Opini

Rekam Jejak Laskar (Kiai-Santri) Hizbullah

Sen, 26 Oktober 2015 | 15:01 WIB

Oleh: Muhammad Zidni Nafi’
Tidak bisa pungkiri bahwa Resolusi Jihad 1945 yang dirumuskan oleh para kiai dahulu dalam menjaga dan mengawal kemerdekaan Indonesia merupakan ‘ruh’ dari Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada 22 Oktober. Ruh inilah yang menjadi semangat bagi kita –tidak hanya bagi kalangan santri saja— untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran agama<> bukan hanya sebagai jalan meraih keselamatan bagi diri sendiri dan kelompok, juga sebagai landasan dalam membela bangsa dan negara dari berbagai ancaman.

Dalam sejarahnya, ketetapan tentang Resolusi Jihad bukan tanpa pertimbangan. Apalagi yang terlibat dalam Resolusi Jihad, besar kemungkinan memang elemen masyarakat yang berada dalam atau dekat dengan kalangan pesantren yang diidentikkan dengan sebutan “santri”. Munculnya Resolusi Jihad tentunya didukung oleh situasi dan kondisi pada saat itu. Karena bisa timbul pertanyaan, kenapa Resolusi Jihad tidak dikeluarkan ketika sebelum kemerdekaan yakni masa-masa kolonial Belanda, termasuk juga Jepang? Barangkali para kiai dahulu mempertimbangkan kemampuan militer yang dimiliki oleh masyarakat (santri).

Dengan ditetapkannya Resolusi Jihad, Laskar Hizbullah langsung melaksanakan tugasnya sebagaimana seruan untuk berjihad melawan Sekutu yang hendak menduduki kembali bangsa Indonesia yang 2 bulan sebelumnya telah memproklamasikan kemerdekaan. Laskar Hizbullah merupakan barisan pasukan militer yang terdiri dari kiai, santri serta kalangan masyarakat lainnya. Tidak bisa dipungkiri juga, hadirnya Laskar Hizbullah merupakan bentuk apresiasi –selain juga kepentingan memperkuat militer Jepang dalam menghadapi Sekutu— pemerintah Jepang terhadap kalangan pesantren.

Jepang menggusur Hindia Belanda

Djajusman (1978) mencatat, sebagaimana dikutip oleh Bizawie,  meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1940 yang dimulai dari wilayah Eropa membawa dampak yang signifikan terhadap Indonesia yang pada saat itu masih dalam genggaman pemerintahan Hindia Belanda. Jepang menjadi kekuatan baru di Asia, lantaran dalam peperangan pada tahun 1908 berhasil mengalahkan Uni Soviet. Kekuatan militer Jepang semakin diperhitungkan setelah armada angkatan laut mereka pada 8 Desember 1941 berhasil membombardir pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Kepulauan Hawaai. Serangan Jepang inilah menjadi awal meletusnya perang Asia Pasifik.

Kehebatan militer Jepang yang berhasil menggusur dominasi kolonial Eropa yang selama ratusan tahun menjamah beberapa Negara di Asia Tenggara. Lebih lanjut, pada awal 1942 Jepang mampu melabuhkan pasukannya di Sumatera, Banten, Rembang dan Surabaya, sehingga pemerintahan dan militer Hindia Belanda –nama wilayah Indonesia yang dahulu masih dijajah Belanda— terpojok atas gempuran militer Jepang yang sangat kuat. Sampai akhirnya pada 8 Maret 1942 secara resmi Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat sekaligus pihaknya menghimbau kepada semua personil pasukan Hindia Belanda yang masih melakukan perlawanan untuk segera meletakkan senjata dan menyerah.

Keberhasilan Jepang bukan tanpa sebab. Selain memang alat militer yang canggih dan memadahi, sikap masyarakat pribumi yang apatis terhadap Belanda yang juga mengakibatkan Belanda lemah tanpa mendapatkan dukungan. Di samping itu, pada awalnya Jepang juga mempunyai maksud untuk memberikan (janji-janji) kemerdekaan bagi Indonesia, sehingga kedatangan Jepang yang merepresentasikan Asia ini disambut baik oleh rakyat Indonesia. Kondisi itulah yang membawa dampak pada cita-cita masyarakat meminta Jepang untuk segera memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Heiho dan Peta: Tentara bentukan Jepang

Pada tahun 1943, dalam perang Asia Pasifik Jepang mulai terdesak oleh tekanan pasukan Amerika Serikat. Menyikapi hal tersebut, menurut Poesponegoro & Notosusanto (1984) dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV, pada April 1943 Jepang membuka kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk  bisa masuk dan diterima menjadi  personil militer dengan status prajurit  bantu Jepang yang disebut Heiho. Notosusanto menyebutkan jumlah pemuda Indonesia yang masuk Heiho hingga menjelang menyerahnya Jepang –atas Amerika Serikat dan sekutu— pada tahun 1945 diperkirakan mencapai  42.000 personil dengan perincian 24.873 personil  Heiho di Jawa, 2.504 di Timor, dan di daerah-daerah mencapai 15.000 personil.

Kesatuan Heiho ternyata belum mampu mengimbangi perlawanan dari Sekutu yang kekuatan militernya telah masuk wilayah kekuasaan Jepang. Salah satunya keberhasilan Sekutu adalah mendaratkan pasukannya sampai di Surabaya. Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut, pada Oktober 1943 Jepang membentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri dari Batalyon di Jawa dan Bali. Karena dukungan tokoh Nasionalis dan Islam di Jawa, maka animo masyarakat terhadap pembentukan Peta begitu besar. Berbeda dengan  sebelumnya, Heiho, di mana personilnya tidak bisa menjadi perwira karena strukturnya di bawahi langsung oleh angkatan perang Jepang, dan statusnya hanya prajurit bantu. Namun dalam kesatuan Peta, para personilnya dapat menduduki posisi perwira atau komandan. Secara keseluruhan jumlah personil Peta dari berbagai tingkatan di Pulau Jawa dan Bali  berjumlah 38.000 personil.

Sebagian besar komanda Batalyon Peta dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari lingkungan pesantren yang identik dengan amaliah ajaran tarekat. Itu terlihat saat latihan pertama dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat nama-nama kiai di antaranya seperti KH Tubagus Achmad Chatib (Banten), KH Sjam’oen (Banten), KH RM Moeljadi Djojomartono (Surakarta), KH Idris (Surakarta), KH R. Abdullah bin Noer (Bogor), KH Soetalaksana (Tasikmalaya-Priangan) KH Pardjaman (Pangandaran-Priangan),  KH Masykoer (Bojonegoro), KH Cholik Hasjim (Surabaya), KH Deorjatman (Tegal), KH R. Amien Djakfar (Pamekasan-Madura),  KH Abdoel Hamid Moedhari (Sumenep-Madura).

Dalam sejarahnya, Jepang tidak hanya sebatas menggulingkan dominasi serta keberhasilan mengusir Hindia Belanda dari tanah Indonesia. Di samping itu, pihak militer Jepang juga melakukan penindasan kepada masyarakat pribumi, salah satunya adalah kebijakan pemerintah Jepang tentang “Romusha” dimana ratusan ribu rakyat terutama laki-laki dewasa dipaksa untuk bekerja kepada pemerintah Jepang. Tingkat kerja paksa tersebut lebih pedih dibanding Belanda yang sebelumnya pernah melakukan sistem tanam paksa (Rodi). Hal itulah yang membuat banyak kalangan pribumi yang melakukan perlawanan atas kebijakan Jepang tersebut.

Selain itu, ada juga ulama kalangan pesantren yang menolak kebijakan pemerintah Jepang yang mengharuskan pribumi untuk menjalankan ritual Seikerei yakni sikap menghormat kepada Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan 90 derajat dengan menghadap ke arah timur (Tokyo). KH Hasyim Asy’ari dengan berani menyerukan seluruh umat Islam Indonesia supaya tidak melakukan Seikerei karena hukumnya haram (Choirum Anam, 1999: 118-119). Akibatnya KH Hasyim Asy’ari dipenjarakan di Surabaya selama 4 bulan.

Jepang rangkul kiai pesantren

Jepang akhirnya sadar, bahwa dalam aspek akidah, Islam tidak bisa tawar menawar. Menurut Bizawie (2014) mengutip Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-Orang Pesantren, KH Hasyim Asy’ari dibebaskan karena banyak pengikut kiai Hasyim yang tidak patuh terhadap Jepang selama memenjarakan kiai Hasyim Asy’ari, karena Jepang sendiri yang rugi tatkala memenjarakan tokoh-tokoh kiai pesantren. Setelah kejadian pemenjaraan KH Hasyim Asy’ari, ketentuan tentang Seikerei dihapuskan atau tidak diwajibkan bagi umat Islam Indonesia.

Pembebasan ditempuh Jepang, karena menyadari adanya potensi dari kalangan Islam tradisional –pada saat itu identik dengan Nahdlatul Ulama—yang merupakan mayoritas masyarakat Islam di Jawa, mereka juga tidak ingin mengambil resiko hilangnya dukungan kalangan Islam terbesar. Sebagai semacam “penebusan dan pengakuan” atas kesalahan Jepang, maka pada tahun 7 Desember 1942 pemerintah militer yang dalam hal ini adalah Sheiko Shikikan (Panglima tertinggi militer Jepang)  mengundang sebanyak 32 Ulama Jawa dan Madura, termasuk di dalamnya  KH Hasyim Asy’ari, KH Mahfudh Shiddiq, KH Wahid Hasyim, untuk menghadiri sebuah resepsi penghormatan Jepang terhadap ulama di bekas Istana gubernur Jenderal di Jakarta.

Pada Juli 1943 dimulai memobilisasi sekitar 60 kiai ke Jakarta untuk mengikuti kursus-kursus latihan selama kurang lebih sebulan. Secara keseluruhan latihan diselenggarakan sebanyak 17 kali. Dalam catatan Ricklefs di buku Sejarah Modern Indonesia, hingga bulan Mei 1945 terhitung lebih dari 1000 kiai telah menyelesaikan kursus pelatihan tersebut.

Berangkat dari itu, barangkali melihat kesempatan emas yang diberikan oleh Jepang yang memiliki kemampuan militer sebagaimana tentara profesional, para kiai pada Oktober 1945 menetapkan fatwa wajib jihad untuk melawan Belanda dan sekutunya.

Laskar Hizbullah 

Dalam penulurusan Zainul Milal Bizawie, semakin berkurangnya personil pasukan Jepang maka untuk mempertahankan Indonesia dari kemungkinan serbuan musuh sudah tidak mungkin lagi dilakukan oleh pasukan regular. Satu-satunya cara adalah dengan menyertakan keterlibatan kekuatan lokal yang sebelumnya telah mendapatkan berbagai latihan kemiliteran. Namun kualitas dan kuantitas dari garda pertahanan yang dikerahkan itu akan semakin menguat jika Jepang juga mempertimbangkan potensi yang dimiliki dari kelompok Islam. 

Barangkali dari pertimbangan itu, pemerintah militer Jepang melakukan respons terhadap usulan pada tanggal 13 Oktober 1943 dari kalangan Islam. Setelah hampir setahun, maka pada 14 Oktober 1944 pemerintah militer menyetujui usulan  untuk membentuk kesatuan militer dari kalangan Islam. Pada 8 Desember 1944 pemerintah militer Jepang secara resmi mengumumkan tentang dibentuknya pasukan sukarela Islam khusus (Harry J. Benda, 1985).

Kesatuan sukarela Islam itu dinamakan Hizbullah atau “tentara Allah” dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan peta. Para kiai yang tercatat sebagai perwira Peta mendapat tugas untuk melatih dasar-dasar latihan dan kemampuan militer terhadap anggota Hizbullah.

Pembentukan Hizbullah ini, dipublikasikan dalam majalah Suara Muslimin Indonesia dan tindakan lanjut dari KH Wahid Hasyim –pada saat itu selaku ketua Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)— menggelar rapat untuk membicarakan  hal ini di Taman Raden Saleh, Jakarta pada 13 September 1944. Sebulan kemudian Masyumi mengadakan rapat khusus dengan mengajukan kesepakatan untuk mengajukan resolusi kepada Jepang agar segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Hairussalim HS (2004: 40) memandang, sebagaimana dikutip Gugun, semangat Laskar Hizbullah bukan untuk kepentingan Jepang lagi, tetapi telah ditransformasikan menjadi kepentingan nasional. 

Membela tanah air ataukah ideologi (agama)?

Gerakan baru dari kalangan pesantren nampaknya tidak hanya sebatas coba-coba saja. Hal ini terlihat ketika tindak lanjut dari rencana pendidikan dan pelatihan bagi anggota Hizbullah maka setiap pesantren diminta mengirimkan lima santri untuk menjalani pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di Cibarusa, Bogor.

Secara fungsional status Hizbullah ini adalah sebagai kesatuan yang akan membantu kesatuan sebelumnya, Peta, dalam upaya pembelaan tanah air. Sementara secara ideologis maksud dan tujuan atas keberadaan Hizbullah ini adalah menjunjung tinggi perintah agama, menginsyafkan seluruh umat Islam serta berusaha meningkatkan upaya  dan membulatkan segenap tenaga untuk berjuang bersama pasukan Jepang.

Pada Januari 1945 kepengurusan Hizbullah pusat dibentuk berdasarkan hasil dari rapat pleno Masyumi ketika sedang membicarakan kedudukan Hizbullah di hadapan Peta. Diputuskan pimpinan pusat dari Barisan Hizbullah adalah KH Zainul Arifin, dengan didukung struktur Bagian Umum (Suroyo dan Sujono), Bagian Propaganda (Anwar Cokroaminoto, KH Zarkasyi, dan Masyhudi); Bagian Perencanaan (Muhammad Junaidi); Bagian Keuangan (Raden Haji Oned Junaedi dan Mangkusasmito).

Proses pelatihan

Pelatihan laskar Hizbullah dipimpin oleh kapten Yanagawa  dengan dibantu 20 chudanco Peta di sebuah lapangan seluas 20 hektare. Di tempat ini disediakan asrama, ruang kelas, musholla. materi yang diajarkan adalah teknik bertiarap, merangkak, formasi bergerak satu per satu ke belakang, teknik mengintai, penggunaan sangkur, hingga serangan komando.

Mereka juga mendapat pengajaran perakitan bom molotov dan bahan peledak lainnya, serta diperkenalkan tentang teknik perang gerilya. Pelatihan militer bagi Hizbullah selesai pada 20 Mei 1945. Usai menjalani pelatihan, para peserta kembali ke kampung masing-masing atau di pesantren-pesantren.

Benteng kemerdekaan

Terlepas dari motif Jepang yang awalnya hendak memperkuat barisan militernya dengan membentuk barisan militer pribumi, yang jelas momen pelatihan yang diselenggarakan Jepang sangat dimanfaatkan masyarakat pribumi, khususnya kalangan pesantren untuk ikut serta membela Indonesia. Dari pelatihan militer tersebut Laskar Hizbullah yang dahulu identik dengan Islam tradisional itu mempunyai bekal teknik militer dengan cukup baik.

Terbentuk menjelang kemerdekaan, Laskar Hizbullah lebih banyak berhadapan dengan musuh (sekutu) setelah proklamasi. Sejak Oktober 1945 hingga akhir1946, serta Agresi Militer Belanda pada tahun 1947. Laskar Hizbullah bertempur menghadapi perlawanan tentara Sekutu, tersebar di wilayah seperti Surabaya, Jawa Timur, Semarang dan Ambarawa, Jawa Tengah dan Priangan (Bandung dan sekitanya) Jawa Barat. Namun peristiwa yang paling hebat yang dikenal saaat ini adalah momen 10 November 1945 (Hari Pahlawan) dan 23 Maret 1946 (Hari Bandung Lautan Api).

Melebur ke TNI

Usai proklamasi kemerdekaan, Soekarno yang terpilih sebagai presiden Indonesia yang pertama mengeluarkan ketetapan untuk mempersatukan TKR dan laskar perjuangan menjadi tentara resmi dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI), ketetapan itu diresmikan pada 3 Juni 1947 dengan menempatkan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TNI.

Sementara itu, kesatuan-kesatuan Hizbullah dalam TNI melebur ke dalam kesatuan setingkat brigade, resimen, batalyon, seksi pasukan dalam organisasi TNI. Dengan keputusan yang demikian, para perwira dalam kesatuan Hizbullah yang menempati kedudukan di masing-masing jenjang kesatuan yang menempati kedudukan dikepangkatan sebagaimana yang diatur dan berlaku dalam kesatuan TNI. Sebagai contoh, KH Zainul Arifin yang berkedudukan sebagai panglima laskar Hizbullah mendapatkan pangkat mayor jenderal (Bizawie, 2014: 290-292).

Keputusan yang diambil oleh  kesatuan Hizbullah itu menunjukkan bentuk memperkuat barisan pertahanan yang bertekad menjaga kemerdekaan Indonesia serta melawan segala bentuk penjajahan, tanpa harus bersikukuh mempertahankan eksistensi laskar. 

* Aktifis PMII UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSSMoRA).