam surat Al-Jin Ayat 16, kita akan menemukan penjelasan seperti ini “Dan jika manusia tetap pada suatu thoriqoh, pasti mereka akan mendapatkan air yang menyegarkan. Sedangkan dalam bidang tasawuf seringkali dikenal istilah thoriqoh, yang berarti jalan untuk mencapai keridhoan Allah SWT. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi mengatakan “jalan menuju Allah itu sebanyak hitungan nafas makhluk”, aneka ragam dan bermacam-macam.

Untuk memahami seperti apakah thoriqoh pendidikan yang dimaksud oleh Kiai Abdul Ghofur, kita bisa mengingat kembali bahwa Ibnu Abdil Barr pernah meriwayatkan satu hadits yang artinya seperti ini ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi Rasulullah pernah bersabda ”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang”. Kedua Hadits itu sudah sangat jelas bahwa menuntu ilmu (proses dalam pendidikan) adalah suatu jalan yang harus kita tempuh.

Kiai Abdul Ghofur dalam ceramahnya pernah menyampaikan “Aku wakafkan hidupku untuk pendidikan, dan thoriqohku adalah pendidikan.” Dapat kita fahami bersama, beliau sangat peduli terhadap pendidikan, karena bagi beliau “pendidikan” akan menjadikan manusia dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Bila kita merujuk pada tujuan pendidikan di negara kita seperti yang tercantum dalam undang-undang nomor 12 tahun 1954, terutama pasal 3. Tujuan pendidikan dan pengajaran, ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Mengusung misi yang sangat mulia seperti itu kenapa perhatian pemerintah terhadap pendidikan pesantren tidak begitu serius? Kiai Abdul Ghhofur sangat prihatin kenapa pesantren dijadikan pilihan kedua bahkan terakhir oleh banyak para orang tua dalam memilih pendidikan bagi anaknya?

Padahal tujuan pendidikan pesantren (Islam) sudah sangat jelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Addin bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Seperti itulah ajaran-ajaran yang diberikan dalam pesantren. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.

Konteks yang lebih menarik dari pengertian tujuan pendidikan adalah bagaimana kita melawan kebodohan dan kemalasan yang ada dalam diri kita. Sebagaimana dawuh Kiai Abdul Ghofur “Sekarang sudah bukan masanya berjihad dengan peperangan, akan tetapi yang lebih tepat adalah berjihad melawan kemalasan dan kebodohan, yaitu dengan cara memperbanyak beribadah, serius dalam belajar.”

Begitu agung dan bijaksana nasihat yang telah beliau berikan kepada kita, seakan-akan beliau mengajak kita semua untuk membuat “negara pondok pesantren“. Dimana semua pendidikan di negara ini berbasis pondok pesantren. Serta semua pemimpin dan pejabatnya sebisa mungkin harus lulusan pondok. Karena bagi beliau, dengan memiliki pemimpin lulusan pondok pesantren, maka Insya Allah negara kita akan menjadi negara yang sejahtera, religius, dan bebas korupsi. Seperti itulah Konsep Thoriqoh Pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Sunan Drajat oleh KH Abdul Ghofur, kurang dan lebihnya hanya Allah SWT dan Kiai Abdul Ghofur yang tahu.

Penulis adalah mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta