Opini

NU dan Islam Politik di Era Reformasi

Sel, 5 Desember 2006 | 05:13 WIB

Oleh Prof. Dr. Masykuri Abdilah

Pendahuluan
Suatu hal yang tak dapat dihindarkan dalam analisis terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat adalah karakterisasi atau pengungkapan distingsi terhadap kelompok-kelompok sosial yang ada. Dalam wacana tentang orientasi, gerakan atau institusionalisasi Islam di negara ini sering digunakan istilah-istilah: “Islam kultural” yang tidak lazim dipergunakan dalam wacana Islam di luar Indonesia, meskipun istilah-istilah ini sebenarnya cukup tepat untuk menjelaskan fenomena perkembangan Islam yang terjadi di Indonesia maupun di dunia Islam lainya. Memang terdapat sedikit perbedaan antara orientasi dan gerakan Islam di Indonesia dengan di luar. Yakni adanya orientasi semua gerakan Islam di luar Indonesia pada Islam struktural dan ideologis, meski tidak semuanya mendukung atau terlibat dalam Islam politik. Namun penggunaan istilah-istilah ini sering kurang pas,’ terutama tentang ”Islam struktural” dan “Islam politik” yang sering dianggap identik.

<>

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas Islam dan bagian dari kelompok keagamaan yang ada di Indonesia tidak terlepas dari karakterisasi di atas. Seperti pada umumnya kelompok sosial NU pun mengalami dinamika yang tak lepas dari karakterisasi di atas. Dalam satu fase NU lebih menonjolkan diri sebagai “Islam kultural”, dan di fase lainnya lebih menampakan  diri sebagai “Islam politik” atau Islam “struktural”. Dengan demikian, peran utama yang dilakukannya pun terjadi perbedaan antara satu fase dengan fase lainya.

Islam Politik di Era Reformasi
Untuk memperjelas istilah-istilah tersebut kita perlu membedakan karakterisasi Islam ke dalam dua perspektif. Pertama adalah institisionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam konteks pembentukan sistem nasional, yang dikelompokan ke dalam Islam kultural dan Islam struktural. Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan  institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem yang Islami. Sedangkan Islam struktural menekankan upaya-upaya ini melalui penetapan sistem nasional maupun kebijakan publik yang Islami. Upaya semacam ini tidak seharusnya dilakukan melalui partai politik Islam, meskipun tentu saja mengharuskan adanya political will dari para pengambil kebijakan publik ini.

Kedua adalah gerakan atau aktivitas Islam, yang dikelompokkan ke dalam gerakan Islam kultural dan Islam politik. Gerakan Islam kultural adalah aktivitas umat Islam untuk memperjuangkan aspirasinya melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat non politik, seperti melalui organisasi massa, aktivitas dakwah, lembaga-lembaga sosial, dsb. Sedangkan pengertian gerakan Islam politik sudah jelas, yakni aktivitas Islam melalui partai politik Islam, yang bisa diidentifikasikan melalui pengguna nama, asas, tujuan ataupun simbol Islam. Sebagaimana dalam hal Islam struktural, Islam politik ini bisa hidup secara wajar jika didukung sistem dan iklim politik yang memberikan kebebasan munculnya multi partai, termasuk partai agama.

Meski hubungan antara kedua perspektif tersebut sangat dekat dan sulit dipisahkan, tetapi terdapat perbedaan yang jelas di antara keduanya, terutama dalam hal pengertian Islam struktural dan Islam politik; dan sebaliknya, orang mendukung Islam politik akan mendukung Islam struktural. Namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian, yang dibuktikan baik oleh sikap politik para tokoh Islam maupun praktik politik yang ada di Indonesia. Pada masa demokrasi parlemeter memang tidak ada perbedaan antara Islam struktural dan Islam politik karena pada tokoh partai Islam mendukung keduanya. Demikian pula pada masa-masa awal Orde Baru, kondisi semacam ini masih sama, tetapi kemudian berubah dengan kebijakan pemerintah Orba tentang deideologisasi partai politik dan depolitisasi Islam. Pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, baik Islam struktural maupun Islam politik mendapatkan restriksi dari pemerintah, sehingga muncul gerakan-gerakan dan orientasi Islam kultural dan menolak Islam politik dan Islam struktural. Di sisi lain, meski Islam politik di massa Orba tidak bisa hidup, masih banyak tokoh Islam yang masih memiliki orientasi Islam struktural. Tentu saja hal ini tidak diekspresikan melalui partai-partai politik, melainkan melalui sarana-sarana lain, seperti ormas-ormas Islam yang dapat berperan juga sebagai interest group.

Kondisi pada era reformasi ini hampir mirip pada kondisi era demokrasi parlamenter, terutama adanya kebebasan berekspreksi, mendirikan partai dengan berbagai alirannya, dsb. Hal ini membawa akibat munculnya kembali orientasi Islam struktural dan Islam politik secara bersamaan dan tanpa hambatan, meski dalam kenyataannya terjadi pula perubahan orientasi sejumlah tokoh yang berbeda dengan logika ini, yakni munculnya orientasi pada Islam politik tetapi tidak otomatis mendukung Islam struktur